Chereads / LOVE AND DESTINY / Chapter 3 - Bab 2 - Kehilangan Sosok Papa

Chapter 3 - Bab 2 - Kehilangan Sosok Papa

Keesokan paginya.

Mentari terbangun dari tidur pulas-nya. Ia lalu teringat dengan papanya, pasti papanya itu sangat mencemaskan-nya. Karena ia tidak pulang semalaman. Lisa pun diam-diam pergi meninggalkan apartemen Elang. Ia tidak ingin merepotkan pria itu lagi. Tanpa ia sadari gelang pemberian papanya terjatuh di kamar apartemen itu.

"Aku harus pulang sekarang, papa pasti sudah menungguku. Kenapa aku bisa sampai ketiduran disini, bodoh banget sih."

Suasana masih sepi, belum ada tanda-tanda jika pemiliknya sudah bangun. Mentari mempercepat langkahnya untuk meninggalkan apartemen Elang.

Pikirannya kini hanya tertuju kepada sang papa, yang pasti sedang mengkhawatirkannya saat ini.

Satu Jam setelah kepergian Mentari. Elang pun terbangun, dan mencari gadis itu dikamarnya. Namun, sayangnya ia tidak menemukannya didalam kamar itu.

"Kemana gadis itu? Aneh, kenapa dia menghilang begitu saja, tidak berpamitan padaku, padahalkan aku belum tau dimana tempat tinggal. Elang membungkukkan sedikit badannya, lalu memungut sesuatu dikamarnya.

"Bukannya ini gelang milik Mentari. Gadis yang sangat cantik," gumam Elang. Ia pun menyimpan gelang Mentari, ia berharap jika dirinya bisa bertemu kembali dengan gadis yang mempunyai senyuman termanis itu. Mungkinkah benih-benih cinta itu mulai bersemi di hati Elang? Mungkin itu yang dinamakan cinta pada pandangan pertama.

Sementara itu di rumah Mentari. gadis itu langsung menemui sang papa dikamarnya. Ia merasa sangat sedih karena melihat kondisi papanya yang kini hanya bisa tidur lemah di atas tempat tidurnya.

"Tari," panggil Randy dengan suara lemahnya. Mentari pun duduk di samping papanya. Dan saat pria paruh baya itu bangun untuk duduk disamping putrinya, Menteri pun langsung memeluk papanya yang kini terlihat begitu lemah.

"Darimana saja kamu, Nak? Semalam kamu bahkan tidak pulang semalaman. Papa sangat khawatir padamu." Randy pun mengusap-usap punggung putrinya dengan lembut.

Akhirnya Mentari pun menceritakan kejadian yang ia alami semalam. Tanpa berbohong sedikit pun, karena Randy selalu mengajarkan kepada Menteri agat jangan pernah berkata bohong, lebih baik jujur meski kenyataannya pahit sekalipun.

Randy menangis setelah mendengar cerita dari putrinya itu, dengan lembut Mentari mengusap air mata papanya yang kini menangis. Pria itu menyesal karena tidak bisa menjadi seorang ayah yang bisa melindungi putrinya. Ia benar-benar seperti seorang ayah yang tidak berguna, karena hanya merepotkan putrinya saja.

"Papa jangan nangis dong. Mentari baik-baik aja kok, Pa." Mentari pun menghapus air mata sang papa yang menetes di pipinya.

"Maafkan papa, Nak. Papa benar-benar tidak berguna. Menjagamu saja papa tidak bisa."

"Sudahlah, Pa. Sampai kapan pun Papa selalu menjadi pria yang terbaik untuk Mentari. Tari sayang banget sama Papa."

Mendengar ucapan sang putri. Randy pun langsung memeluk Mentari sambil sesekali mengusap air matanya yang menetes di pipinya. Ia sangat beruntung memiliki putri seperti Mentari yang selalu mandiri.

Setelah berpisah dengan Randy. Irena menjalin hubungan dengan seorang duda beranak satu. Senja sebenarnya tidak suka dengan sikap kakak tirinya, Karena ia selalu mencoba membuat Senja dan sang mama tidak akur.

"Senja, kenapa kamu mendorongku, aku kan tanya baik-baik padamu."

Sandra kakak tiri Senja. Mempunyai sifat iri, hingga membuat gadis iru selalu ingin mengalahkan Senja, agar bisa lebih unggul darinya.

"Maksud Kakak apa? Aku tidak mendorong Kakak." Senja mengelak karena memang ia tidak melakukan apa yang dituduhan oleh kakak tirinya itu. Lalu Sandra pun mengadu kepada Irena, dengan memfitnah dan mengarang cerita bohong agar wanita paruh baya itu memarahi Senja. Dan sialnya sang mama lebih percaya kepada kakak tirinya itu.

"Mama. Senja, dia mendorongku ma." Sandra mulai mengadu pada Irena.

"Senja! Jangan begitu kamu!" bentak mama Irena dengan tatapannya yang tajam pada putrinya.

"Apaan sih, Ma. Aku tidak mendorong Kak Sandra kok." Senja menjawab dengan kesal karena sang mama lebih percaya pada putri sambungnya dari pada dirinya yang adalah putri kandungnya.

"Bohong, Ma. Senja tadi beneran dorong aku," ucap Sandra dengan raut wajah sedihnya.

"Kak Sandra kenapa memfitnahku? Apa salahku sama Kakak?"

"Sudahlah jangan berdebat lagi, Mama pusing tahu gak. Sekarang kamu mendingan minta maaf sama Kakak kamu, Senja."

"Tidak Ma, aku tidak akan minta maaf. Karena aku tidak bersalah, jadi kenapa aku harus minta maaf." kekeh Senja. Namun tiba-tiba.

Plak!

Irena menampar pipi Senja, hanya karena masalah sepele, Irena begitu tega menampar putri kandungnya sendiri. Melihat itu tentu saja Sandra tersenyum puas karena berhasil membuat ibu dan anak itu bertengkar.

"Mama jahat, aku benci sama Mama!"

"Se-Senja maafkan Mama, Nak. Mama tidak bermaksud untuk menampar kamu, sayang."

Senja pun berlari meninggalkan mamanya dengan memegangi pipinya. Ia pun keluar dari rumah itu dengan perasaan kecewanya. Ia kecewa dengan sikap mamanya, yang selalu lebih menyayangi kakak sambungnya. Kini ia kembali teringat dengan papa dan adiknya, Mentari. Ia sekarang sangat merindukan papa dan adiknya.

"Aku kangen kalian, Pa. Dek, sekarang kalian ada dimana? Aku ingin tinggal bersama kalian saja, karena sekarang mama tidak menyayangi aku lagi. Tatapan mata Senja pun kosong dan penuh kesedihan.

Abimanyu menemui Senja yang kini sedang melamun di tepi danau, gadis itu terkejut saat melihat kekasihnya sudah berdiri mematung dihadapannya.

"Ma-mas Abi," ucap Senja yang terkejut, karena Abimanyu tiba-tiba sudah ada dihadapannya sambil menatapnya.

"Hai, Nona manis sedang melamun apa sih? Sampai-sampai tidak melihat kedatanganku. Kenapa melamun sendirian? Kenapa gak mau ngajak-ngajak aku, gak baik loh gadis cantik ngelamun sendirian," ucap Abimanyu dengan menggoda Senja. Mendengar ucapan Abimanyu pun hanya tersenyum malu-malu.

"Cerita padaku sayang, bukankah aku ini calon suamimu. Jadi kalau kamu punya masalah, ceritalah padaku." Abimanyu pun kini duduk disamping Senja.

"Aku lelah, Mas. Benar-benar sangat lelah," keluh Senja dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Lalu ia menutup wajahnya sambil menangis. Abimanyu yang peka pun langsung memeluk tubuh kekasihnya itu. Ia mencoba untuk menenangkan dan meyakinkan bahwa ia sekarang tak sendirian.

"Kau cengeng sekali sih, Yang. Tapi aku suka karena kalau cengeng pasti manja, tapi jangan setiap hari ya cengengnya," goda Abimanyu dengan terkekeh kecil.

"Iiiihh ... Mas Abi, kenapa kamu menggodaku lagi." Senja merajuk. Namun tangisannya kini terhenti karena godaan dari Abimanyu yang membuat Senja berhenti menangis. Beruntunglah ia bertemu pria seperti Abimanyu yang selalu ada disaat ia sedang membutuhkan semangat dari seseorang.

"Iya-iya maaf, sudah jangan menangis lagi ya sayang, aku sudah ada disampingmu kan sekarang. Jadi gak usah ada yang kamu khawatirkan lagi."

Kini tatapan Senja pun terlihat aneh, kedua matanya menyipit. Membuat Abimanyu gugup saja.

"Hentikan Senja, tatapan kamu itu ... aishh kamu ini."

Mendengar ucapan Abimanyu. Senja malah tertawa, ia merasa sangat gemas dengan ekspresi wajah kekasih nya yang gugup.

"Kamu malah tertawa, gak lihat aku sudah berkeringat dingin seperti ini." Kini giliran Abimanyu yang merajuk.

"Aku takut kebahagiaanku ini akan hilang, Mas."

"Dengar Senja, tidak ada yang akan mengambil kebahagiaanmu. Percayalah padaku," ucap Abimanyu lalu menggenggam tangan Senja kemudian tersenyum.

"Aku ... aku." Ucapan Senja terhenti saat Abimanyu memeluk Senja, gadis itu pun menikmati ketika kekasihnya memeluknya dengan erat. Ia biarkan wajahnya terbenam dipelukan pria itu.

"Terimakasih Tuhan, karena kau telah memberikan anugerah terindah untukku. Aku mohon jangan biarkan kebahagiaan ini hilang dariku." Senja berkata dalam hatinya.

Ditempat lain seorang gadis cantik tampak murung, matanya terlihat sembab. Karena ia harus melihat seseorang yang tak lain adalah papa kandungnya, sedang terbaring lemah. Perlahan laki-laki paruh baya itu membuka mata, dan menatap wajah cantik putrinya yang masih menangis.

"Mentari. Putriku cantikku,

jangan menangis. Kenapa wajahmu sangat murung?"

"Papa, Senja tidak tega melihat ayah seperti ini, aku tidak mau kehilangan papa. Sudah cukup aku kehilangan kak Senja dan mama." Gadis itu sudah tak sanggup membendung air matanya lagi.

"Sayang, Papa ingin jujur padamu, Nak. Maafkan papa karena sudah membohongimu selama ini."

"Maksud Papa apa?"

Randy pun menggenggam tangan putrinya, lalu ia menceritakan keadaan Senja dan Irena, ibu dari Mentari. Randy mengatakan agar Mentari mau mencari keberadaan kakak dan mamanya.

"Baiklah, Pa. Tari akan cari mama dan kakak, tapi Papa janji harus bertahan demi Tari."

"Nak, maafkan Papa karena kamu harus bisa berjuang sendiri. Ingat ya sayang, kalau pun Papa tidak bisa lagi bersama kamu, tapi papa akan selalu ada dihati Mentari sayang." Lali Randy pun mengusap air mata yang mengalir di pipi Mentari. Sesaat kemudian pria itu tersenyum lalu menutup kedua matanya, dan nafasnya kini sudah tidak lagi terasa. Detak jantung Randy sudah tak lagi ada. Pria paruh baya itu telah pergi untuk selamanya, meninggalkan Mentari sendirian. Mentari yang menyadari itu pun langsung berteriak histeris.

"Papaaa...!" Mentari terus menangis sambil memeluk jasad papanya, belum sempat ia mempersatukan papa dan mamanya untuk kembali bersama, semuanya sudah berakhir, kini gadis itu benar-benar sendirian.

"Tega sekali papa meninggalkan aku. Aku tidak bisa tanpa ada papa, tapi sekarang papa ninggalin aku sendirian." Tangis Mentari pun kembali pecah. Namun, dari kejauhan tampak seseorang memandang Mentari, lalu tersenyum tipis. Entah siapa dia.

Mentari kini terduduk lemah, wajahnya tertunduk dengan tangisan yang sesekali masih terdengar. Gadis itu menepis kesedihannya,mengambil foto memdiang sang papanya, setelah memakamkan sang papa. Menteri langsung mengurung diri di kamarnya.

"Papa, sekarang aku benar-benar tidak punya siapapun lagi, Tari ingin menyusul papa saja agar bisa terus bersama papa. Untuk apa Mentari hidup jika harus sendirian tanpa ada papa lagi."

Saat Mentari tengah menangis sendirian, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.

Mentari menyeka air matanya dan melangkah menuju pintu utama rumahnya. Ceklekk pintu pun terbuka.

"Mau apa kamu kesini?" tanya Menteri dengan sedikit kesal saat melihat siapa yang datang bertamu ke rumahnya.

Namun, suara ketus Mentari malah dibalas senyuman sinis dari pria itu. Ya pria brengsek yang hampir saja merenggut kehormatannya.

"Mentari, boleh aku masuk?"

"Tidak, pergilah!"

Saat mendapat penolakan dari Mentari. Tatapan pria jahat itu membuat Mentari ketakutan, membuat gadis itu memundur beberapa langkah.

"Ayolah Mentari. Jangan munafik didepanku, aku tahu kok. Kalau kamu butuh seseorang untuk melampiaskan rasa sedihmu, jadi kemarilah sayang."

"Dasar pria brengsek! Beraninya cuma sama perempuan!" Mentari pun berteriak lalu menampar wajah pria itu dan segera berlari keluar dari rumah. Ia berlari sekuat tenaga byang ia bisa demi menghindari pria jahanam itu. Lalu gadis itu berhenti dipinggir jalan, kini nafasnya sudah mulai sesak karena Kelelahan.