Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 270 - Dua Persepsi

Chapter 270 - Dua Persepsi

Ragil dan Najma menyepi sejenak, menjauh dari mobil. Menarik udara segar sekuatnya setelah berkejaran dengan hal-hal menyesakkan. Teguran dan kisah ibu penjual warung nasi benar-benar mengejutkan.

"Aku butuh ketemu Silva," ujar Najma, pasti.

"Naj, kamu perlu istirahat."

"Aku butuh ketemu dia segera, Mas."

"Naj!"

Najma menarik napas. Bila marah, Ragil bisa sangat menakutkan.

"Kamu pulang, temani ayah kamu. Tenangkan diri kamu," tegas Ragil.

"Aku harus menyelesaikan segera semua masalah terkait Silva, Salaka, …semua terkait ini."

"Kamu..," Ragil terdiam sesaat, "…semenjak bu Tina wafat, kamu sama sekali belum istirahat. Seharusnya kamu nemani ayahmu melalui masa-masa sulit. Gak usah mikir Silva dulu. Dia tenang, kamu tenang."

"Aku akan cari cara untuk ketemu Silva," gumam Najma, bersikeras.

"Aku gak mau ngasih tau dia di mana!"

"Pasti bisa kutemukan. Ada yang mau bantu selain Mas Ragil."

"Dengan cara apa? Merayu Rendra?!"

Najma melemparkan pandangan tajam ke arah Ragil, "Jaga omongan kamu, Mas! Memangnya aku cewek macam apa?!"

Gadis itu membalikkan badan, menahan ledakan marah yang menyublim menjadi lelehan air mata tertahan.

🔅🔆🔅

Rasi, Bhumi dan Silva diantarkan kembali ke Javadiva. Sumur Wiswa, tempat pertemuan Salaka dan Candina, hanya satu dari ribuan jejak sejarah yang luput dari perhatian dan pelestarian. Beruntung tempat itu masih jarang dijamah, sehingga Najma bebas bereksplorasi. Sepanjang perjalanan menuju Javadiva, tak lagi membahas peristiwa itu.

Hari memasuki senja.

Beruntung, ada libur dihari-hari terjepit hingga sekolah memberlakukan beberapa hari kosong jadwal pelajaran. Di gerbang Javadiva, mereka berpisah.

"Kepala sekolah," tanya Najma, "…mereka masih mengganggu kalian?"

Rasi menggeleng.

"Nggak, Mbak," bisik Sonna. "Tapi kayaknya mereka sangat waspada tiap kali kita ke luar. Seperti kali ini. Bakal diinterogasi habis-habisan."

"Sorry," Najma berkata prihatin. "Aku banyak buat masalah."

"Mbak," Rasi menenangkan, "aku malah mau bilang, kalau ada apa-apa ajakin aku lagi. Asik banget petualangan kayak gitu tadi."

"Trus, kamu lari ninggalin aku?" Najma berkata tertawa.

"Eh, aku gak melarikan diri," tolak Rasi, nyengir, "aku cari bantuan."

"Apa perlu aku ketemu kepala sekolah?" tanya Najma.

"Gak usah," ujar Bhumi. "Kami bisa atasi. Kayaknya, mereka juga gak berani main-main karena lembaga penopang beasiswa kami juga merupakan lembaga ternama. Yang penting, nilai ujian kami bagus."

Mereka berempat saling tersenyum.

"Sekolah Silva…," perkataan Sonna mengapung.

"Nanti akan aku coba bahas dengan abangnya," bisik Najma.

"Aku khawatir dia bakal dikeluarkan. Pasti jadi konflik besar di tengah keluarganya," bisik Sonna.

Najma tersenyum muram.

🔅🔆🔅

Kesunyian di dalam mobil terasa menyiksa.

Hanya suara berita di radio menyampaikan kondisi jalan raya, diselilingi lagu-lagu yang makin membuat situasi bertambah melankolis. Rendra fokus mengemudi, sementara Ragil seolah sibuk dengan dunianya sendiri.

Najma membisu di kursi belakang.

Tubuh dan pikirannya lelah, namun isi kepalanya menolak berhenti bekerja.

Dering telepon berbunyi. Tiga orang mengamati gawai masing-masing, namun panggilan ternyata tertuju pada Najma. Kemuramannya segera hilang, walau hanya di permukaan. Setidaknya, suara di seberang lebih menyenangkan untuk didengar saat ini.

"Mbak gakpapa?" tanya Silva.

"Aku baik-baik aja."

"Mas Ragil jadi nolong Mbak?"

"Ya, tadi Mas Ragil yang nolongin."

Mobil terhenyak tetiba hingga tubuh penumpangnya nyaris membentur bagian depan.

"Sorry," gumam Rendra singkat.

Najma menggumam istighfar.

"Ada Mas Rendra?" tanya Silva.

"Ada. Tadi Pak Rendra juga banyak ngebantu," Najma berkata lembut, seolah merasa bersalah mengabaikan peran serta Rendra.

"Aku sama Mas Bara di sini," kata Silva. "Tapi aku pingin sama Mas Rendra."

"Ya, nanti aku sampaikan," Najma menenangkan.

"Mbak Najma…Mbak Najma gak bisa ketemu aku?"

Najma menarik napas panjang, "Nanti coba aku diskusikan dengan Mas Ragil, ya."

"Lho, kenapa dengan Mas Ragil?"

"Ya, gakpapa. Dia kan atasan aku," jawab Najma mencoba berkelakar.

"Ada banyak yang mau kudiskusikan sama Mbak."

"Aku juga pingin ketemu kamu."

"Kalau gitu ayolah."

"Nanti kukabari lagi, ya. Kamu istirahat dulu di sana. Okay?"

Terdengar suara helaan napas berat sebelum gumamam kata, "Oke."

Hening.

Suara AC mobil.

Suara detak jantung masing-masing.

Rendra mengarahkan mobilnya ke café nyaman dan estetik.

"Aku lapar," gumamnya singkat.

Ragil terdiam, demikian pula Najma. Mereka harus merogoh kocek berapa untuk café seperti itu?

"Ayolah," ajak Rendra, "kalian pasti lapar. Tadi belum cukup buat ganjal perut kan? Gak usah khawatir. Aku yang traktir."

Rendra berjalan di depan, membiarkan Ragil dan Najma di belakang punggungnya.

"Najma," Ragil berkata pelan, "sorry atas ucapanku tadi."

Najma mendengus, masih merasa sakit hati.

Ia sempat menyeka mata, menghilangkan airmata akibat kemarahan atas tuduhan berusaha merayu Rendra. Tapi cukup lama dikenalnya Ragil, cowok yang kadang sangar. Kadang kasar dan keras, tapi juga sesekali lembut dan baik hati.

"Mas Ragil tuh kalau ngomong suka njeplak," getas suara Najma. "Gak mikir lawan bicara."

"Iya, iya. Sorry. Kelamaan ngomong sama batu."

"Coba kalau cewek Mas Ragil ngadepin situasi kayak gitu tadi, apa gak langsung minta putus?"

Ragil terdiam.

Rendra memesan tempat di sudut, jauh dari lalu lalang orang.

"Kalian pesan apa? Bebas aja."

Ragil menarik napas. Semurah-murahnya harga di café ini, bukan jajanan orang sepertinya yang terbiasa makan di warung. Kalaupun ingin sedikit mewah, akan pergi ke café dan resto dengan harta seratus ribuan, sudah plus minum. Melirik harga minuman di daftar menu, membuat leher tersedak

"Aku minum aja," Najma berkata singkat.

"Aku juga minum aja," Ragil menambahkan.

"Mas Ragil harus makan," tegur Najma. "Seharian belum makan kan? Ntar maag-nya kambuh, repot satu kantor."

Rendra mendengus pelan. Entah mengapa, tak suka melihat pemandangan di depannya.

"Aku pesan makanan buat semua. Steak, oke?"

"Aku nasi aja, Ren. Perut orang Jawa," pinta Ragil.

"Kamu, Naj?" tanya Ragil dan Rendra bersamaan.

Najma memandang keduanya bingung. Kalau bertengkar buat takut, kalau bersahabat juga terasa aneh. Jadi harusnya bagaimana?

"Nasi aja, samain dengan Mas Ragil," jawab Najma.

Rendra merasa dongkol, entah mengapa.

Suasana terasa canggung. Lagu live yang dinyanyikan benar-benar membuat suasana malam lebih cocok bagi mereka yang sedang menikmati masa-masa romansa. Bukan yang sedang dirundung masalah berat seperti mereka bertiga. Untuk melupakan hal-hal buruk, ketiganya mencoba tenggelam dalam gawai masing-masing. Men-scroll berita-berita tak penting di IG atau twitter.

Sembari menunggu hidangan hadir dan untuk memecah kehenginan, Najma mencoba membuka perbincangan.

"Silva bilang tadi, ingin ditemani Pak Rendra."

Rendra mengankat kepala, menatap Najma sejenak. Menghela napas pelan, "ya, aku rencana mau ke sana. Tapi aku harus mengurus Pandu dulu. Aku juga harus mengurus Kikan, adikku yang lain."

Ragil menunduk. Najma pun demikian. Merasa iba akan suasana Rendra yang penuh tekanan.

"Apa aku bisa minta tolong kamu buat jaga Silva?" tanya Rendra ke arah Najma.

Najma baru saja berniat membuka mulut ketika Ragil menyela.

"No, Ren. Jauhkan Najma dari Silva," tegas Ragil. "Mereka berdua bisa terlibat, …ah, bukan cuma terlibat. Terlibas! Terlibas masalah."

"Apa aku harus menyerahkan Silva sama Bara?"

"Ada paman dan bibiku di sana, mereka sangat berpengalaman."

"Aku nggak meremehkan paman bibimu, Gil, tapi mereka menangani narkoba. Depresi. Bukan hal seperti Silva."

"Mereka juga pernah menangani kasus-kasus di luar nalar," tandas Ragil.

"Kenapa aku gak boleh minta tolong sama Najma?"

"Karena dia anak buahku dan dia harus kerja, Ren!"

Ragil menatap Rendra. Kenapa harus Najma, pikirnya kesal.

Rendra menepuk meja, sedikit keras. Merasa jengkel dengan alasan yang terdengar mengada-ada.

Najma berdehem sedikit keras.

"Apa pada mau berantem sampai aku pindah meja?" ujarnya. "Apa gak ada yang nanya gimana pendapatku?"

Mereka terdiam beberapa saat.

"Pak Rendra, saya berniat menemani Silva," Najma berujar pelan, menelan pandangan galak dari Ragil. "Tapi betul kata Mas Ragil, saya harus kerja. Kondite saya di kantor, entahlah…pasti sudah buruk banget. Mas Ragil banyak belain saya."

Ragil menurunkan tensinya, menatap Najma lebih lembut.

"Nanti setelah sepekan, saya akan temani Silva," ujar Najma.

Perkataan yang melegakan Rendra, tapi sebaliknya untuk Ragil.

"Naj?"

"Mas Ragil, pasti berat jadi Silva," tegas Najma. "Dia sama aku punya kesamaan saat ini. Kami sama-sama sedang kehilangan figure ibu. Ada yang bisa ngerasain gimana sedihnya?"

🔅🔆🔅