Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 271 - Siapa yang Menemuimu?

Chapter 271 - Siapa yang Menemuimu?

"Bisakah kita diskusi dan sepakat sampai tuntas?" tanya Rendra. "Keluargaku dalam bahaya. Aku gak tau harus ngapain sekarang."

Ragil dan Najma berpandangan sedetik.

"Akuโ€ฆbutuh bantuan kalian berdua," Rendra memohon. "Bahkan, kalau memang itu memerlukan biaya, sebutkan saja."

Rahang Ragil mengeras.

"Jadi, kami bawahanmu sekarang?" tanya Ragil.

Najma menginjak jari kakinya.

๐Ÿ”…๐Ÿ”†๐Ÿ”…

Mau tidak mau, Najma dan Ragil mengambil cuti panjang tahunan. Bukan tawaran uang dari Rendra yang menggiurkan, walau tentu itu juga menjadi salah satu daya tarik, tapi mereka sudah sejauh ini terlibat dengan Salaka dan proyek purbakala delapan hektar.

Rendra, diam-diam menjual salah satu mobilnya untuk merealisasikan bagaimana agar persoalan Silva terurai. Selain harus menggaji Ragil dan Najma sesuai kesepakatan, ia butuh biaya perawatan bagi Silva dan Pandu. Dibantu Ragil dan teman-temannya, Rendra segera memindahkan perawatan Pandu mendekati Silva.

"Aku harus balik ke Javadiva," pinta gadis itu, ketika kondisinya membaik.

Rendra menggeleng.

"Sepertinya kamu malah harus cuti, Sil."

"Gak bisa, Mas. Gimana nanti Salaka sama Candina? Aku juga gak bakalan bisa seangkatan lagi sama Sonna, Rasi dan Bhumi. Aku gak bakal punya teman lagi kayak mereka!"

"Berbahaya kamu balik ke sana," Najma mengiyakan alasan Rendra. "Kamu pasti gak lupa serangan ular-ular ke asrama dan ruang seni. Kamu juga pasti gak lupa kejadian yang menimpa kamu belum lama ini."

Silva menarik napas.

"Aku tahu, pasti bahaya kalau aku ke Javadiva. Tapi gak tau kenapa, aku merasa tempat itu punya rahasia yang harus digali," ujar Silva. "Ada kaitannya dengan Salaka. Ada kaitannya dengan kita semua."

Najma menatap Silva. Gadis kurus di hadapannya menatap dengan memohon. Apa yang ada di pikiran Silva, sesungguhnya juga bertengger di benak Najma. Tempat-tempat yang berbahaya, sesungguhnya merupakan sumber jawaban bagi permasalahan mereka.

"Silva," ujar Rendra lembut. "Aku harus segera balik ke Jakarta. Kamu di sini ditemani Mas Ragil dan timnya. Aku percaya dia. Tapi kamu harus nurut sama kata-kata Mas Ragil. Kamu bisa balik Javadiva, tapi harus koordinasi sama kita semua."

Silva menatap Rendra lekat. Merasakan bahwa permusuhan dan perpecahan antara mereka berdua telah memudar. Menyedihkan, mengapa justru hubungan dengan bu Candra memburuk dan tampaknya tak akan membaik?

๐Ÿ”…๐Ÿ”†๐Ÿ”…

Rendra tak bisa berlama-lama menemani Silva. Ia menyerahkan penjagaan gadis itu beserta Pandu pada Ragil. Di ruang kerjanya di Jakarta, pikiran Rendra pepat oleh banyaknya masalah.

"Kamu butuh duit, Ren?" tanya Luna

Rendra tak menjawab.

"Ayolah, aku ini asistenmu. Rekanmu juga," bisik Luna.

Luna memegang lutut Rendra, mengelusnya perlahan. Rendra menarik kakinya menjauh.

"Aku lagi kerja, Lun," datar suara Rendra, menyembunyikan wajah di balik laptop. "Kerjakan apa yang kuminta. Data-data yang kubutuhkan, sudah ada?"

Luna mendengus kesal.

"Kamu mau bikin perusahaan sendiri? Kenapa?"

"Sudah waktunya aku mandiri," Rendra menjawab singkat.

"Kamu konflik sama bu Candra?"

Rendra terdiam.

"Kamu bisa cerita semua sama aku," bisik Luna di telinga Rendra, sembari menggeser tubuhnya mendekat. "Kamu ingat kan, masa kita berdua di Bali? Di Hong Kong juga."

Rendra menatapnya heran, "Apaan sih, Lun?"

"Kamu meluk aku waktu itu," suara Luna mendesah di telinga Rendra, membuat lelaki itu merinding dan justru menjauh.

"Aku cuma mau nolongin pas kamu mabuk berat," gumam Rendra.

"Cuma itu?" Luna mengedipkan mata. "Kamu menggerayangi aku."

"Ya ampun, Luna!" bentak Rendra pelan. "Badanmu basah muntah. Aku cuma mengelap pakai handuk basah!"

"Ah, gak mungkin," Luna tertawa pelan, meletakkan dagunya di bahu Rendra.

Sedikit tak sabar, Rendra bangkit berdiri. Berpindah dari sofa ke meja.

"Luna, aku butuh kamu serius. Kerjakan apa yang aku minta, dan segera laporkan hasilnya!" tegas suara Rendra.

Ia bisa saja memecat Luna kapanpun, tapi harus diakui, Luna sangat andal dan luwes menangani banyak hal. Masalah yang memusingkan Rendra adalah ketika harus berhadapan dengan rayuannya. Walau berstatus asisten, Luna sepertinya tahu ia memegang beberapa kunci penting hingga berani bersikap kurang ajar sesekali pada atasannya.

Cemberut, Luna kembali ke pekerjaannya. Ia selalu berharap bahwa tiap kali Rendra memanggilnya untuk bekerja, ada 'pekerjaan' lain yang dilakukan.

"Kamu lebih memilih Nikka dibandingku?" gumam Luna gusar.

"Hmh?" Rendra tak menggubris.

"Apa yang sudah dilakukan Nikka selain dia anak orang kaya?" tuduh Luna.

Rendra menatapnya.

Papa Nikka adalah salah satu tujuan proposalnya.

Ya. Ia sampai lupa punya teman dekat bernama Nikka. Teman yang juga sama manjanya dengan Luna dan sering beranggapan ia punya perasaan terhadap mereka. Mengapa mereka tak bisa bersikap wajar seperti Najma?

Pikiran tentang Najma menyeruak tetiba, membuat Rendra mendengus.

"Kau mendengus," tebak Luna. "Berarti tuduhanku benar."

Rendra menarik napas panjang, "Luna? Please? Data yang kubutuhkan? Atau kamu kepingin kerja remote aja?"

Satu panggilan telepon berdering.

Rendra melirik namanya, merasa enggan tapi juga tak mungkin menolak. Suara di seberang adalah sosok yang ditebak Luna. Setelah berbasa basi sebentar, perbincangan mengerucut ke hal penting.

"Ren, papa langsung tertarik untuk invest," suara Nikka ringan dan riang. "Kapan mau mulai kerjasama?"

Rendra tersenyum samar. Di satu sisi senang mendengar berita itu, di satu sisi merasa harus bersiap menghadapi masalah lain.

"Papa ingin kamu ke Maroko," Nikka lanjut berkata segera, bahkan sebelum Rendra menanggapi apapun. "Apa bisa segera? Aku temani. Kebetulan aku lagi di Jakarta. Kamu juga lagi di Jakarta, kan?"

"Ya," Rendra membenarkan. "Aku lagi di Jakarta. tapi sepertinya gak bisa kalau harus segera ke Maroko. Aku ada beberapa kerjaan lain yang harus segera selesai. Apa papa butuh sekali ketemu?"

"Betul."

"Aku punya masukan."

"Apa itu?"

"Apa boleh aku mewakilkan ke Luna? Biar dia yang berangkat ke Maroko."

"Ha??"

Baik Nikka dan Luna sama-sama mengeluarkan suara.

"Lebih baik gak usah deh, kalau kamu gak bisa," tolak Nikka halus.

"Kalau yang lebih dekat gimana, Nik?" tanya Rendra. "Aku gak bisa ninggalin Indonesia untuk saat ini. Misal ke Bali, Lombok, atau Labuhan Bajo?"

Luna menajamkan pendengaran.

Nikka terdengar menarik napas untuk beberapa waktu, lalu mengiyakan kemudian. Rendra segera memerintahkan Luna untuk mempersiapkan tiket. Hal yang membuat perempuan itu menggerutu panjang pendek. Ke Lombok, dengan Rendra untuk menemui perempuan lain? Walaupun Nikka punya kapasitas tak diragukan, Luna telah menimbun banyak kecurigaan padanya.

๐Ÿ”…๐Ÿ”†๐Ÿ”…

"Kita cuma punya jatah dua minggu," ujar Ragil.

"Ada beberapa hari tanggal merah, libur hari kejepit. Waktu kita bisa lebih dari empat belas hari. Kemungkinan tiga pekan, Mas," ujar Najma.

"Kamu mau memperpanjang kontrak kerja sama Rendra?" setengah sinis suara Ragil.

"Gak juga," Najma pelan menjawab. "Tapi terus terang aku pingin banget mengungkap permasalahan Silva dan Salaka. Juga apa yang menimpaku. Apa yang membuat ibuku wafat."

Ragil menatapnya iba.

"Aku masih ingat kebaikan Bu Tina," Ragil berkata menghibur. "Betapa enak masakan beliau."

Najma terdiam.

"Berharap banget kalau punya istri bisa masak seenak itu," lanjut Ragil.

Najma terdiam sesaat, "Bapakku juga sangat enak kalau masak. Aku berharap punya suami yang pinter masak seperti bapakku."

Bara dan Mawar, yang berdiri di belakang mereka cekikikan.

"Emang beda ya, cara ngerayu tim purbakala," celetuk Mawar.

"Heh!" bentak Ragil. "Kamu udah sembuh??"

"Mas berharap aku sakit lagi?"

"Padahal tulangmu kecil, kalau ngamuk kuat juga," gerutu Ragil.

"Itu karena ada yang nunggangi aku," ujar Mawar.

Najma tertegun mendengarnya. Ia bahkan belum sempat bicara panjang lebar terkait kejadian aneh dan membahayakan yang menyebabkan tim delapan hektar mengalami beberapa luka lumayan serius.

"Mawar," Najma menoleh ke arahnya, "apa kamu tahu Sang Tumenggung?"

๐Ÿ”…๐Ÿ”†๐Ÿ”