Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 267 - Jalur Nyawa

Chapter 267 - Jalur Nyawa

Najma melihat lorong demi lorong yang terpecah ke beberapa penjuru. Sinar matahari menembus celah-celah dedaunan rapat yang terjalin bagai sulaman, memayungi mulut sumur yang terlindungi. Entah sebagai apa jalur ini dulunya, mengapa harus terdiri dari beberapa lorong.

Dari atas, hanya terlihat seperti sebuah cekungan kecil.

Saat masuk, lorong-lorong itu terlihat besar dan gelap. Mengarah entah ke mana. Melihat ukurannya yang serupa, kemungkinan dikerjakan oleh satu pihak yang memberikan perintah. Kegunaan lorong itu masih menjadi tanda tanya. Sebagai penimbunan harta karun, jalan rakyat pada umumnya, atau jalur rahasia. Jalur rahasia selalu membangkitkan rasa ingin tahu untuk menguliknya.

🔅🔆🔅

"Aku nggak ngerti bahasa apa ini," gumam Najma.

Rasi menatapnya khawatir.

"Mbak, kalau nggak ngerti…apa sebaiknya…kita tinggalin aja?"

"Simbol-simbolnya beda dengan bahasa Jawa kuno yang biasa aku pelajari," jelas Najma, menerangi pahatan yang ada di dinding.

Rasi menatap ke arah telunjuk Najma.

"Itu mirip…alfabetkah?" tanya Rasi.

"Bisa jadi. Kayak huruf a,b,c," jelas Najma. "Atau bisa kayak suku kata : ha-ha-ca-ra-ka. Mirip kalau kamu belajar huruf katakana, hiragananya Jepang."

"Itu…mengandung kutukan? Sihir-sihir gitu?" nada suara Rasi cemas.

Najma tertawa pelan, "kamu kebanyakan nonton film."

"Kalau gitu, kita aman-aman aja kan?"

"Asal kamu gak macam-macam, semua bakal baik-baik aja," Najma menentramkan.

Najma melangkah ke depan.

"Mbak!" panggil Rasi.

"Kenapa?"

"Yakin mau masuk lorong?"

"Ya. Kamu takut?"

"G-gak…t-tapi…"

"Kalau gitu, ayo."

"Mbak…apa sudah kontak Mas Ragil?"

Najma terdiam.

"Mbak udah kontak Mas Ragil?" tanya Rasi lagi.

"Nanti aja!"

Rasi mengambil ponselnya. Memencet nomer Ragil sembari berkata, "Jangan masuk dulu. Biar aku kontak Mas Ragil. Rasanya lebih tenang kalau udah dapat izin dari dia."

Najma mendengus kesal. Memangnya, hanya Ragil yang bisa dipercaya? pikirnya sebal.

🔅🔆🔅

"Kamu ngapain ke sana?!" bentak Ragil.

"Aku nemanin Mbak Najma, Mas."

"Mana Najma?"

Terdengar ponsel berpindah tangan.

"Naj, kamu tuh harus koordinasi dulu…"

"Mas Ragil," potong Najma cepat, "aku udah dapat 'clue' terkait Silva. Mamanya pegang simbol-simbol terkait dengan kekuatan hitam."

Ragil menahan napas. Ia masih berada di 'shelter' tempat Silva berlindung untuk sementara waktu. Rendra masih di sana, tampak berbincang dengan Silva. Demi mendengar berita tentang mama Rendra, Ragil berjalan ke luar kamar dan menjauh.

"Ada apa dengan mamanya Silva?" tanya Ragil, setengah berbisik.

"Mas Ragil di mana sekarang?" Najma balik bertanya.

"Aku sedang sama Rendra dan Silva."

"Wah," seru Najma senang, "udah baikan rupanya!"

Cara Ragil mengucapkan nama Rendra yang terdengar lebih bersahabat, menggelitik hati Najma.

"Diam kamu!" bentak Ragil kesal.

"Ada apa?" tanya Rendra yang tetiba sudah berada di belakang.

Ragil menatap Rendra sejenak, membalikkan punggung, membelakanginya. Merasa diabaikan, Rendra justru makin curiga. Di seberang, Najma menjelaskan singkat. Apa yang menjadi temuannya, apa yang menjadi kecurigaannya.

"Naj, itu tuduhan yang berbahaya," bisik Ragil. "Kamu bisa dipenjara kalau memfitnah."

"Aku nggak menyebarkan ke media sosial atau buka mulut ke sembarang orang," jelas Najma. "Makanya aku ke sini untuk membuktikan."

"Bisa jadi, apa yang ada di rumah mereka hanya hiasan biasa," ujar Ragil.

"Pola yang berulang punya makna khusus," Najma bersikeras. "Apalagi bila polanya sangat rumit dan rapi. Pasti ada maksud. Mas Ragil tahu kan, model-model geometris yang ada di rumah ibadah seperti masjid dan gereja abad pertengahan; juga kastil-kastil Eropa? Itu semua bukan hanya sekedar indah, tapi punya makna terkait sesembahan. Penghambaan."

Ragil menahan napas.

"Teruskan," gumamnya pelan, merasa khawatir dan tertarik.

"Simbol geometris di masjid sejak era 'medieval age' seringkali berbentuk lima, menggambarkan kewajiban sholat lima waktu atau lima pilar agama mereka. Terkadang berbentuk segi enam, yang melambangkan bintang sebagai penunjuk arah; petunjuk bagi musafir tersesat," Najma berkata.

Ragil terdiam. Rendra membisu di belakangnya, mengendap.

"Mas Ragil tanya gak, sama Pak Rendra atau Silva, simbol apa yang ada di rumah mereka?" tanya Najma.

"Hanya simbol uliran, seperti yang ada di gapura," tegas Ragil, walau merasa ragu jauh di lubuk hati.

"Itu bukan ulir! Itu bukan seperti guratan rumah keong atau ukiran mahkota!" tegas Najma.

"Naj! Jangan berpraduga terlalu jauh!"

"Coba, tanyakan Pak Rendra atau Silva, simbol apa itu?"

"Itu karena kamu memberitahu mereka, makanya persepsi di kepala mereka udah langsung terbayang kalau itu adalah simbol…"

"Ular?" potong Rendra.

Ragil menarik napas pendek, sedikit jengkel dan marah melihat Rendra menguping.

"Apapun itu Naj, ke luar kamu dari tempat itu sekarang!" bentak Ragil.

"Nggak," Najma berkata yakin. "Aku ngerasa, tempat ini punya beberapa titik hubungan antara Salaka, Silva dan semua yang kita alami."

"Kamu itu susah banget dikasih tahu!" gerutu Ragil marah.

"Apa yang dialami Silva dalam pergulatannya melawan kekuatan jahat saat ini, pernah pula dialami siapapun," jelas Najma. "Termasuk di masa Salaka dan Candina."

Ragil menjauhkan telepon dari mulutnya, matanya terpejam, keningnya berkerut.

"Leluhur Salaka, pasti gagah berani menghadapi semua itu hingga entah bagaimana caranya bisa mengirimkannya ke mari. Kita boleh percaya, boleh nggak. Tapi keberanian dan keyakinan pada kebenaran membawa orang melangkah lebih jauh."

"Kamu ngaco! Gak usah khotbah!" tukas Ragil makin gusar. "Kamu di mana sekarang?!"

Terdengar helaan napas di seberang.

Suara Najma terdengar pelan namun jelas ketika menjawab, "Sumur Wiswa."

Ragil terlonjak.

"Apa?" teriaknya. "Ke luar kamu dari sana sekarang. SEKARANG!"

🔅🔆🔅

Seharusnya perempuan tidak boleh kerja lapangan. Seharusnya perempuan tidak boleh kerja di areal berbahaya. Seharusnya perempuan tidak boleh bersinggungan dengan situasi yang harus mempertaruhkan nyawa. Pikiran Ragil menderu dalam kekesalan dan kekhawatiran.

Tapi dari sekian banyak orang, Najma termasuk produk unggul yang sering menjadi tulang punggung kegiatan kantor cagar budaya. Keahliannya melesat, ketrampilannya terasah baik. Walau dia perempuan, belum pernah ada yang kecewa bekerja dengannya; pikir Ragil bergolak antara marah dan takut.

Rendra berada di sisinya, mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh. Bara ditugaskan untuk mendampingi Silva dan menjaganya dengan koordinasi penuh dari paman dan bibi Ragil.

"Sebetulnya, apa yang sedang dilakukan Najma?" Rendra bertanya.

"Anak itu kadang benar-benar nekat!" gumam Ragil.

Rendra menoleh ke samping sejenak, merasa aneh dengan sebutan 'anak itu'.

"Mungkin dia punya alasan untuk melakukannya," Rendra berujar.

"Najma semakin ngawur setelah ibunya wafat," Ragil berkata pelan.

Rendra terdiam, merasakan keprihatinan yang dalam.

Ada orang yang merasa kehilangan sosok seorang ibu, merindukannya ketika tiada. Ada anak yang merasa sebaliknya, merasa lebih baik tak punya ibu. Ketika sosok ibu lebih buruk dari monster pemakan manusia.

"Apa kita bisa sampai tepat waktu?" tanya Rendra.

"Aku yakin dia pasti sudah masuk lorong," ujar Ragil, setengah putus asa.

"Kamu kenal dia banget, sepertinya," gumam Rendra.

"Dia itu kadang seperti adik. Kadang seperti junior. Kadang malah suka main perintah, bossy banget," Ragil tertawa kecil.

Rendra tersenyum.

Ragil menarik napas panjang, "Tapi harus kuakui, Najma sangat bisa diandalkan. Dia jujur. Dia baik. Dia tulus. Dia sederhana."

Rendra menambah kecepatan tanpa sadar saat mendengarnya.

"Hai, Ren!" teriak Ragil. "Niat kita nolong jangan malah jadi celaka!"

"Kamu sendiri yang bilang pingin sampai tempat tepat waktu!"

🔅🔆🔅

Najma melangkah masuk.

Beberapa puluh tapak telah dijalani. Rasi di belakangnya, memberikan penerangan.

"Mbak mau cari apa?"

"Mau cari jawaban, Rasi," tegas Najma, setengah jengkel.

"Bentuknya kayak apa? Batu, kertas, prasasti, atau apa?"

"Aku juga belum tahu," gumam Najma.

"Apa? Belum tahu?!" Rasi berbisik lalu terdiam, merasa jengkel dan takut.

Deru angin dingin dari arah depan terasa menumbuk keduanya. Tak dapat terlihat, tak dapat terdengar.

"Kamu rasa itu, Rasi?"

"Y-ya…ayo kita ke luar, Mbak!"

Najma terhenti sesaat.

Rasi hampir menumbuknya.

Di hadapan mereka seolah berdiri sosok tinggi besar menghadang. Tak terlihat jelas, hanya tampak menghalangi dan memberi batas.

Hening.

Sunyi.

Sepi.

Suara tapak kaki pelan mengendap menjauh.

🔅🔆🔅