Sekitar empat puluh menit kemudian, Rian melepaskan dirinya dari tubuh Kiara. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, dia mengambil celana dan ikat pinggangnya di lantai dan memakainya lagi, lalu menyundul paha wanita itu dengan kakinya, menunjuk bekas-bekas memar di pahanya yang terlihat jelas.
"Benar saja, aku tidak salah menilaimu, tapi nona Kiara harus lebih bersemangat lain kali."
Kiara memiringkan kepalanya, tatapannya kosong. Dia tidak tahu apa lagi yang bisa dia lakukan sekarang. Mungkinkah dia akan terus terikat dengan Rian yang akan senantiasa menyiksanya tanpa henti hingga dia hancur?
Bagaimana dengan Haroem? Bagaimana dengan ayahnya?
Tubuhnya sakit. Kiara memaksakan dirinya untuk duduk, dan meraba-raba lantai untuk mengambil pakaiannya. Dia mengenakan jaketnya terlebih dahulu. Dia melihat punggung Rian yang tidak jauh di depannya, dan perlahan membuka mulutnya. "Bagaimana dengan keluargaku? Kapan Pak Rian akan..."
"Kamu tidak layak untuk bernegosiasi denganku." Rian menyela sebelum Kiara selesai berbicara. Kalimat itu sepertinya menghancurkan sedikit harapan di hati Kiara hingga berkeping-keping lalu semua kepingan itu dilemparkan jauh-jauh ke laut yang dalam.
"Tapi--" Rian berbalik perlahan, dengan senyum licik di wajahnya, dan seakan dia melihat Kiara sekedar sebagai hiasan atau mainan. Dia mengulurkan tangannya, menyatukan kelima jarinya seolah-olah dia akan memegang sesuatu, dan membuat isyarat meminum sesuatu di udara.
"Jika kamu bersedia pergi ke bar anggur denganku besok malam untuk menghibur beberapa orang-orang penting, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk menyelamatkan ayahmu. Bagaimana menurutmu?"
Kiara terdiam.
Dia seharusnya bisa menebak bahwa Rian tidak akan sebaik itu dan dengan mudah berjanji padanya untuk membantunya menyelamatkan ayahnya.
Bahkan jika dia sudah mengorbankan tubuhnya.
Rian tidak menunggu jawaban Kiara, dan mengangkat alisnya, "Apa? Kamu tidak bersedia?" Dia berbalik lagi, "Ya sudah. Lupakan saja kalau begitu. Aku rasa aku sudah cukup murah hati tapi ya… apa boleh buat."
"Tunggu!" Kiara menghentikannya, dan tangan kanannya perlahan mengepal. Dia mengangkat kepalanya seolah-olah dia telah mengambil keputusan, "Saya bersedia."
"Oke." Rian tersenyum sinis, lalu berkata, "Nona Kiara benar-benar orang yang menghibur. Aku akan datang menjemputmu jam enam besok malam. Ingatlah untuk berpakaian sebaik mungkin. Nyawa ayahmu dan keluarga Tanata ada di tanganmu."
Kiara menjawab, "Iya, Pak Rian. Anda tidak perlu khawatir."
Kiara hanya dibalas dengan suara pintu yang dibanting tertutup.
Orang-orang di kediaman Wijaya jelas-jelas tahu bahwa Kiara hanyalah seorang tamu, tamu yang tidak dipedulikan oleh Rian, jadi meskipun seharusnya Kiara tidak perlu melakukan apa pun dengan sendiri, mereka tidak pernah melayaninya sekalipun.
Sama seperti sekarang, Kiara dengan enggan mengenakan pakaiannya untuk membuat dirinya terlihat lebih pantas, tetapi wajahnya masih kuyu, dan langkahnya juga terhuyung-huyung. Para pelayan yang lewat akan berperilaku seolah-olah mereka tidak bisa melihatnya, tetapi ketika mereka melewatinya, mereka akan menunjukkan tatapan yang menghina.
Kiara tahu ini, dan dia sangat terhina di dalam hatinya, tetapi dia tidak dapat mengatakan apa-apa. Apakah orang yang perlu sampai memohon-mohon bantuan orang lain masih memenuhi syarat untuk mendapatkan semua yang pantas dia dapatkan?
Dia kembali ke kamar, menyalakan air panas di kamar mandi, menanggalkan pakaiannya lagi dan melangkah masuk ke dalam bak mandi. Kehangatan air panas memeluk tubuhnya, tetapi dia tidak mengantuk sama sekali.
Kiara perlahan menutup matanya dan mencoba menyelam, dia bisa merasakan air panas menenggelamkannya sedikit demi sedikit, tapi ini juga saat dimana dia paling merasa damai dan nyaman. Lima detik kemudian, dia duduk hingga timbul percikan air, dan rambutnya yang basah, tampak rusak dan menyedihkan.
Pada jam 6 malam besoknya, Kiara sudah mengenakan gaun yang layak untuk pergi ke bar anggur. Dia mengenakan gaun ekor ikan berwarna perak ketat yang memamerkan lekukan tubuhnya dengan garis leher halter. Bagian punggungnya terbuka menunjukkan punggungnya yang putih dan mulus. Wajahnya terlihat cantik dan menawan, riasan berhasil membuat raut wajahnya terlihat lebih bersinar dan energik dari sebelumnya.
Mobil Rian berhenti di luar vila tepat pukul 6. Dia keluar dari mobil dan melihat Kiara menunggu di depan pintu villa. Rian keluar meletakkan tangan kanannya di dagunya, kedua sudut bibirnya sedikit terangkat melihat gaun Kiara, dan dia mengangguk puas.
"Ayo berangkat! Tapi kamu tahu.. sebenarnya aku tidak terlalu banyak berharap, tapi sekarang aku bisa melihat bahwa kamu menganggap tugasmu dengan serius. Aku benar-benar meremehkanmu sebelumnya. Sepertinya nona Kiara cukup berpengalaman dengan hal seperti ini?"
Lagi-lagi sindiran yang pedas keluar dari mulut pria itu. Bahkan jika Kiara sudah cukup terbiasa dengan itu, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak sakit hati ketika dia mendengar perkataan Rian. Tapi tiba-tiba Rian memakaikan jas berwarna putih susunya pada Kiara, lalu merapikannya.
"Dasar pria tidak masuk akal." Kiara mendongak sedikit, menahan senyum, bersikeras untuk menanggapi godaan Rian dengan mempermalukan dirinya, "Ayo tunggu apa lagi ini, bukankah saya harus segera menandatangani kontrak untuk anda?"
Mata Rian berkedut, seolah-olah dia sangat tidak puas dengan jawaban Kiara, tetapi nadanya seperti biasa, "Karena Nona Kiara berkata begitu, mari kita berangkat."
Mereka berdua duduk di dalam mobil, tidak berbicara sepanjang jalan, di dalam mobil sunyi senyap.
Begitu masuk ke dalam mobil, Rian langsung bersandar di kursinya dan menutup matanya untuk beristirahat. Dia bahkan tidak peduli dengan rencana Kiara. Setelah melihat ini, Kiara menoleh untuk melihat pemandangan malam di luar jendela dan mobil-mobil yang lewat.
Dia sekarang merasa bahwa setiap hari tinggal bersama Rian pasti akan penuh penderitaan; bahkan jika Rian terlihat persis seperti Gavin, bahkan jika dia masih memiliki harapan di hatinya bahwa Rian adalah Gavin, tapi ...
Bagaimana mungkin Gavin bisa memperlakukannya seperti ini?
Kiara menoleh sedikit, melirik Rian. Pria di sebelahnya persis seperti pria yang paling dia rindukan.
"Jangan menatapku seperti itu. Kita sebentar lagi sampai di hotel. Kamu harus fokus memikirkan cara menyenangkan pria-pria lain di bar nanti."
Rian tidak pernah gagal melontarkan perkataan yang pedas begitu Kiara lengah.
"...Saya mengerti." Jawab Kiara dengan pelan.
Dua puluh menit kemudian, mobil berhenti di depan pintu masuk Hotel Purnama. Kiara dan Rian turun dari mobil, dan Rian membiarkan Kiara meminjam jasnya ke dalam hotel. Hotel Purnama sangat terkenal akan restoran dan akomodasinya yang terjamin kualitasnya. Hotel ini sungguh merupakan salah satu hotel yang paling mewah di kota ini.
Ketika keduanya mendekati pintu, seorang pelayan membungkuk kepada mereka. Karena bagaimanapun Kiara juga putri keluarga Tanata. Tentu saja, dia tidak terkejut dengan adegan ini. Rian membawanya langsung ke lantai yang ketiga. Berjalan di koridor, Rian berjalan langsung ke ruang VIP terdalam. Setelah membuka pintu, ada lima atau enam pria paruh baya berjas rapi. Yang termuda mungkin berusia sekitar 35 tahun.