Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 266 - Kenangan Leluhur

Chapter 266 - Kenangan Leluhur

"Apa Silva aman di sini?" Rendra menggumam resah.

Ragil menggeleng, "aku nggak tau. Aku bahkan berpikir untuk segera cabut dari sini."

"Aku juga mikir gitu," Rendra mengiyakan.

"Kenapa?" Bara mengerutkan kening.

"Pokoknya lebih jauh, lebih baik," Rendra berkata. "Lebih jauh dari ibuku."

Rendra terdiam, tak bisa melanjutkan. Ia tak punya sumber keuangan di saat seperti itu. Rekan bisnisnya banyak, namun sahabat sejati sangat sulit ditemui. Berpikir. Berpikir. Berpikir! Jalur saraf di kepalanya memaksa untuk bekerja mencari solusi. Ia mengontak beberapa pihak. Perbincangan yang tak dimengerti oleh Ragil dan Bara, namun keduanya tahu, Rendra dalam keadaan serba terdesak.

"Pak Rendra," Ragil menawarkan, "kita bawa Silva ke tempat lebih aman."

"Aku sedang usahakan," Rendra berkata pelan dan tegas.

"Saya punya beberapa saudara yang mungkin bisa dijadikan alternatif," Ragil berkata, menarik napas. "Bukan saudara yang kayaraya, tapi bisa dijadikan pegangan."

Rendra terdiam.

Angin berhembus. Udara dingin menusuk tulang, sebelum matahari benar-benar sampai di atap langit.

Pagi telah menjelang. Klinik kecil itu mulai dipadati berbagai macam petugas dan pengunjung. Lalu lalang orang seharusnya membuat perasaan lebih tenang, sebab kecil kemungkinan ada yang berbuat jahat di tengah hiruk pikuk keramaian. Anehna, pikiran semakin tak tenang. Apakah ada utusan bu Candra yang menyusup? Apakah ada orang bermuka iblis atau sebaliknya? Bayangan yang tengah berkelebat, siapakah dia? Tak mungkin yang ada semuanya berniat baik, pasti ada yang berniat buruk walaupun kecil. Yang berniat buruk, apakah akan mencelakakan Silva?

Wajah perawat di meja administrasi terlihat tegang dan penuh keberatan ketika Rendra memaksa untuk mengeluarkan Silva segera, walau membayar penuh dan menandatangani surat kesepakatan ke luar paksa.

🔅🔆🔅

Awalnya, Rendra ragu mengikuti arahan Ragil.

Tapi ia tak punya pilihan lain. Rekan yang dapat dipercaya terkait Silva saat ini adalah teman-teman Javadiva seperti Salaka dan Candina; juga teman Silva dari pihak Najma.

Pusat rehabilitasi "Pelita Jiwa" yang disarankan Ragil adalah milik paman dan bibinya yang telah lama berkiprah di penanganan narkoba serta kenakalan pemuda. Kombinasi medis dan spiritual menjadikan tempat itu menangani berbagai kasus dengan beragam pendekatan.

Silva, tentu harus dirawat selama beberapa hari untuk memulihkan kondisi sebelum bergabung di Pelita Jiwa. Tepatnya, bersembunyi.

"Kadang, tempat ini juga mengobati anak-anak kesurupan," Ragil menjelaskan. "Atau anak-anak indigo. Aku nggak tahu apakah Silva akan cocok di sini. Setidaknya, paman dan bibiku punya pengalaman menghadapi hal gak masuk akal seperti yang tengah Pak Rendra hadapi."

"Panggil saja Rendra," Rendra melunak, berusaha lebih membumi dibanding sebelumnya. "Aku sedang cari cara untuk menyelamatkan Pandu."

"Apakah lebih baik Mas Pandu dibawa ke mari juga?" saran Bara.

"Kondisinya lebih buruk dari Silva," Rendra tampak muram. "Aku juga harus segera mengurus Kikan, adikku yang lainnya."

Ragil tampak bersimpati.

"Biarkan kami yang menjaga Silva," Ragil menawarkan diri. "Yah, aku gak bisa lama-lama. Sebab kerjaan juga numpuk. Aku akan minta perhatian ekstra buat Silva."

"Makasih, Gil," ucap Rendra tulus.

Silva, yang mulai membaik tampak pucat dan tersendat bicara. Hal yang pertama kali diminta olehnya sangat sulit dikabulkan.

"Mbak…Najma mana?" tanyanya lirih. "Apa aku bisa ketemu dia?"

Ragil mendengus pendek.

"Najma lagi gak tau ke mana, Sil. Tapi, aku akan segera nyuruh dia ke mari begitu udah bisa dikontak."

Ragil mengeluarkan ponsel, melihat betapa banyaknya panggilannya yang tak diangkat Najma.

"Aku…aku butuh ngomong sama Mbak Najma," desak Silva.

"Iya, aku ngerti," Ragil mengangguk. "Kamu istirahat dulu aja, ya."

Rendra terdiam. Sejatinya, ia ingin menanyakan hal yang sama pada Ragil tapi enggan melontarkan.

"Atau kamu cerita dulu ke aku," ujar Ragil, "ke kami maksudku, nanti aku teruskan ke Najma."

Silva menatap Ragil, dengan mata membulat.

Ragil tertawa melihatnya.

"Sil," ujar Ragil lembut. "Najma itu juniorku. Dia anak buahku di kantor. Jadi, segala yang diketahui Najma, biasanya aku kuasai juga."

Rendra memandangnya dengan berbagai rasa yang campur aduk.

Lagipula, dari semua perempuan cantik yang pernah dikenalnya, mengapa harus gadis seperti Najma yang membuatnya kesal dan marah tapi juga selalu terlintas cepat di benak saat kondisi terdesak?

Silva, perlahan menumpahkan isi hatinya dengan terbata-bata.

🔅🔆🔅

Najma tiba di sebuah area yang asing, namun terasa demikian dekat dengannya. Pohon-pohon besar memayungi dataran yang terasa sejuk dengan beberapa aliran air jernih. Beringin, trembesi, jati berjajar. Akar-akar raksasa membentuk lubang-lubang menganga yang menghitam, namun seperti lorong panjang menuju negeri antah berantah.

"Mbak…," terdengar suara bergetar.

"Kenapa? Kamu takut?" tanya Najma. "Kamu boleh mundur, kok."

Najma memandang ke wajah di sekelilingnya.

"Sorry banget aku melibatkan kalian. Kalau kalian gak mau, bisa berhenti di sini. Aku udah berterimakasih banget, kalian mau nemani sampai sini."

Rasi menggeleng, "Aku ikut masuk."

"Aku juga," tegas Bhumi.

"Aku…aku gimana?" Sonna berbisik.

"Kamu di luar aja," Bhumi menenangkan.

Sonna menggeleng kuat, "Gak! Gak mau! Aku malah takut sendirian."

Najma berpikir sejenak.

"Gini aja," gadis itu memutuskan, "Sonna dan Bhumi di luar. Aku sama Rasi masuk. Bagaimana?"

"Ada sinyal gak di dalam sana?" tanya Bhumi memastikan.

"Bisa jadi gak ada," ujar Rasi. "Kira-kira mau berapa lama di dalam, Mbak?"

Najma menahan napas.

30 menit? 60 menit? 1 jam? 2 jam?

Pasti butuh waktu lama bila berkubang di area menarik yang melibatkan situs purbakala. Jangankan dua jam. Dua hari pun tak terasa! Namun, membawa kelompok anak-anak remaja yang jauh dari pengalaman membuat Najma harus berpikir ulang. Berbeda jika bersamanya adalah Ragil, Bara dan Mawar. Bahkan jika ada Salaka, Candina dan Silva; Najma mungkin bisa bertindak lebih berani.

"Mbak Najma?" Rasi mengulang.

"Ya, ya," Najma sedikit tergeragap. "Tigapuluh menit? Or, satu jam maybe."

"Satu jam," Rasi mengangguk, melempar pandang ke arah Bhumi dan Sonna. "Kalau kami gak balik, kalian susul atau cari bantuan. Oke?"

Najma memilih untuk mengitari area yang ditunjukkan oleh Salaka dan Candina. Ranselnya dipenuhi catatan, peta petunjuk, alat-alat perak, dua botol air sungai dan barang-barang yang dirasa perlu. Pada sebuah titip yang tampaknya menyerupai betul dengan arahan Salaka, Najma memutuskan untuk melompat masuk.

"Jangan lupa berdoa, Rasi," Najma mengingatkan. "Makin lama, makin besar tantangan kita."

"Oke, Mbak!" Rasi mengangguk. Entah mengapa, adrenalinnya mengalir. Walau ia dan teman-temannya terpaksa harus meminta izin dengan berbagai alasan diplomatis ke Javadiva, berpetualang seperti ini membangkitkan semangat hidupnya yang seringkali melompat-lompat tak tentu arah.

Keduanya melompat masuk.

Senter penerang di tangan Najma dan Rasi menjadi penunjuk jalan. Walau matahari telah sepenggalah naik, suasana dingin dan suram daerah yang jarang terjamah itu membuat situasi terasa gelap.

"Kita nyari apa, Mbak?"

"Jawaban."

"Apa gak cukup nanya ke Salaka?"

"Gak. Apa yang ada di kepalaku, gak semuanya bisa dijawab dia."

"Atau sebetulnya…Mbak gak nanya ke dia?"

Najma memandang ke arah Rasi, menelisik. Anak pintar, pikirnya. Pikirannya begitu taktis dan rigid.

"Memang, aku gak nanya ke dia," jujur Najma berucap. "Bagaimana pun Salaka berasal dari dunia yang berbeda sama kita. Aku masih meraba-raba."

"Mbak gak percaya dia seratus persen?"

"Yah, gak bisa dibilang begitu. Kepercayaanku sama Salaka, sama besarnya dengan kepercayaanku sama kamu, Rasi."

"Sama besarnya dengan keraguan Mbak dengan kemampuanku," tebak Rasi.

Najma tertawa pelan.

Gadis itu meraba dinding-dinding. Separuh tanah, separuh seolah berlapis adonan tebal semacam semen. Seperti batu, namun terlalu tipis bila disebut tumpukan batu yang menjadi dinding candi atua bangunan kuno lainnya.

"Videokan ya?" pinta Najma, sembari mengeluarkan catatan.

"Ngapain dicatat kalau divideokan dan direkam suara?" tanya Rasi.

Najma menatapnya lurus.

"Kamu gak tau, Ras," gumam Najma. "Banyak peninggalan tua yang gak bisa direkam atau dituliskan. Hanya bisa direkam di memori. Bahkan, kadang pun terhapus dari ingatan."

"Kenapa bisa?"

Najma menggeleng.

"Mistiskah?" tanya Rasi. "Atau ada rahasia tersembunyi?"

"Leluhur kita bisa jadi bukan makhluk primitive," puji Najma kagum. "Mereka boleh jadi makhluk yang punya kemampuan jauh melampaui kita. Meski, gak mudah ternyata menyambung sejarah ke dunia mereka."

Rasi memandang Najma takjub.

"Makanya, aku nyoba segala cara buat menyimpan bukti. Walaupun, pada akhirnya semua bisa musnah yang tersisa hanya kenangan dan perasaan," gumam Najma, entah mengapa merasa sendu berada di lorong-lorong bawah pepohonan raksasa.

Beberapa titik membentuk lubang.

Seperti sumur yang menganga ke atas.

🔅🔆🔅