Sudah satu bulan wanita cantik itu terus saja mengalami mimpi yang sama di kegelapannya. Sekelabat bayangan lelaki dengan topeng dan hodie serupa menghantui tidur panjangnya. Namun, reaksi tubuhnya tetap saja tidak berubah. Kaku dan pasrah.
Air matanya selalu menetes, jari jemarinya juga akan replek bergerak di awal sebuah benda tumpul menusuknya, tapi setelah itu dia tidak lagi merasakan apa-apa. Lemas bagai boneka kain yang pasrah diajak bermain.
Tersungging seringaian puas dari bibir lelaki itu setelah menuntaskan permainannya, menarik hodie yang selalu dijadikan alas dari tubuh sang wanita, dia tidak pernah jijik untuk memakai baju itu lagi walau kotor terkena sisa perbuatan mereka.
Helaan napas terdengar nyaring, sebelum dia mendekatkan bibir pada kuping wanita itu. "Setelah ini aku mungkin akan merindukanmu, Beib," bisiknya.
Sudut bibirnya menukik ke bawah, sendu dan masam. "Aku harus pergi keluar negri dalam waktu seminggu, bahkan mungkin lebih." Nada bicaranya, seperti seorang kekasih yang tidak rela untuk berpisah dari pujaan hatinya.
"Maaf, jika aku tidak lagi bisa menemani malam-malammu. Maaf jika aku tidak lagi menjengukmu. Dan maaf jika kamu akan merindukan diriku," bisiknya penuh lirih.
Air mata menetes dari sudut mata wanita itu. "Akhirnya aku akan terlepas dari mimpi buruk ini," gumamnya di dalam hati. Namun, sisi lain di dalam dirinya merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Rasa sedih dan takut kehilangan. "Aku akan kesepian setelah ini, tidak ada lagi yang mengajakku bicara, dan aku akan sendiri dalam kesepian ini."
Dilema. Iya dia teramat dilema, di satu sisi dia akan merindukan sosok yang setiap malam menemaninya dalam kegelapan, tetapi di sisi lain, bukankah harusnya dia bahagia jika kegelapan yang lain itu justru akan hilang.
"Jika aku kembali, aku akan menjengukmu lagi. Aku harus pergi sekarang. I love you, aku pasti akan selalu merindukanmu. Jaga diri baik-baik." Sebelum lelaki itu menghilang di sana, dia melabuhkan kecupan pada setiap inci wajah wanita itu. Dan tetakhir dia membubuhkan ciuman yang sedikit lama di bibirnya.
Deg!
Rasanya aneh, kali ini benar-benar aneh. Wanita yang biasanya hanya bereaksi ketika area di bawahnya yang disentuh, kali ini berbeda. Dia bisa merasakan sentuhan lembut pada bibirnya, pelan membuka bibir, dia justru memberi akses lebih untuk lelaki misterius tersebut. Meski belum bisa membalas, setidaknya dia masih bisa merasakan apa yang orang normal rasakan.
Kecewa. Rasa itu menyeruak di dada, di kala bibir yang tadinya tertaut mesra di akhiri begitu saja. Hanya tetesan demi tetesan air mata yang bisa keluar dari reaksinya. Dia ingin mimpi ini segera berakhir, tetapi dia tidak rela jika kegiatan mereka juga akan menghilang bersama bayangannya.
Jari-jemari kokoh menghapus aliran mata. "Jangan menangis, air matamu terlalu berharga, Beib. Aku pasti akan kembali. Aku berjanji." Kecupan dan usapan lembut sekali lagi berlabuh pada pucuk kepala. "Aku pergi. jaga diri baik-baik."
Pintu terbuka, seiring hilangnya sekelabat bayangan lelaki itu dari ruangannya. Wanita itu tahu kalau setelah ini akan ada dua wanita yang setia memeriksanya pada jam sama.
Jika di waktu sebelumnya, dia akan memanjatkan syukur, hari ini justru helaan napasnya terasa berat mencekat. Hari ini dia tidak ingin mimpinya berakhir begitu saja. Hari ini dia berdo'a untuk tidak di bangunkan selamanya. Dan hari ini hatinya menjerit kuat meminta lelaki itu untuk tetap bersamanya.
"Dia sepertinya menangis, Dok?"
"Ini keajaiban, setelah dua bulan baru hari kita bisa menyaksikan dia menangis. Artinya masih ada kesempatan untuk wanita ini sembuh dari komanya."
Mengangkat kedua tangan, dua wanita itu berdoa untuk kesembuhan wanita yang mereka rawat selama tiga bulan ini. Setelah menyelesaikan tugasnya, mereka seperti biasa. Pergi dan mengunci ruangan tersebut.
Selama tiga bulan, wanita itu berada di ruangan terang, tetapi penuh kegelapan. Sendirian berjuang bersama kumpulan alat-alat medis sebagai teman untuk bertahan hidup di ambang kehancuran.
"Siapa aku? lalu siapa lelaki itu? kenapa aku bisa berada di sini? dan apa yang selama ini aku alami?"
Cerca pertanyaan itu selalu bergentayangan untuk menghantui diri. Sekuat tenaga mencoba merangkai puzle tentang hidupnya, tetap saja nihil akhirnya. Kosong, hitam, gelap, pekat, tidak pernah terdapat titik terang di sana.
Semua akan selalu berkumpul pada sebuah titik, di mana dia akan berdiri sendiri di tempat itu. Sunyi, sepi, tanpa ada seorang pun yang menemani.
Sebuah tangan kekar terjulur membantu, tapi sangat sulit untuk diraih. Ada jurang luas nan dalam membentang di tengah-tengah.
"Tolong! tolong aku! tolong keluarkan aku dari sini!"
"Gapailah tangaku, aku akan membawamu kembali bersamaku."
Suara itu, suara yang sama dengan lelaki bertopeng yang sering mengunjunginya. Menyapu pandangan, mencari sosok yang sedang berbicara kepadanya. "Di mana dia? kemana perginya tangan tadi?"
"Hei, tolong aku! jangan pergi!"
Lamat-lamat bayangan itu semakin menghilang, tangan yang tadinya terulur, kini pelan-pelan berubah menjadi kepulan asap yang berbaur bersama alam.
"Hei! jangan tinggalkan aku! tolong aku!"
Jeritan hadir bersama tangis pilu memecah keheningan. Gelap semakin pekat menelan seorang wanita bersama luka yang dia derita. Meringkuk memeluk lutut, lirihan demi lirihan terus terlontar dari bibir mungilnya.
"Jangan tinggalkan aku! aku takut!"
Hampa terasa tak ada lagi harapan yang tersisa. Semua seakan terenggut hingga sirna menyisakan sebuah luka bersama nestapa di dalam jiwa.
"Mengapa nasibku seperti ini? aku sendiri, bahkan tanpa aku ketahui identitas yang melengkapi hidup ini. Boleh 'kah aku sekarang memilih mati?"
Putus asa. Wanita itu mengalami putus asa setelah tidak lagi dia temui lelaki yang biasa mengunjunginya dalam kegelapan hidupnya.
Merebahkan diri, dia melipat tangan di dada. Menahan napas sekuat tenaga, dia tidak ingin lagi kembali pada dunia jika hanya hampa yang akan di dapatnya. "Selamat tinggal kehidupan. Selamat tinggal wahai engkau bayangan. Terima kasih, karena sudah memberiku sedikit harapan untuk bertahan selama ini. Terima kasih karena engkau sudah bersedia berbagi warna hitam ini bersamaku."
Hening. Napasnya sudah terhenti, jiwanya pun beringsut pergi membawa luka hati. "Semoga kita bertemu di kehidupan berikutnya."
Tit-tit-tit!
Tit-tit-tit.
Monitor detak jantung semakin detik semakin melemah. Dokter dan para perawat sontak berlari menuju sebuah ruangan khusus untuk seorang pasien wanita yang sudah koma lebih dari tiga bulan lamanya.
"Detak jantugnya semakin melemah," panik salah satu Dokter. "Panggilkan Dokter Aldi," titahnya pada salah satu Suster.
Ada beberapa orang berbaju putih berkerumun di sana. Mengitari seorang wanita yang sedang membutuhkan pertolongan mereka. Berbekal alat pacu jantung (Defribrilator) mereka mencoba mengembalikan lagi detak jantung yang semakin jauh pergi dari tubuh wanita itu.
Tit-tit-tit!
Tit ....
Semua berakhir dalam hitungan sekejap. Bunyi monitor jantung yang tidak berhenti bersuara nyaring bukti kalau jiwa itu telah lelah bertahan dan memutuskan untuk pergi.
"Momy!"
Sebuah suara menghentikan wanita berjubah putih yang berlalu dari sana.
***
Mohon maaf jika ada kesalahan dalam kinerja Dokter di novel ini. Karena saya bukan dokter dan hanya mengandalkan riset seadanya.