Dua pedang beradu.
Berlanjut cambuk.
Tombak lentur.
Tombak pedang.
Dua sosok ramping berbaju hitam berkelebat, mencoba menjatuhkan satu sama lain. Melompat, menghindar. Melepas serangan. Menangkis, memukul. Meninggalkan kelebatan kabut tipis hitam.
Hiaaaaaah.
Eiiiiihhhh.
Satu hentakan akhir seolah isyarat bersama untuk saling menjauh.
"Apa tidak ada satu pun di antara kalian yang bisa menggantikan Kundh??!"
Shaka dan Ananta berpeluh. Menunduk dalam.
"Kalian perlu berlatih hingga mabuk dan muntah darah!"
Tak ada yang berani membantah.
"Apa perlu aku memanggil Milind untuk melatih kalian!?"
Entah itu sebuah hinaan, kemurkaan atau keputus asaan; hanya bisa diam seribu bahasa.
"Aku punya puluhan putra tapi tak ada yang bisa kuandalkan!"
Tubuh tegap Tala beranjak dari ruang pelatihan.
"Hamba berjanji berlatih keras lagi, Ayahanda," Shaka berlutut, diikuti Ananta.
"Jangan memanggilku ayah sampai kalian mencapai tingkat yang sempurna!" dingin suara itu terdengar.
"Siap, Paduka!" Ananta berkata cepat, melirik ke arah Shaka.
Shaka menarik napas berat saat Tala pergi. Ananta memasang kuda-kuda, berniat menyerang. Putaran berikut tanpa disaksikan Tala seolah permainan yang kehilangan nyawa. Walau Ananta mencoba bersungguh-sungguh, Shaka seolah enggan. Pertarungan latihan itu menjadi permainan yang kosong tak menggairahkan.
"Shaka! Ayolah!"
"Aku tak mengerti mengapa semua adikku diizinkan bersenang-senang, sementara tidak denganku!"
"Aku pun sama denganmu," Ananta berusaha menghibur. "Mungkin karena kita anak pertama."
"Ayah seharusnya mencari panglima pengganti Kundh dan bukannya menekan kita!" sentak Shaka.
"Mungkin, kitalah yang paling dipercaya olehnya," Ananta mencoba bijak.
"Satu-satunya alasanku bertahan dalam pelatihan ini hanyalah karena berharap memenuhi keinginan Ratu Gayi," Shaka berkata penuh kebencian.
Ananta mengangguk, menghunus pedangnya lagi.
❄️💫❄️
"Apa kau masih menanti tamu lagi?" Nadisu bertanya.
Wajah Tala mengernyit, tampak berpikir.
"Tuan-tuan nikmati hidangan dulu," Tala mempersilakan. "Aku memang menantikan tamu lain yang akan bergabung."
"Kuharap tak lama, Tala," tukas Araga. "Aku lelah."
"Tuan masih suka berburu?" Tala berucap, mencoba tersenyum.
Araga acuh, mencomot sebutir anggur. Di mata Tala, Araga tak lebih seekor lalat yang tengah mengerumuni kotoran. Beruntung ia menikahi Madhavi yang lebih memiliki tujuan lebih selain hanya bersenang-senang, pikir Tala. Betapa ia membenci harus bersikap merendah di depan para raja wangsa Akasha.
Di belakang para raja, berdiri tegap para panglima, Kavra dan Rakash.
"Awalnya, aku berpikir kau akan mengundang seluruh raja Akasha dan Pasyu," Nadisu menatap Tala. "Pertahanan kita porak poranda menghadapi Mandhakarma."
"Hamba tak akan mengundang ketidaksepakatan ke mari, Raja Nadisu," Tala berkata.
"Bahkan Wanawa dan Aswa pun rontok oleh Mandhakarma," gumam Araga, "apalagi yang dapat kita lakukan?"
Tala menatapnya tajam, "Tentu ada yang bisa kita lakukan, selain hanya mengandalkan dan bergantung pada pihak lain, Raja Araga."
"Mengapa tak kau berikan mantra pembuka sarung pusaka?" Nadisu bertanya.
"Hamba sudah sampaikan beberapa kali," Tala mengingatkan. "Begitu pusaka masing-masing berada di tangan, bukan hanya Mandhakarma yang menjadi ancaman. Kita dapat saling memangsa satu sama lain. Apakah dapat Tuan bayangkan jika Wanawa memiliki kekuatan lebih dashyat dari sekarang? Persekutuan setara bisa jadi menguap. Tuan-tuan akan berada di bawah kaki Wanawa!"
"Itu tak akan terjadi!" wajah Araga menegang.
Kalau begitu, berpikirlah, Pengecut! batin Tala geram.
Nadisu merenung.
"Selama ini sekutu kita saling menopang satu sama lain," gumam raja Gangika. "Apakah bila kita benar-benar berlepas dari persekutuan wangsa, kekuatan kita meningkat?"
Tala tersenyum rahasia.
"Hamba berjanji, kekuatan kita akan menguat, terutama bila terlepas dari Wanawa," ujarnya.
"Mengapa kau sangat membenci Wanawa?" Araga bertanya ringan.
Bukan hanya Tala, Rakash pun menatap Araga dengan pandangan menahan diri.
"Hamba tak pernah membenci Wanawa, Raja Araga," jelas Tala. "Sebaliknya, sangat mengagumi Raja Vanantara dan seluruh jajarannya termasuk Pandhita Garanggati dan Panglima Milind. Namun sebagai raja Vasuki, hamba perlu sangat mewaspadai semua kekuatan di sekeliling Vasuki."
Sebuah ketukan dan laporan di pintu balairung perjamuan raja terdengar.
Gayi dan Nagen hadir, memberikan salam. Melaporkan secara berbisik ke arah Tala. Sang raja mengangguk, memberikan isyarat ke arah Nadisu dan Araga.
"Mari masuk ke bilik kerja hamba, Raja Nadisu dan Raja Araga," pinta Tala. "Tamu kita telah hadir di sana."
Kavra dan Rakash bersiap mengiringi.
"Para Panglima," Tala memandang ke arah keduanya, "Tuan berdua tetap di ruang perjamuan ini."
❄️💫❄️
Nadisu dan Araga berjalan di belakang Tala dengan tegang. Lorong menuju bilik kerja Tala terasa dingin dan pekat, walau obor-obor terang menyala sepanjang dinding. Sempat terselip kekhawatiran meninggalkan para panglima mereka di belakang punggung. Namun sorot kesungguhan di wajah Tala, meneguhkan hati mereka.
Bilik kerja Tala lebih kecil dari balairung perjamuan.
Ruang yang dipenuhi berbagai macam alat dan senjata, berikut perlengkapan yang menunjukkan kerja keras dalam mencoba memelajari banyak hal. Alat-alat tulis, berbagai pengetahuan yang tercatat dalam pelepah lontar maupun kain-kain halus yang terlindung dalam tabung-tabung bambu.
Sesosok tubuh telah hadir di sana, menanti.
Ia berdiri menghadap dinding, menatap satu demi satu hiasan di dinding bilik kerja Tala. Mencoba memahami dan menangkap makna yang tersaji. Mendengar suara langkah hadir, sosok itu membalikkan badan. Menatap ketiga raja dengan hormat, menikmati hentakan terkejut pandang mata Nadisu dan Araga.
"Senang melihatmu, Panglima," Tala menyambutnya, menggenggam tangan sang tamu dengan hangat. "Bersamaku, mereka adalah Raja Nadisu dan Raja Araga."
Nadisu menahan napas.
Araga tak berkedip.
Tala mempersilakan semua duduk melingkar di depan sebuah meja. Satu sosok berjubah hitam nan anggun, mengenakan topeng hitam berukir yang hanya memperlihatkan bentuk mulut
"Silakan, perkenalkan diri Panglima," Tala berujar, "aku telah menyebutkan Raja Nadisu dan Raja Araga."
"Aku tak punya nama," sosok yang dipanggil panglima tersenyum datar. "Sebut saja Panglima Malam, mewakili warna pakaianku."
Nadisu dan Araga bertanya-tanya memandang Tala. Wajah tak tampak, sosok yang seolah asing namun terasa begitu dikenal dekat.
Tala mengangguk.
"Salah satu anak buah Panglima, Gosha Hitam berhasil melibas Girimba," Tala berkata memuji.
"Belum berhasil," Panglima Malam mendengus, "para budak keparat itu perlu dimusnahkan terlebih dahulu!"
Nadisu tampak berpikir keras, sementara Araga mengunci mulut.
"Panglima Malam," Nadisu berkata hati-hati, "apakah Tuan bersekutu dengan Akasha dan Pasyu?"
Panglima Malam tampak menaikkan alis di balik topeng, "bersekutu?"
Tala menolehkan kepala ke arah Nadisu, berharap tak langsung ke pokok persoalan. Terlanjur, pertanyaan itu telah mengalir.
"Kekuatan pasukan Tuan telah menghancurkan wilayah kami," Nadisu menahan marah. "Apakah ini yang akan disebutkan sebagai kerja sama dan persekutuan, Tala?!"
Tala berusaha menenangkan.
"Itulah pentingnya kita bertemu di sini, Raja Nadisu," Tala mengingatkan. "Ingat kata-kata hamba! Mandhakarma adalah kekuatan perkasa saat ini!"
Panglima Malam memberikan hormat yang dalam.
"Hamba hadir atas undangan Raja Tala," ucapnya menjelaskan. "Hamba akan menjawab semua pertanyaan Paduka semua dan berusaha mencapai kata sepakat walau tentu butuh waktu untuk satu pandangan dan tujuan."
Nadisu menarik napas panjang.
"Pemimpin tertinggi kami," Panglima Malam melanjutkan, "akan memberikan dukungan penuh dan bantuan apapun yang dibutuhkan bagi kerajaan-kerajaan yang berkenan bekerja sama."
Tala tersenyum mendengarnya.
"Dukungan?" suara Araga pelan terdengar. "Bantuan?"
Panglima Malam menatap penuh makna ke arah Tala.
"Hamba rasa, Paduka Raja Nadisu dan Raja Araga sudah pernah melihat kekuatan Raja Tala," jelas Panglima Malam.
Nadisu dan Araga berpandangan.
Tala yang dulu hanyalah raja Vasuki yang dipinggirkan. Walau merupakan salah satu dari delapan kerajaan, keputusan-keputusan penting selalu berada di pihak Akasha. Yang paling unggul, tentu Wanawa. Keperkasaan dan kesaktian Tala yang meningkat memang mengagumkan.
"Pemimpin kami tak akan segan mendukung secara khusus Raja Nadisu dan Raja Araga," janji Panglima Malam. "Nah, apakah imbal balik yang akan kami terima?"
Nadisu dan Araga berpandangan, untuk selanjutkan menumpahkan perhatian pada Tala.
"Panglima Malam," Tala berkata tenang sembari tersenyum rahasia, "aku menggenggam semua kerajaan yang ingin kau kuasai."
"Wanawa?" Panglima Malam menyelidik.
"Aku menggenggamnya dengan sempurna," Tala berbisik puas.
"Tuan…bisa memastikan mereka takluk?"
"Sekarang?" Tala membuang napas pendek, "belum. Tapi bisa kupastikan tak lama lagi mereka tumbang dan bersimpuh di bawah kakiku."
"Apa yang Tuan lakukan?" Panglima Malam memandang bertanya-tanya.
"Aku tahu semua rahasia penting wangsa, termasuk Wanawa," bisik Tala dengan mata berkilat. "Dan akan kupergunakan itu untuk menyerang mereka dengan telak."
Panglima Malam mengangguk senang.
Kepada Nadisu dan Araga yang masih tampak bimbang dan ragu, sang panglima dari lembah gelap Mandhakarma berkata, "Paduka Raja berdua, pastikan para panglima Paduka berada di pihak yang sama!"
❄️💫❄️