Felina Sagias Putri—itu adalah nama lengkapnya. Berkulit putih, tubuh tinggi semampai, rambut pun panjang tergerai. Cantik? Itu penilaian semua orang di sekitarnya, terutama para kaum Adam di lingkungan kantor—tempat di mana Felina bekerja mengais rezeki untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
"Felina, datang!"
"Si mata almond sudah datang. Mana bunga gue tadi."
"Gue duluan yang kasih coklat sama dia."
"Gue, dulu. Gue lebih besar bunganya."
Heboh!
Itulah yang terjadi setiap pagi, kala kaki jenjang Itu menapak pada lantai gedung mewah tersebut. "Terima kasih," ucapnya ramah pada deretan lelaki yang berebutan menyerahkan tangkai bunga dan coklat sebagai hadiah paras indah Felina hari ini.
"Sama-sama, Cantik," sahut mereka serempak.
Ada yang mengedipkan mata dengan genit, ada pula yang tersenyum penuh puja seperti melihat artis saja. Lantas Felina pun menarik sudut bibir pink agar membentuk senyuman simpul. Menganggukkan sedikit kepala, dia berlalu meninggalkan mereka yang menatap semakin terpesona. Masuk ke dalam salah satu ruangan—di mana biasanya dia melakukan kegiatan bekerja.
"Pagi, Zir?" sapanya pada wanita cantik yang asik berkutat dengan laptop di depannya.
Zira lantas mendongak dan seperti biasa, matanya melotot sempurna mendapati tangan sang sahabat yang penuh dengan buket bunga serta coklat sebagai pemanisnya.
"Ya ampun, Fel! Lo habis dari toko bunga? Atau lo habis borong coklat di mall ya?!"
Yang mendapat pertanyaan pun hanya bisa mendengkus kasar. Meletakkan semua barang-barang tersebut di meja, Felina mengambil beberapa batang coklat dan menyodorkan kepada Zira. "Seperti biasa, Zir. Nah, ini buat lo. Lo suka coklat 'kan?" ujarnya.
"Thanks ya, Fel." Berbinar senang. Gadis cerewet itu seperti anak kecil yang baru di kasih mainan kesukaannya. "Semoga mereka tidak pernah bosan kasih hadiah sama lo tiap hari. Biar gue juga bisa makan coklat gratis tanpa membeli," oceh Zira.
Felina pun hanya menggelengkan kepala seraya tersenyum menanggapinya. Zira ada-ada saja. Dia yang senang, lama-lama Felina yang risih menjadi pusat perhatian.
"Eh iya. Tadi si Bos pagi-pagi cari lo," beritahu Zira yang mulai membuka bungkusan coklatnya.
Sebelah alis sang sahabat pun terangkat. "Untuk apa ya? Apa aku ada salah?" gumamnya heran.
Zira mengendikkan bahu acuh. "Katanya kalau lo datang, langsung disuruh ke ruangan dia."
Felina pun semakin heran saja. Mengingat-ingat kalau ada kesalahan yang diperbuatnya, tapi sepertinya dia tidak ingat apa-apa sama sekali. "Ya sudah, gue ke ruangan Bos sekarang, deh," pungkasnya.
Meninggalkan Zira. Dia pun menyusuri lorong demi lorong gedung pencakar langit tersebut.
"Mau ke mana, Fel?"
Langkah Felina pum terhenti dan ia menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang sedang menegur barusan. "Nesya," sapanya lengkap dengan senyum manis untuk salah satu teman terbaiknya selain Zira di kantor ini.
"Ini, gue mau ke ruangan Pak Andre, kata Zira, tadi dia cari gue pagi-pagi," terang Felina pada Nesya.
"Owh, kebetulan. Gue juga mau ke ruangan Bos."
Masuk ke dalam lift bersama, mereka menekan angka delapan untuk mengantar sampai ke tempat tujuan.
Ting!
Hanya dalam sekejap, dua gadis cantik itu sudah sampai di sana. Lift terbuka dan mereka pun keluar dari ruangan sempit tersebut. Berjalan ke arah kanan, Felina dan Nesya di sambut oleh Dinda yang merupakan sekretaris sang Bos di kantor.
"Hai, Din," sapa Nesya dan Felina bersamaan.
"Kalian? Kok barengan?"
Dinda tidak bertanya untuk apa temannya ke sini, karena sudah pasti anak buah berada di depan ruangan Bosnya untuk bertemu dengan sang atasannya.
"Nggak sengaja ketemu depan lift," jawab Felina. "Oh ya, Bosnya ada?" lanjut gadis itu bertanya pada Dinda.
"Ada, Fel. Sepertinya dia nunggu lo dari tadi," beritahu Dinda yang membuat Felina dan Nesya serempak saling pandang satu sama lainnya.
"Waduh! Nggak biasanya Bos sampai nungguin karyawan. Apa jangan-jangan dia benar naksir sama lo, Fel?" celetuk Nesya yang menurut Felina begitu mengada-ngada.
"Ngaco lo, Nes. Gue malah takut kalau gue ada berbuat salah sama Bos." Secara Pak Andre selama ini adalah atasan yang terkenal dingin dan kejam sekali. Kalau dia memanggil seseorang, maka kebanyakan pegawai itu melakukan kesalahan.
"Gue juga ngerasa Bos ada rasa sama Felina," setuju Dinda yang ternyata merasakan hal sama dengan Nesya. "Apalagi tadi Bos pesan, kalau Felina datang dan menemui dia, Gue di suruh tahan dulu siapa saja yang akan masuk ke ruangannya. Dia hanya ingin bicara berdua sepertinya."
Degh!
Jantung Felina pun berpacu semakin kuat, entah mengapa perasaannya semakin tidak enak. "Gue pasti bikin kesalahan," lirihnya ketakutan. Dengan langkah yang gemetaran akhirnya dia putuskan untuk masuk ke dalam.
"Gue masuk, deh," pamit Felina pada dua wanita yang hanya mengangguk mempersilakan gadis itu menerobos pintu.
Ceklek!
Ruangan terbuka. Dan Felina menautkan alis kala si Bos tak ada di bangku kerjanya. "Kosong," gumamnya. "Kemana Pak Andre?"
Lantas memutar kaki dan berbalik. "Astaga!" pekik Felina.
Wajah itu pucat seketika. Dia pikir sedang melihat hantu yang hadir tiba-tiba. Terkejut tidak terkira, saat mendapati lelaki tinggi tegap yang tadi di cari justru bersandar pada tembok dengan santainya. Entah sejak kapan si Bos di sana, dan Felina tebak ia sudah lama dan menunggu gadis itu masuk dengan sengaja.
"Lama sekali masuknya. Apa saya membayar kalian untuk bergosip dulu sebelum bekerja."
Duar!
Bola mata Felina pun melotot sempurna. Namun langsung menunduk kala binar perak tersebut mengintimidasi dan membuat nyalinya semakin ciut.
Mampuslah aku! Pasti si Bos semakin marah karena menunggu, batinnya. Diam seribu bahasa, Felina pun kehilangan kata-kata untuk membela diri dengan berbagai alasan apa pun juga.
Hening. Gadis itu mengekor pergerakan si Bos yang mulai membuka lipatan tangan di dada. Tunggu! Mau apa dia?
Kenapa? Kenapa si Bos berjalan ke pintu dan mengunci benda persegi itu?
Apa? Apa aku akan benar-benar di kuliti habis hari ini?
Peluh dingin berjatuhan, kaki rasanya kebas kesemutan. Si Bos sudah berdiri di belakang, semakin membuat hati Felina dag-dig-dug tak karuan. Otak pun panas menebak-nebak apa kiranya yang akan terjadi beberapa menit ke depan.
"Jadilah wanita simpananku."
Apa Felina tak salah dengar? Mengerjapkan mata, tubuh yang sontak ingin berbalik, di tahan oleh tangan kekar yang melingkar di atas perut rata.
Apa-apaan ini? Lancang sekali Pak Andre memeluknya. "Lepas, Pak. Nanti ada yang lihat dan bagaimana kalau itu adalah istri anda."
"Pintunya sudah saya kunci."
Tetap saja Felina tidak mau ini terjadi. Memberontak, ia pun menggerak-gerakkan seluruh tubuh agar terlepas dari lelaki yang dia akui lumayan tampan itu. "Tapi, Pak."
Namun bukannya Pak Andre beralih, dia justru semakin merapatkan tubuh dengan Felina. "Saya sudah lama menginginkan kamu. Semenjak kamu datang ke perusahaan ini, sejak itu saya selalu bermimpi untuk memelukmu seperti ini," ujarnya seraya menaruh dagu pada pundak mulus gadis itu.
"Sekali lagi saya minta, jadilah wanita simpananku."
"Tidak!" keras Felina menolak.