Kata orang, kehilangan ibu adalah kejadian yang paling menguras semua energi kehidupan. Jejak kosongnya meninggalkan rongga besar di hati yang sangat sulit direkatkan kembali.
"Aku ke rumahmu, kamu malah kerja," Ragil menegur Najma. "Kamu bisa ambil cuti panjang buat nemani ayahmu dan memulihkan diri sendiri. Kenapa masuk maksain diri?"
Sedari pagi, gadis itu telah tenggelam dalam pekerjaan. Tak mempedulikan orang-orang mengucapkan bela sungkawa, atau memberikan uang duka. Ia beranggapan hari berlalu seperti biasa. Melihatnya seperti itu, Ragil justru khawatir. Najma tampak tenang, tak bersuara, tak berekspresi. Ia mencoba menghiburnya dengan membelikan makan siang yang enak, tapi gadis itu membawa bekalnya sendiri. Najma memojok di kantin cagar budaya, menyudut di dekat kolam besar yang dulu diduga sebagai pemandian putri. Kantor mereka memang dekat dengan areal situs-situs purbakala.
Ragil menahan napas melihat kotak nasi Najma. Ia menyodorkan kue dan masakan daging yang terlihat mahal.
"Kamu harus makan banyak, Naj," saran Ragil prihatin.
Najma mencoba bersikap biasa, "Ini nasi yang dimasak ibuku siang kemarin, kupanaskan lagi pagi ini. Ada ayam ungkep di kulkas buatan ibu, kugoreng pake tepung pagi ini. Ini juga ada kering kentang buatan ibuku."
Ragil bingung harus menanggapi. Demi dilihatnya air mata mulai mengalir di wajah Najma bersamaan gerakan tangannya menyuap nasi, ia memilih menyodorkan tissue.
Gawai Ragil berdering. Satu nama muncul di sana. Walau enggan, terpaksa diterima.
🔅🔆🔅
"Dia sedang di sana," Ragil memberikan petunjuk. "Lihat?! Dia sedang menikmati masakan ibunya yang semalam dikuburkan. Apa Bapak gak bisa bersimpati sedikit?"
Tamu di depannya, tampak kacau walau mencoba tegar.
"Aku juga kehilangan adikku semalam, Ragil," ucap Rendra dengan tekanan dingin. "Ia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Satu lagi adikku koma, dan belum bangun! Aku butuh tahu, apa yang sedang terjadi dan apa yang harus kulakukan!"
"Mana Silva?" Ragil bertanya.
"Buat apa nyari dia?" tuduh Rendra. "Aku bisa menempuh jalur hukum kalau kamu mencelakai Silva!"
"Aku nggak ngerti kenapa Pak Rendra begitu curiga sama kami," Ragil menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau bukan karena hari ini masih diliputi belasungkawa, aku mungkin akan meladeni Bapak bertengkar atau bahkan sampai berkelahi."
Rendra menatapnya tajam.
"Aku butuh ngomong ke Najma," pinta Rendra, menghela napas berat.
"Sekarang? Harus sekarang banget?!" Ragil menahan gejolak amarah.
"Pandu berkejaran dengan maut!" sentak Rendra.
Ragil menatap wajah di depannya yang terlihat bingung, sedih, gusar dalam keadaan yang sama runtuhnya seperti Najma.
"Silva sepertinya yang lebih mengerti Najma dibanding kita," Ragil sedikit melunak. "Kenapa gak dia aja yang diminta ketemu?"
Apa yang diucapkan Ragil memang benar.
Najma dan Silva bisa saling berpelukan, melepaskan emosi negatif masing-masing tanpa berkata-kata selain hanya menumpahkan airmata.
"Kamu gak sekolah, Sil?"
"Aku bisa daring, Mbak. Aku…aku gak bisa bayangkan gimana perasaan Mbak Najma," Silva tersedu. "Bu Tina bagiku…beliau bagiku…aku…aku sedih banget…"
"Sssh, sudahlah," Najma justru mengusap wajah Silva. "Kamu sama mas Ragil dulu, ya. Aku mau nenangin diri dulu, menghabiskan makananku."
Hari itu bukan waktu yang baik bagi semuanya untuk bertemu.
Sepertinya, masing-masing sedang dalam kondisi buruk dan rapuh hingga tak mampu untuk mengontrol diri. Beruntung, kantin cagar budaya telah mulai sepi ketika Ragil mempersilakan Rendra berbicara dengan Najma. Apa yang dilihat gadis itu adalah sebab-sebab kematian ibunya yang tak bisa dimaafkan.
"Kalau saja Bapak mau mendengarkan kata-kata saya," tandas suara Najma penuh tuduhan, sembari menahan airmata, "ibu saya masih hidup sampai sekarang!!"
"Kalau bukan karena kamu, Pandu nggak akan terbaring koma!!" Rendra dingin menukas.
"Saya sudah bilang : Silva harus tetap di rumah bersama ibu. Kenapa sulit banget untuk kerja sama?!" Najma belum berhenti dari kesedihan dan kemarahan.
"Kalau Silva tetap di sana," Rendra kembali menukas tajam, "kemungkinan dia yang mati dan aku kehilangan semua adik-adikku!"
Najma menatapnya marah. Ingin rasanya melempar sesuatu ke arah muka Rendra yang seolah berkata : kalau saja Silva masih di sana, kemungkinan ia akan menggantikan ibunya untuk mati! Seolah Rendra berkata bahwa lebih baik ibunya yang mengalami musibah dibandingkan Silva. Merasa belum mampu mengatasi kepedihan hatinya, Najma memutuskan untuk membisu dan beranjak pergi. Meninggalkan Ragil yang sama sekali tak berkomentar selain hanya menggelengkan kepala samar.
"Bapak sepertinya tak pernah belajar, bagaimana memilih kata-kata yang baik," Ragil berkata, memberikan kata-kata menusuk ke arah Rendra, sebelum pergi menyusul Najma.
🔅🔆🔅
Silva mengajak Rendra pada akhirnya untuk menelusuri jejak keberadaan Salaka.
Tak mungkin mengajak Najma dan Ragil yang sedang berada dalam kondisi berkabung, sensitif dan dipenuhi kemarahan. Rumah sewa tempat Salaka bermukim telah kosong. Tak ada siapa pun di sana. Ke mana perginya Salaka, Candina dan rombongan Brotoseno? Silva kebingungan sendiri hingga akhirnya memutuskan menuju Javadiva.
Hal pertama yang ingin dilakukannya adalah mencari Sonna, Bhumi dan Rasi. Kemungkinan, mereka sedang menjalani kehidupan yang lebih normal sekarang. Lebih normal dibanding kehidupan yang dimilikinya.
"Aku mau nyari guru-guru, juga Sonna," ujar Silva murung. "Aku mau minta tambahan tugas daring. Kematian mbak Fuji bisa jadi alasan buatku untuk minta izin."
Rendra sama sekali tak berniat meninggalkan Silva. Awalnya, bu Candra ingin memakamkan Fuji di Jakarta namun urung. Keadaan Pandu yang belum stabil, membuatnya harus memutuskan agar Fuji sesegera mungkin dimakamkan di tempat terdekat. Rendra tetiba menyadari betapa carut marut keluarganya, bahkan kematian pun tak mampu menyatukan mereka. Kikan entah di mana bersama pacarnya, sementara papanya pun telah sekian lama tak dapat dikontak. Entah mengapa, Rendra ingin mempertahankan apa yang masih dimilikinya.
Sonna memeluk Silva erat.
"Sil, aku ikut sedih," mata Sonna berkaca-kaca. "Apa yang bisa kubantu?"
Silva mengusap wajah lelahnya, "Doakan aja aku kuat, Son. Ada kabar terbaru?"
"Javadiva lebih tenang beberapa hari ini. Aku juga gak ngerti, kenapa. Sepertinya ada rahasia tersembunyi. Kamu sudah ketemu Candina?" tanya Sonna.
Silva menggeleng, pikirannya bercabang-cabang.
"Cookies dan elang, setia di sini. Seolah mereka menjaga Javadiva. Elang itu juga mengajak teman-temannya untuk bertengger di pohon kapuk kita. Mereka memangsa ular-ular," celoteh Sonna.
Silva menarik napas. Apakah kekuatan pasukan perak bertambah? Gawai Silva berdering.
"Silva," suara di seberang menyapa, "kamu di mana?"
"Javadiva, Ma," lirih suara Silva.
"Mama pingin ketemu kamu," bu Candra terisak. "Kamu bisa ke sini?"
"Mama di mana?"
"Casablanca. Kamu ke sini, ya. Bobo di sini. Mama…kangen kamu."
Silva merasa kehampaan atas kehilangan Fuji berganti sedikit kegembiraan bahwa ia memiliki kesempatan lain di hati mamanya. Rendra pun tak keberatan, bila hari-hari itu Silva menjalin kedekatan dengan bu Candra yang baru saja kehilangan.
🔅🔆🔅
Rendra tengah beristirahat di sofa kamar Pandu, ketika sebuah pesan masuk. Nama yang tertera di sana membuatnya enggan menjawab, namun gambar yang dikirimkan menggelitik perasaan. Tampaknya, demi hal-hal penting kemarahan dan kedukaan harus disingkirkan.
"Bapak pernah lihat simbol ini?"
Ia mengamati. Pola rumit yang rapi dan indah, lengkungan teliti bertumpuk-tumpuk, membentuk ragam simetris yang menakjubkan. Malas mengetik, Rendra merasa harus menelepon. Ia mengambil earphone nirkabel.
"Kenapa?" tanyanya singkat.
"Pernah lihat, Pak?"
Rendra mengamati. Sepertinya, ia sering melihatnya. Pola rumit bertumpuk itu kadang berbentuk segienam, lingkaran, atau oval. Karena terlalu sering melihat, akhirnya abai dan menganggapnya biasa. Namun ketika ditanya, justru lupa.
"Di rumah Bapak, ada simbol itu?" tanya suara di seberang.
Sepertinya, ini berbentuk hiasan yang unik, pikir Rendra. Simbol eklektik yang meramu berbagai budaya untuk dijadikan satu agar lebih indah. Bu Candra sering bepergian ke berbagai daerah, dan membawa oleh-oleh beragam barang. Seringkali ditempel di dinding, atau diletakkan di lemari kaca ruang tamu. Tak jarang, membeli berbagai perhiasan yang kerap dipakainya untuk pergi ke kantor atau acara resmi. Hiasan itu terlihat tak aneh di matanya. Bisa terbuat dari emas atau logam lainnya.
"Ya," sahut Rendra datar. "Di rumahku ada."
"Coba Pak Rendra perbesar simbol yang saya kirimkan."
Dalam diam, Rendra menurut. Gawai mahalnya mampu melihat lebih baik apa yang tidak bisa dilakukan oleh alat murahan. Alis tebalnya berkerut. Perbesar, perbesar, perbesar.
"Sudah?" suara di seberang mendesak. "Apa yang Bapak lihat?"
Rendra menarik napas, enggan menjawab walau kepalanya telah memiliki jawaban yang ingin ditolak.
"Bapak di mana sekarang?" tanya suara itu. "Apa ada benda dengan simbol itu di sekeliling?"
Wajah Rendra mendongak. Terhenyak seketika. Mengapa dinding rumah sakit ada simbol seperti di rumahnya? Rendra seketika berdiri, mendekati Pandu. Berjalan mengelilinginya. terkejut mendapati Pandu menggunakan gelang dengan dua bandul berkaitan, menyerupai simbol yang ditunjukkan Najma.
Serasa ludah berbentuk bongkahan, menghambat jalan napas.
"Bapak masih dengar saya?"
"Ya."
"Sudah tahu simbol yang saya maksud?"
"Ya."
"Apa Bapak bersama Silva?"
Seluruh ruas tulang belakangnya serasa tersuntik cairan beku. Rendra menajamkan pikiran. Apartemen Casablanca milik mama, pikirnya. Simbol-simbol itu banyak di sana!
🔅🔆🔅