Garanggati menggertakkan geraham.
Perlukah dalam keadaan genting mereka saling menelikung satu sama lain? Seharusnya setiap pejabat dan ksatria Wanawa tak meragukan kesetiaan masing-masing. Kabar yang sampai ke telinganya sungguh meresahkan. Pikiran Garanggati tertuju pada keselamatan Putri Yamivara dan Putri Nishavara hingga ia membangun lorong-lorong rahasia yang menjadi jalan pelarian bagi seluruh rakyat Wanawa dan sekutu mereka jika dibutuhkan. Semula, Garanggati menyangka Vanantara berada di lorong rahasia. Mengapa tetiba sang raja muncul diam-diam di Giriwana?
Bahkan Garanggati kesulitan mempercayai Hulubalang Jawar yang merupakan sosok kepercayaan Raja Vanantara. Ia merasa ragu mempercayai Hulubalang Sindu, walau sang ksatria adalah kaki tangannya.
Apalagi mempercayai para hulubalang bawahan Milind : Wulung, Gandar, Pilang, Narpati dan yang lainnya. Bagaimana ia akan menjaga keselamatan Wanawa, khususnya Giriwana bila tak ada yang bisa dipercaya? Bahkan, Garanggati tak bisa sepenuhnya meletakkan keyakinannya pada Milind. Bagaimanapun, Milind adalah ksatria yang paling dicintai Vanantara di seluruh negeri Wanawa.
Bila, ingin menggali kabar-kabar samar, Garanggati harus mencari sumber selain prajurit Wanawa.
❄️💫❄️
Di bilik Aswa yang terpisah jauh dari bilik Kahayun tempat kerja Milind, Garanggati merasa lebih aman untuk menanyakan beberapa hal penting. Ia memanggil beberapa pihak secara diam-diam. Justru di benteng Gosha, Garanggati merasa lebih nyaman.
"Lukamu," tanya Garanggapi prihatin, "apakah sudah sembuh?"
Gadis itu mencoba tersenyum. Sebuah perhatian, adalah obat sangat mujarab.
"Hamba baik-baik saja, Tuan," ucapnya yakin.
Garanggati termenung, mencoba bersemedi sebentar, meraba seperti apa sosok di hadapannya. Prajurit sederhana, selalu taat, tak banyak mengeluh dan berupaya bekerja keras. Walau perempuan, semangatnya menyamai lelaki.
"Apakah kau dekat dengan Jawar dan Sindu?" tanya Garanggati.
Nami tertegun. Kedekatan seperti apa yang dimaksud Garanggati?
"Mereka berdua adalah guru kami di pelatihan," Nami menekankan kata 'kami' , sebab Jawar dan Sindu menjadi pelatih para Nistalit pilihan yang berada di Giriwana. "Sama seperti Hulubalang Sin banna Gangika dan Hulubalang Janur banna Wanawa; kami cukup dekat dengan Hulubalang Jawar dan Hulubalang Sindu."
Garanggati mengangguk.
"Menurutmu, siapa yang bisa dipercaya?"
Nami terbelalak, terhenyak, memberikan penghormatan dengan kedua belah telapak tangan merapat di dada.
"Keduanya adalah hulubalang Sabuk Emas, pilihan Baginda Vanantara," Nami merasakan suaranya bergetar. Merasa ragu akan pendapatnya sendiri. "Hulubalang Jawar dan Hulubalang Sindu sangat istimewa. Mohon ampun, Pandhita Garanggati. Sangat sulit untuk menilai mereka."
Keduanya terdiam.
Garanggati melapisi bilik khusus Aswa, tempatnya istirahat dan bekerja untuk sementara waktu, menggunakan mantra hingga tak ada yang dapat mendengar.
Nami mencoba memberanikan diri.
"Apakah ada yang dapat hamba bantu, Pandhita Garanggati? Pengetahuan sempit hamba siapa tahu dapat memberikan manfaat," ucap Nami pelan.
Garanggati membuang napas berat.
"Raja Vanantara memanggil semua hulubalang Sabuk Emas, tapi aku sama sekali tak tahu apa yang mereka bicarakan."
Nami tertegun.
"Apakah dulu, ketika hamba dan Dupa akan menjadi prajurit khusus Giriwana, Paduka Vanantara dan Tuan Garanggati berembug?"
"Ya. Kami selalu bertukar pikiran," desah Garanggati.
Nami tampak berpikir keras.
"Ada yang ingin kau sampaikan, Prajurit?" tegur Garanggati, mengamati perubahan mimik wajah gadis di depannya.
Helaan napas panjang.
Keheningan malam.
Denting senjata sedang dibentuk oleh para Nistalit. Mereka dapat mendengar suara dari luar, tapi tak ada suara di dalam bilik Garanggati dapat menembus ke luar.
"Apakah kau bersedia membantuku?" tanya Garanggati pelan.
Mata Nami terbelalak. Sosok di depannya begitu agung dan bijak. Bagaimana mungkin menolak permintaannya?
"Jadilah mata dan telingaku," pinta Garanggati. "Laporkan padaku apa yang kau tahu."
Nami menganguk cepat. Hanya balas budi akan kebaikan sang pandhita sekaligus panglima Garanggati yang ada di benaknya.
"Hamba akan menempa senjata, Pandhita," Nami memberi usulan. "Bagaimanapun, Wanawa membutuhkan banyak senjata poorva auriga."
"Kau masih belum sembuh sempurna," Garanggati tak setuju.
"Tak mengapa, hamba akan pelan-pelan. Akan banyak berita lalu lalang dari para penempa senjata. Nistalit memang budak, tapi dapat menyusup ke mana-mana. Pasti ada yang dapat digali dari perbincangan tak sengaja di antara kami."
Garanggati tersenyum dan mengangguk.
"Aku sudah memotong banyak lempengan," sang pandhita menarik napas panjang, terbatuk sesaat.
Nami berdiri, menghampirinya yang serta merta ditolak oleh Garanggati.
"Walau usia Akasha bisa mencapai ribuan tahun, kami tidaklah kebal oleh kematian, Nistalit," gumam Garanggati.
"Paduka akan hidup ribuan tahun lagi," ucap Nami.
Garanggati tertawa, membuatnya terbatuk pelan.
"Yang kupikirkan adalah perjanjian persekutuan wangsa Akasha dan Pasyu. Selama ini kami damai karena terikat perjanjian itu. Tapi ada pihak lain –Mandhakarma –yang mencoba menghancurkan apa yang kami yakini selama ini."
Nami terdiam.
Pihak lain, pikir gadis itu. Bagaimana kedudukan Nistalit di benak Garanggati?
"Aku bersyukur bukan Nistalit yang menghancurkan persekutuan Akasha dan Pasyu," ujar Garanggati, seolah memahami jalan pikiran Nami. "Bukan kami meremehkan kalian. Tapi kalian, wangsa yang belum memiliki banyak pengalaman. Kalian juga miskin kekuatan."
Jujur, Nami tidak merasa tersinggung mendengarnya. Ia justru menyimak baik-baik.
"Tapi tak ada yang tahu bagaimana dunia terus bergerak," Garanggati tersenyum. "Tak ada yang pernah memperkirakan Tala hal Vasuki akan menjadi pemimpin yang ditakuti seperti sekarang."
"Tuan takut kepadanya?"
"Ya. Jujur aku takut padanya."
Nami tersenyum, menggeleng perlahan.
"Kenapa? Kau tak takut?"
"Hamba pernah mengalahkan salah satu pangeran Vasuki. Hamba pernah menyelamatkan salah satu bangsawan Vasuki. Mereka bisa dikalahkan, bisa juga lemah dan butuh bantuan," ucap Nami.
Garanggati tertegun.
"Mungkin juga…karena hamba terlalu takut terhadap Vasuki yang kejam, sehingga rasa takut itu mengalir menjadi kepasrahan pada kematian," Nami melanjutkan.
Suara tawa Garanggati terdengar lepas.
"Aku baru tahu Nistalit bisa bijak," Garanggati sedikit meledek. "Walau harus kuakui, Nistalit adalah wangsa pemberani dan nekat luar biasa."
"Mungkin semua berangkat dari kehidupan kami yang terus menerus didera ketakutan, Pandhita."
Garanggati mengangguk, "Ya, bisa jadi, Prajurit. Berarti kehidupan yang buruk tak selalu merugikanmu, bukan?"
Nami mengangkap kepala, tersenyum lebar memandang wajah Garanggati yang tampak mulai termakan usia walau berkah umur ribuan tahun dan kesaktian menyamarkan ketuaannya.
"Apakah Pandhita pernah menikah?" Nami bertanya, meluncur begitu saja kalimat dari mulutnya.
Garanggati terkejut mendengarnya, seketika rahangnya terlihat kaku dan mulutnya mengeras.
Nami membungkuk memberi hormat, menyesali kelancangannya sembari meminta maaf. Mengingat perintah-perintah penting telah disampaikan, lebih baik segera angkat kaki sebelum pecah kemarahan akibat mulut lepas kendali.
Sebelum gadis itu berpamitan pergi, Garanggati membuka suara.
"Aku memutuskan menjadi pandhita saat terpilih sebagai penjaga Kawah Gambiralaya. Sebuah tugas penuh penghormatan untuk menjaga pusaka sakti Wanawa, Nami."
Nami mengangguk ke arahnya, memberi hormat dalam dan berpamitan.
Garanggati tampak termenung selepas kepergiannya.
❄️💫❄️
Nami menempa senjata sepanjang waktu. Mencoba bertahan sekuat tenaga saat luka-luka terasa nyeri atau tetiba tubuhnya lunglai lemah.
"Kau harus banyak istirahat," Dupa menghampirinya, memberikan air madu.
Tak sungkan, Nami menenggaknya hingga habis.
"Madu seenak ini, kau dapatkan dari mana?"
"Panglima Milind," Dupa berkata sembari mengedipkan mata. "Semua pekerja mendapatkan sebotol."
"Aku tak mendapatkannya," Nami seolah menggerutu.
"Itu karena ia tak tahu kau jadi pandai besi seperti ini. Kalau panglima tahu, mungkin ia yang akan membuatkan minuman langsung untukmu," canda Dupa.
Nami tak menggubrisnya.
"Dupa, saat kita membuat senjata, apakah ada yang mengawasi?"
"Kenapa memangnya?" Dupa mengerutkan kening.
"Nistalit tak mahir membuat senjata seperti Akasha dan Pasyu. Bukankah seharusnya ada yang membimbing kita?"
"Kau tahu, situasi genting. Prajurit dikerahkan untuk titik-titik penting. Tapi, ya, beberapa hulubalang bergantian menjaga."
"Siapa saja?"
"Hulubalang Wulung. Hulubalang Gandar. Hulubalang Pilang. Hulubalang Narpati."
"Sabuk Emas?" bisik Nami.
Dupa menatapnya penuh selidik. Tangannya mencengkram lengan Nami kuat sembari berbisik, "Jangan sembarang bicara di tengah para Nistalit. Kau tak tahu apa yang mereka bicarakan di belakang punggungmu!"
Nami terdiam. Mencuri pandang ke arah para Nistalit yang tekun menempa mahatarundara. Tak ada yang menoleh ke arahnya, tak ada yang menanggapi. Namun, siapa yang tahu apa saja yang berkecamuk di dasar hati?
Tang. Tung. Tang. Tung. Ting.
Tang. Tung. Tang. Tung. Ting.
Suara alat-alat beradu dengan bakal senjata.
Nami dan Dupa kembali menekuni pekerjaan mereka. Di hari tak ada pertempuran, semua Nistalit dikerahkan membuat senjata. Nami tak lagi berjaga di bilik putri, mengingat Putri Yami dan Putri Nisha telah bersembunyi di titik yang tak diketahui banyak pihak.
Satu sosok melintas di hadapan Nistalit.
Wajahnya keruh sembari menunduk. Ia berjalan sembari bersedekap, seolah melindungi tubuh. Bergerak cepat, lenyap di balik dinding-dinding benteng Aswa Girimba.
❄️💫❄️