Felina—gadis malang itu kini hanya mampu menatap langit hitam yang semakin detik semakin kelam. Membiarkan tubuh mungilnya basah di bawah guyuran hujan, dengan mengendarai motor matic kesayangan, ia pun berteriak nyaring mengeluarkan uneg-uneg kegalauan. Tidak peduli pada sederet kendaraan yang berpapasan, serta para orang-orang yang memandang dengan ke a.
"Dasar, Fernando sialan!"
"Playboy!"
"Buaya buntung!"
Bayangan perselingkuhan Fernando yang disaksikan langsung satu jam lalu tidak mau hilang dari benak Felina. Bak hantu yang terus menggentayanginya, lelaki tambatan hati yang selalu digadang-gadang ternyata tidak kalah gila dari Bos yang memecat Felina.
***
Terlalu larut dalam suasana mencumbu menjadikan dua anak manusia tak sadar akan waktu. Bahkan mereka tidak tahu kalau ada seorang wanita yang berdiri mematung menyaksikan lidah yang saling berbelit itu.
Felina—gadis bermata almond yang tadinya sudah pamit pulang kini kembali ke ruangan Fernando. Berniat ingin memberikan kejutan pada kekasih tercinta. Namun ternyata dialah yang dibuat tercengang dengan pemandangan di balik meja kerja di seberang sana.
Ternyata seperti ini kelakuan Fernando dengan sekretaris Bosnya di Kantor, batin Felina.
Kepalan tangan rapat tergenggam. Felina rasanya muak mendengar suara decapan yang memenuhi seisi ruangan. Fernando dan wanita jalang dalam pangkuannya itu justru masih belum sadar akan kehadiran seorang wanita yang memandang tajam pada mereka.
Baiklah. Jika seperti ini permainanmu, ucap Felina dalam hati.
Sudah tidak tahan menyaksikan. Gadis malang itu pun menghentakkan kaki ke arah meja kerja Fernando. Menaruh bingkisan dengan kasar di atas meja, hingga mereka berdua tersentak dan saling memberi jarak antara bibir keduanya.
"Felina!" kaget lelaki yang kini berpakaian compang-camping tersebut. Bekas lipstik di mana-mana, kemeja yang kini sudah terbuka beberapa kancingnya.
Cih!
Jijik sekali Felina melihatnya, ingin rasanya dia meludah di depan muka kekasihnya. Apalagi keadaan wanita jalang yang justru tersenyum miring tanpa malu. Rupanya ia puas karena Felina berhasil memergoki perbuatan laknat mereka berdua.
"Aku bisa jel—"
"Kita putus!" potong Felina seraya mengangkat tangan untuk menghentikan Fernando yang berdiri dan ingin maju ke depan.
"Sayang. Ini hanya salah paham," bujuk Fernando.
Felina tersenyum miris. Salah paham? Hanya wanita bodoh yang akan menganggap ini salah paham. Melangkah maju, gadis malang itu pun mendekat pada Fernando, dan ....
Plak!
Satu tamparan ia layangkan pada rahang kokoh yang kemarin-kemarin selalu Felina dambakan. Namun setelah menyaksikan kejadian tadi, seinci kulit lelaki laknat itu pun tak sudi dia inginkan.
"Anggap saja kita tidak pernah mengenal sama sekali," tegas Felina pada mantan kekasihnya itu.
"Sayang, please dengar dulu."
Bujukan Fernando tidak akan mempan terhadap Felina. Kecewa sudah terlanjur mendarah daging dan menusuk ke kalbu. Lantas mendekat pada sang wanita jalang yang semenjak tadi terlihat mengejek padanya. Felina pun mencengkram rahang mulus tersebut.
"Terima kasih karena sudah menggoda lelaki brengsek seperti Fernando. Jika tidak, maka saya tidak tahu belang dia dari sekarang, maka saya akan salah menentukan pilihan."
Untunglah wanita jalang itu tidak sedikit pun memberontak dan memberikan perlawanan. Sampai Felina menghempaskan wajahnya hingga menoleh ke samping kanan.
"Lanjutkan hubungan kalian. Lelaki brengsek memang pantas bersanding dengan wanita jalang."
Dia pun memilih pergi setelah mengatakan kalimat kasar tersebut.
"Felina! Felina! Fel! Tunggu, Fel!" teriak Fernando yang tentu saja diabaikan oleh Felina.
"Argh! Ini semua gara-gara, lo! Dasar jalang!" tunjuk Fernando pada wanita yang tadi sempat menyenangkannya itu.
Masih mampu telinga Felina mendengar kemurkaan Fernando di dalam sana, tapi semenjak dia melihat mereka bercumbu tadi, semenjak itu juga dia berjanji akan memutus semua dan tidak peduli lagi tentang mantan kekasihnya. Pergi entah kemana, kini dia bawa luka tanpa tahu bagaimana nanti mengobatinya.
***
Sekarang Felina bagai orang gila. Memacu motor dengan cepat di bawah langit yang menangis sejadi-jadinya. Seakan mengerti perasaan sedih gadis itu, atap dari bumi tersebut pun turut menjatuhkan air seperti mata Felina.
"Kenapa cobaan ini datang bertubi-tubi kepadaku," keluhnya lirih.
Belum ada sehari, sudah dua nasib sial menghampiri. Di pecat dari pekerjaan karena menghindari lelaki brengsek, ternyata sang kekasih pun tak kalah brengsek memperlakukan hubungan mereka dengan sadis begini.
"Apa yang harus aku lakukan Tuhan?" tanya Felina.
Menarik napas dalam, sepertinya lebih baik dia pulang dan istirahat sekarang, sudah cukup lelah dia berjuang menahan rasa sakit yang mengiris-iris di dalam. Membelokkan motor ke arah gang, Felina melewati sebuah gapura yang bertuliskan komplek perumahan "Mawar City"
Deretan bangunan rumah sederhana pun berjejer rapi mengiringi perjalan. Sedikit lagi gadis malang tersebut sampai pada tempat tujuan. Namun ....
"Kok, di depan rumahku ramai sekali ya?" gumam Felina.
Mengernyit heran. Tidak biasanya di komplek perumahan mereka ramai berkumpul seperti ini. Terkecuali ada acara hajatan atau ....
Degh!
Jantung Felina rasanya jatuh dari tempatnya. Tidak mungkin ada yang sedang meninggal bukan?
Semakin dekat, Felina semakin nampak melihat apa yang terjadi. Fokus pun tertuju pada sebuah bendera kuning yang menghiasi pagar rumahnya.
"Tidak! Ini tidak mungkin," racaunya.
Menghentikan motor tepat di depan rumahnya. Felina memandang semua orang yang berwajah iba menatap sendu ke arahnya. Namun, lagi-lagi ia menampik pikiran buruk yang ingin masuk ke dalam otak. Masih bisa berpikir jernih untuk mengusir khayalan yang tidak-tidak.
Pasti mereka hanya kasihan karena melihatku kehujanan, batin Felina
Mengulas senyum paksa, gadis itu pun mulai turun dan berdiri di samping motornya, tapi Felina sontak tersentak kaget kala seorang wanita paruh baya memeluk dengan tiba-tiba.
"Sabar ya, Nak. Kamu harus tabah menghadapinya."
Mematung di tempat. Felina yakin, dia bisa tabah menghadapi dua masalah yang menyerang hari ini, tapi untuk apa, ibu ini menasehati seperti ini? bukankah dia tidak tahu apa masalah yang sedang dihadapi oleh Felina?
Mengurai pelukan. Ibu itu pun mengusap air mata yang meluncur pada pipi Felina dengan penuh kasih sayang. "Orang tuamu adalah orang baik, Nak. Dan orang baik memang akan selalu disayang, Tuhan."
No!
Ibu ini semakin meyakinkan pikiran buruk Felina yang selalu berputar sejak tadi. "M-Maksud I-Ibu?" tanyanya meyakinkan.
Mata Felina mengerjap beberapa kali, lalu binar almond itu pun ia lemparkan ke arah dalam. Di sana semakin banyak tetangga yang berdatangan, mereka sedang duduk mengitari ....
"A-Ayah .... B-Bunda," lirihnya.
"Ayah dan Bundamu sudah tenang di sana, Nak."
"Tidak! Ini tidak mungkin!" histeris. Felina sontak berteriak histeris.
"Ayah! Bunda! Tidak! Itu bukan mereka!"
Lutut Felina lemas rasanya, kepala pening, pusing pun menyerang begitu saja. "Itu bukan mereka! Ini pasti hanya mimpi saja," tegas Felina yang nyatanya ....
Ingin rasanya dia berlari dan memastikan kalau dua jenazah yang terbaring bukanlah Ayah dan Bunda. Namun sebelum itu terlaksana, pusing pada kepala semakin menjadi saja.
"Nak Felina. Nak Felina."
Samar-samar panggilan nama gadis itu pun mulai menghilang. Mata Felina mulai tertutup rapat dan gelap pun senantiasa menyerang. Terakhir yang dia rasa, tubuhnya dipangku sebelum lunglai menyentuh tanah pada halaman.
"Bawa dia ke dalam."
***
Mengerjapkan mata saat minyak aromaterapi menusuk indera penciuman. Felina mulai bangun dan akan kembali menghadapi kenyataan.
"Ayah ... Bunda," lirihnya saat bisa bersuara.
Dibantu para ibu-ibu, gadis yang nyatanya benar-benar malang itu duduk di samping dua jenazah orang tuanya. Menangis pilu, dia coba kuatkan hati untuk membuka kain penutup orang tuanya.
Ini memang Ayah dan Bunda. Kenapa? Kenapa secepat ini mereka meninggalkan aku sendiri di dunia. Sebatang kara, tanpa siapa-siapa, batin Felina.
"Mereka kecelakaan sewaktu berangkat bekerja, Nak. Dan sejak pagi, kami kesusahan menghubungi kamu, bahkan tadi ada yang menyusul ke kantor katanya juga tidak bertemu."
Hati Felina pun semakin teriris pilu. Maafkan Felina Ayah, Bunda. Di saat terakhir kalian pergi, aku justru tidak mendampingi. Padahal selama ini, Ayah dan Bunda selalu meluangkan waktu untuk memberikan kasih sayang yang tidak akan pernah terganti sepanjang hidupku, batin Felina.
Menciumi kedua wajah pucat pasi. Sudah terlambat untuk meminta mereka jangan pergi. Kuat tidak kuat, Felina harus menerima kenyataan ini. Toh nyawa orang tuanya juga tidak akan kembali walau ia menangis sejadi-jadi.
Sebagai seorang anak yang baik. Ia berikan bakti terakhirnya. Mengurus pemakaman dan mengantarkan mereka pada peristirahatan ternyaman. Semoga mereka tenang, walau diri ini susah ikhlas melepaskan.
"Terima kasih, Ayah, Bunda. Kalian sudah merawat Felina sampai sebaik ini. Walau kita terpisah dunia, semoga kelak Felina bisa membahagiakan kalian berdua walau dari dunia berbeda."