Sementara itu di apartemen, Mentari masih tampak sibuk membereskan apartemen yang benar-benar seperti kapal pecah, maklum namanya juga tempat tinggal pria. Namun, sekitar jam 9 malam Mentari telah selesai dengan pekerjaannya. Tapi, tiba-tiba terjadi sesuatu.
"Lampunya kenapa? Kok mati sih?" cicit Mentari, gadis itu pun mulai meraba-raba sekitarnya dengan hati-hati, wajahnya nampak sangat ketakutan. Ia memang takut dengan kegelapan, gadis itu terduduk dan menangis dipojok ruang tamu.
"Elang ... Papa ..."
Tiba-tiba ia teringat papanya, saat mati lampu seperti ini, biasanya papa nya akan memeluknya jika dalam keadaan seperti ini. Mentari tertunduk dengan menangkupkan wajahnya dikedua tangannya.
"Kapan dia pulang? Aku takut."
Di Tempat Lain.
"Hey, Lang. Ini sudah jam berapa? Kamu meninggalkan gadis itu sendirian di apartemen. Kamu membiarkan calon istrimu sendiri di sana."
"Oh shit! Bagaimana aku bisa melupakan hal itu. Aku harus pulang sekarang Kak."
"Eh. Tunggu!"
"Ada apa lagi, Kak?"
"Jangan macam-macam pada Mentari ya, atau aku akan menjewer kedua telingamu itu sampai putus!"
"Apaan sih, Kak."
Abimanyu tersenyum saat melihat raut wajah Elang yang kesal. Elang memacukan mobilnya dengan sangat cepat, hatinya gelisah memikirkan Mentari. Seorang gadis lugu yang membuat jantungnya berdebar dan juga selalu membuatnya salah tingkah.
Setengah jam kemudian.
Elang sampai di apartemennya, ia melihat suasana di apartemennya gelap gulita.
Ia segera berlari menuju flatnya dan memasukinya.
"Tari ... Mentari ... dimana kamu?" panggil Elang dengan penuh ke khawatiran. Namun hening tidak ada jawaban dari Mentari, lalu dimana ia harus mencari keberadaan gadis itu. Tapi, saat Elang menyalakan lampu ponselnya. Ia melihat Mentari tengah duduk di pojokan sambil memeluk kedua lututnya. Elang pun langsung menghampiri dengan cepat.
"Tari. Hey babgunlahi," Elang sedikit mengguncang pundak gadis itu.
"Aku takut ... kenapa kamu tega meninggalkan aku sendirian." Mentari pun kini tiba-tiba terisak dalam tangisannya.
"Maafkan aku, Tari. Aku sempat lupa denganmu. Aku minta maaf ya," ucap Elang dengan penuh penyesalan.
"Aku terlalu manja ya, padahalkan aku bukan siapa-siapa. Tapi aku benar-benar takut gelap," cicit Mentari.
"Iya aku minta maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi, tapi ngomong-ngomong. Aku senang kalau kamu mau memelukku terus seperti ini."
Mendengar ucapan Elang, gadis berparas cantik itu pun langsung melepaskan pelukannya. Wajahnya kini tersipu malu dan salah tingkah karena mendengar apa yang dikatakan oleh Elang.
Sedangkan Elang, ia mengalihkan pembicaraan yang unfaedah itu, dengan mengatakan hal lain.
"Aku sangat lapar, aku akan buat makanan untuk kita."
Mentari menggelengkan kepalanya, lalu kemudian menyalakan lilin, dan saat melihat meja makan. Elang hanya ternganga melihat begitu banyak makanan di depannya saat ini.
Mentari tersenyum melihat ekspresi Elang yang nampak sangat kelaparan.
"Duduklah, Lang. Aku hanya bisa melakukan ini untuk membalas semua kebaikanmu. Tapi aku janji, aku akan mengganti semua biaya saat aku tinggal di apartemen ini."
"Sudahlah, jangan terlalu difikirkan. Aku ikhlas kok, jangan berpikir untuk mengganti semuanya." Elang agak kesal dengan kalimat yang diucapkan oleh Mentari.
Elang makan dengan lahap, membuat Menteri tersenyum senang melihat Pria itu makan dengan lahapnya. Tatapan Mentari pun terus mengarah kepada Elang, dan membuat pria itu tersedak karena terus di tatap oleh Mentari. Dengan sigap gadis memberikan satu gelas air putih kepada Elang.
"Kamu kenapa, Lang? Pelan saja makannya jangan terburu-buru, minumlah ini," ucap Mentar sambil menyodorkan satu gelas air kepada Elang.
"Apa aku terlihat aneh menurutmu?" tanya Elang.
"Maksudmu?" Mentari balik bertanya dengan mengerut kan dahinya.
"Kamu tahu, aku tersedak karena tatapanmu itu," jawab Elang yang terlontar begitu saja. Dan Elang menyesali ucapannya yang tidak bisa ia tahan.
"Em...."
"Makanlah Mentari, masakanmu ini enak sekali."
Mentari hanya tersenyum kemudian mengangguk, mereka saling tersipu malu satu sama lain.
"Mentari," panggil Elang.
"Iya."
Wajah cantik Mentari yang natural, membuat Elang membayangkan sesuatu. Namun, dengan cepat Elang segera menghapus bayangan itu dari fikirannya.
"Apa kamu tidak merasa kehilangan sesuatu?Mungkin sesuatu yang penting buat kamu?"
"Maksudmu, aku tidak menge-"
Mentari pun menatap pergelangan tangannya, dimana biasanya sebuah gelang selalu menempel disana. Dan sekarang benda itu memghilang dari entah kemana.
"Gelangku. Gelangku hilang," raut wajah Mentari kini mulai berubah.
"Em... benarkah?" tanya Elang dengan tersenyum tipis
"Iya, itu satu-satunya barang peninggalan Ayahku, dan sekarang...."
"Bodoh kaku, Lang. Jangan buat gadis itu menangis lagi." Batinnya Elang. Lalu Elang pun menyodorkan sebuah kotak kecil kepada Mentari.
"Ini apa, Lang?" tanya Mentari yang kini tengah menatap kotak itu.
"Buka saja."
Mentari pun mengambil kontak itu, dan matanya berbinar saat melihat isi kotak itu, sebuah senyuman terlukis dibibir merah Mentari.
"Elang, ini?"
"Iya, sini ,biar aku pakaikan."
Mentari pun tersenyum dan membiarkan Elang menyentuh tangannya untuk memakaikan gelang miliknya. pemberian dari almarhum sang papa.
"Maaf ya."
"Iya tidak apa, Lang."
Elang memegang tangan Mentari dengan sedikit gemetar, lagi-lagi Elang melihat pemandangan yang membuatnya berpikiran kotor. Bagaimana tidak, Ia sedang menyentuh tangan halus seorang gadis. Dan ia hanya mampu menelan salivanya beberapa kali.
"Ada apa? Kenapa kamu hanya diam saja, Lang?" tanya Mentari yang bingung saat melihat Elang hanya diam saja.
Elang terkejut saat mendengar pertanyaan Mentari, jangan sampai gadis ini tahu jika saat ini Ia sedang menikmati ketika kedua tangan mereka bersentuhan.
"Selesai!"
"Makasih Lang, apa aku boleh meminta bantuan lagi padamu. Maaf kalau aku merepotkanmu."
"Jangan sungkan, Tari. Katakan saja insyaallah aku akan membantumu kalau bisa."
"Tolong carikan aku pekerjaan, aku tidak enak jika terus menumpang hidup padamu."
"Ta-tapi kenapa?"
"Aku tidak mau tinggal secara gratis di sini, aku mohon mengertilah," ucap Mentari dengan sedikit memohon.
Padahal Elang sudah terbiasa dengan adanya Mentari didekatnya, tapi ucapan terakhir gadis itu membuatnya gelisah.
"Seandainya saja perasaan kita sama, mungkin aku akan langsung melamarmu. Aku tidak ingin jauh darimu Mentari. Tapi, aku takut jika hanya aku yang merasakan perasaan ini, sedangkan kamu tidak," ucap batin Elang lalu pria itu pun pergi meninggalkan Mentari yang tengah membereskan meja makan.
Perasaan pria itu kini sedang dilema sekarang, bagaimana cara agar Mentari tetap bisa bekerja namun pekerjaan itu tidak membuatnya berada jauh dari gadis yang saat ini tengah mencuri hati dan memenuhi pikirannya itu.
"Aku harap Elang suka dengan masakanku."
Baunya memang sangat lezat menggoda. Aroma itu membuat Elang yang masih berada dikamar merasa lapar. Mentari tersenyum saat melihat Elang yang sedang mengucek ngucek kedua matanya.
"Mau apa, Lang?"
"Aku sudah sangat lapar, Tar. Aku boleh makan sekarang?'
"Kau harus mandi dulu, Lang. Ayo mandi lah."
"Ya sudahlah, aku mandi saja sekarang."
Elang mengedipkan sebelah kanan matanya, membuat Elang gugup dan menabrak kursi yang berada tepat dihadapannya.
"Elang, kamu kenapa?"
"Tidak apa-apa, Tar. Aku hanya terburu-buru saja."
Elang tersenyum sendiri, memikirkan tingkah lakunya yang begitu konyol dihadapan Mentari. Gadis itu sudah benar-benar membuatnya sedikit tidak waras.
Bayang-bayang wajah Mentari masih terus muncul di fikirannya, hanya wajah itu yang saat ini sedang meracuni hati dan juga otak pria itu.
Satu jam kemudian.
"Manis sekali," puji Mentari yang begitu saja terucap dari mulutnya.
"Manis?" Elang menatap Mentari dengan keheranan.
"Em... lupakan saja, cepatlah makan," ucap mentari yang kini tampak malu-malu walau dalam hatinya memang mau. Sebenarnya Elang mendengar jelas ucapan Mentari yang memujinya, ia pun menyukai ekspresi Mentari saat sedang tersipu malu seperti itu.
"Andaikan wanita ini benar-benar istriku.
Bisakah mimpiku ini bukan hanya sekedar mimpi semata," ucap batin Elang.
Elang sudah siap, make up natural dan ya cukup hanya itu. sebenarnya tidak memakai make up pun Mentari memang sudah manis dan cantik.
Elang mengajak Mentari, untuk menemui keluarganya. Mentari terkagum-kagum dengan rumah mewahnya.
"Rumahmu begitu besar dan luas, Lang. Tapi kenapa kamu lebih memilih tinggal diapartemen?"
"Aku hanya ingin mandiri saja, Tar."
"Aku suka pria yang mandiri," ucap Mentari.
"Kamu suka denganku, benarkah? tanya Elang dengan mata yang berbinar.
"Eh. Bukan itu maksudku tapi aku suka sifat mandirimu, itu maksud ucapan ku tadi."
"Oh." Elang kini nampak terlihat kecewa karena apa yang Mentari ucapkan.
Saat Elang membawa Mentari ke rumah orang tuanya, kebetulan semua anggota keluarga Elang sedang berkumpul diruang tamu. Ibu Elang tersenyum melihat putranya sedang bersama seorang gadis cantik.
"Selamat malam," sapa Mentari kepada semua keluarga Elang yang ada ditempat itu.
"Selamat malam, Nak. Ayo silahkan duduk," ucap Kirana, ibu dari Elang.
"Kamu memang cantik sekali, Nak. Siapa namamu? Lang, mama sangat senang, akhirnya setelah Abi dan Senja, kini kamu juga akan menikah! Mama begitu sangat bahagia. Nak.