Ayahnya masih di penjara, dan krisis yang dialami Haroem belum teratasi. Dia tidak bisa tumbang sekarang.
Malam itu Kiara mengambil gaun merah pendek yang menunjukkan kakinya yang ramping dan putih, dia merias wajahnya dan tersenyum dengan senyuman yang telah dia latih berkali-kali di depan cermin.
Dia siap menerima semuanya.
Hotel Gemilang adalah hotel bintang lima terbesar di Surabaya, tetapi Kiara tidak pernah tahu bahwa bos di belakang Hotel Gemilang adalah Rian Wijaya.
Kamar tujuannya adalah presidential suite di lantai paling atas. Kiara membuka pintu dan masuk. Sekilas, dia melihat pria tampan itu duduk di sofa.
Memegang segelas anggur merah, Rian menatapnya, matanya dipenuhi dengan ejekan samar.
"Di hadapan musuh sekalipun, anda masih bisa berdandan dengan baik, Nona Kiara benar-benar membuatku kagum."
Kiara mengalihkan pandangannya, tidak melihat wajah yang terlalu mirip dengan Gavin, tetapi menjawab dengan lembut: "Karena saya di sini untuk memuaskan Pak Rian, tentu saya harus melakukan yang terbaik."
Dia menjaga posturnya, membiarkan Rian memandangnya seperti komoditas.
Rian mencibir dengan tidak jelas, dan mengangkat dagunya ke arah kamar mandi: "Pergilah mandi."
Menunggu sosok Wanran menghilang di kamar mandi, hingga Rian mendengarkan suara air yang mengalir deras, amarah jelas terlihat di matanya, dan ekspresi penuh kebencian muncul di wajahnya.
Dia jelas telah memenangkan perang, dan menjatuhkan wanita yang dia benci sampai ke tulang-tulangnya ini demi menghina martabatnya, dia jelas seharusnya merasa bahagia, tapi sekarang, Rian hanya merasa tersinggung.
Setelah meminum anggur merah di tangannya, Rian melonggarkan dasinya dan berjalan langsung ke kamar mandi.
Kiara terkejut.
Meski ada kabut putih kabur di kamar mandi. Kiara tidak dapat menyembunyikan tubuhnya. Tetesan air mengalir di tubuhnya, dan seluruh tubuhnya terlihat dengan jelas oleh pria di depannya.
Dia tersentak secara naluriah, mencoba mengambil pakaiannya, tetapi sebelum dia bisa menggapai pakaiannya, pergelangan tangannya dicengkeram dengan kuat.
Kiara mengangkat kepalanya, dan dihadapkan dengan ekspresi pria itu yang seakan hendak memakannya hidup-hidup.
Akhirnya Rian menemukan cara untuk melampiaskan perasaan tak nyaman di dadanya itu. Dia mengerahkan tenaganya hingga Kiara tiba-tiba kehilangan keseimbangan, hanya punya waktu untuk berteriak, dan jatuh ke pelukan dingin pria itu.
Suhu di kamar mandi naik seiring berjalannya waktu, dan uap air terasa makin panas, tetapi Rian masih dingin, begitu dia menyentuh kulitnya, Kiara gemetar.
"Keluar, keluar dari sini ..." Ujar Kiara.
"Kamu tidak berpikir kamu masih punya hak untuk pilih-pilih tempat, bukan?"
Kata-kata Rian setajam silet, dan karenanya hati Kiara meneteskan darah. Kiara menggertakkan giginya dan berhenti membuat suara memohon.
Lagipula, dengan penampilannya sekarang, di mata seorang pria bejat, tidak lain merupakan sebuah ajakan.
Ingatan malam itu telah kabur. Kiara mabuk berat pada waktu itu dan hanya mengingat wajah yang telah dirindukannya selama dua tahun. Sekarang, dia ditekan oleh Rian di meja marmer dingin membuatnya sadar seketika dari lamunannya.
Kiara tidak tahu apakah Rian sengaja melakukannya, dan dia tidak ingin tahu.
Rian sepertinya sangat terbiasa melakukan hal seperti ini, sendi jari pria itu yang proporsional dan ramping menelusuri kulitnya yang lembut dan pucat, merangsangnya, dan memicu gairah dari bagian terdalam tubuhnya.
Kiara seperti merasa bahwa semua kekuatan di tubuhnya telah diambil darinya, dan dia hanya bisa bersandar pada Rian. Mengikuti gerakan Rian, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengerang.
Kesadarannya seolah terseret ke laut yang bergejolak dan seketika dia tenggelam dan hanya bisa dikendalikan oleh Rian. Rian meraih wajahnya dan menciumnya dengan bergairah.
Ini bukan sekedar ciuman tapi lebih seperti gigitan, bibirnya terasa panas dan sakit.
Rasa sakit itu membuat Kiara sejenak sadar dari kelinglungannya, hingga wajah Rian menjadi terlihat makin jelas dalam uap yang kabur.
Kiara tampak terpesona, dia mengulurkan tangannya, menyentuh wajahnya, dan menggumamkan sebuah nama: "Gavin ..."
Kiara tidak tahu apakah itu hanya firasatnya, tetapi gerakan Rian sejenak terhenti, dan emosi yang tidak dapat dijelaskan terlintas di matanya. Tapi tiba-tiba dia bahkan menjadi lebih ganas dari sebelumnya, hingga Kiara mengerang kesakitan.
Ketika Rian akhirnya melepaskan diri dari Kiara, Kiara sudah tidak memiliki kekuatan untuk bergerak lagi, terutama pinggang dan punggungnya yang telah tertatap meja keras berkali-kali hingga muncul memar merah dan ungu yang besar.
Dibandingkan dengan keadaan Kiara yang memalukan, pakaian Rian bahkan bisa dibilang tergolong rapi.
Tatapannya yang dingin jatuh pada tubuh telanjang Kiara yang ditutupi dengan jejak erotis, bibir tipisnya terbuka lalu dia mengucapkan satu kata: "Keluar."
Kiara hampir mengira dia salah dengar: "Pak Rian?"
Rian mengangkat bibirnya dan tersenyum dingin: "Memang siapa yang memberimu ijin untuk memanggil nama pria lain di hadapanku?"
Perkataan Rian membuat Kiara tercengang.
Dia... apakah dia tadi salah menyebut nama Gavin?
Rian tidak membiarkannya berpikir terlalu banyak, dan dengan kasar menariknya keluar dari kamar mandi dan melemparkannya langsung keluar kamar.
Kiara hanya punya waktu untuk mengambil handuk mandi, sebelum didorong keluar oleh Rian. Dia jatuh ke lantai, meninggalkan lingkaran memar di sikunya, yang makin menonjol di kulit seputih saljunya.
Setelah itu, tiba-tiba pintu kamar dibanting tertutup di depannya.
Kiara menatap pintu yang tertutup rapat, handuk mandi di tubuhnya hampir tidak bisa menutupi bagian-bagian penting tubuhnya, dan kulitnya yang tidak tertutupi seketika terasa kedinginan
Tetapi dibandingkan dengan ini, yang membuat Kiara lebih panik, adalah jika Rian tidak puas dengannya, lalu apa yang akan terjadi pada ayahnya...
Tidak ada bagian tubuhnya yang tidak sakit, dia bahkan kesulitan untuk berdiri. Dia ingin mengetuk pintu, tetapi bahkan tidak bisa mengangkat tangannya. Dia hanya bisa duduk di dekat pintu dengan hanya dibalut handuk mandu mandi.
Duduk sendirian di tengah malam.
Akibat kelelahan, Citra tertidur tanpa sadar, tetapi dia merasa gelisah dalam tidurnya, dan wajah yang familiar muncul berulang kali dalam mimpinya.
Pada akhirnya, dia benar-benar bermimpi ketika dia dan Gavin jatuh cinta lima tahun lalu.
Gavin jarang tertawa, tetapi dia sangat lembut padanya, bahkan ketika Gavin mendengarnya berbicara, dia sedikit menundukkan kepalanya, matanya fokus dan penuh kasih sayang untuknya.
Tapi hanya dalam sekejap mata, semua yang ada di depannya itu tiba-tiba berubah, ekspresi lembut di wajah itu seketika hilang, digantikan oleh ekspresi dingin yang akhirnya berubah menjadi ekspresi mengejek dan penuh sarkasme.
Melihatnya saja membuat hati Kiara sakit.
Dia merasa seperti tubuhnya sedang terbakar, memanggil nama Gavin dengan putus asa dalam kekacauan, tetapi dia dapat mendapat tanggapan apa pun.
"Tidak!"
Kiara berteriak dan membuka matanya tiba-tiba.
Ada sinar yang menyilaukan di matanya, dia samar samar bisa mencium bau disinfektan. Ada infus di punggung tangannya, dan sepertinya ada sesuatu yang menempel di dahinya. Kiara mengulurkan tangannya untuk menyentuhnya dan mendapati kantong es.
Kenapa dia di sini...
Kiara ingin duduk, tetapi tidak bisa mengerahkan kekuatannya sedikit pun.