Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 249 - Gelap dan Gelap

Chapter 249 - Gelap dan Gelap

Hari yang kalut bagi semua. Cuaca tak bersahabat.

Wajah orang-orang yang marah menatap langit mendung, kabut tebal, kegelapan yang pekat dan hujan petir tiada henti. Jam demi jam terasa sangat menyiksa.

Rendra memacu mobil meninggalkan rumah Najma, mengabaikan peringatan bu Tina dan Silva. Di benaknya hanya satu : mengumpulkan adik-adiknya di bawah perlindungannya. Silva menangis.

"Mbak Najma nyuruh aku tinggal sama bu Tina, Mas," suara Silva sesenggukkan.

"Kamu harus nurut sama aku! Bukan sama Najma!" bentak Rendra kalut.

Silva mengusap wajah yang basah, memeluk ransel erat-erat. Beberapa barang berharga ada di dalamnya. Rendra jelas-jelas akan menuju apartemennya, tempat Fuji juga menginap di sana.

Gawai Silva berdering.

"Kamu di mana?" suara Najma terdengar khawatir. "Masih di rumahku kan?"

"Mbak! Aku…"

Rendra merampasnya, membantingnya ke jok belakang.

Silva terbelalak, menatap tak percaya. Gawai setengah retak dan tampaknya mengalami kerusakan itu masih menyiarkan suara Najma yang terpatah-patah. Silva menggigit tali ransel tasnya kuat-kuat, mencoba meredam amarah dan kesedihan yang sudah tak memiliki bentuk pasti selain kehampaan yang menyesakkan.

Rendra tiba di apartemen dengan kecepatan menggila.

Jantung Silva terasa meloncat dari diafragma. Mobil berlari di tengah curahan hujan yang ganas, berusaha untuk menerobos apapun halang rintang. Pikirannya tertuju pada Fuji dan Pandu. Entah mengapa perasaan Rendra tak enak, sejak Pandu mengalami kecelakaan di area penggalian, ia mulai mencemaskan banyak hal. Kejadian di rumah Najma juga bukan pertanda baik.

"Mas Rendra!" Silva mencoba menarik jemarinya yang dicengkram kuat oleh Rendra.

"Kamu sampai ke apartemenku dulu baru ngomong!" ancam Rendra, di tempat parkir.

Gawai Rendra menyalak, menampilkan sebuah nama di sana.

Cepat Rendra memencet tombol hijau walau semula enggan.

"Rendra! Mama di apartemenmu!" teriak bu Candra. "Fuji, Ren! Fuji…!"

Bu Candra memang punya akses ke apartemennya. Penuh kemarahan, Rendra memukul dinding lift yang seolah berjalan seperti siput. Silva pucat pasi ketakutan, tak lagi berani mengucapkan sepatah katapun. Di apartemen Rendra, bu Candra bersimbah airmata dan darah, memeluk Fuji.

"Ma?!" Rendra parau memanggil.

Bu Candra melolong, menangis, kedua tangannya gemetar tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Rendra tergopoh, meraih kepala Fuji yang terkulai. Silvalah yang kemudian segera mencoba mengatur napas, mengontak rumah sakit terdekat untuk memesan ambulan.

"Mama ….menyuruhnya pulang. Istirahat…," isak bu Candra.

Rendra menatap wajah mamanya yang kusut masai. Mereka berselisih hebat beberapa waktu lalu, tapi keadaan menyedihkan seperti ini membuat segalanya mencair dalam kesedihan bersama. Bu Candra memeluk Rendra erat, menumpahkan airmata di bahunya, menanti detik-detik berharga Fuji berkejaran dengan maut.

"Kenapa dia senekat ini, Ren? Pandu belum siuman, kenapa Fuji harus melukai dirinya sendiri?!"

🔅🔆🔅

Najma mendatangi area penggalian yang sepi.

Memarkir sepeda motor, tak jauh dari sana. Alam sepertinya tengah memusuhi manusia yang selama ini angkuh jumawa. Ia menuju patung yang tertidur, meloncat masuk ke dalam. Berdoa di bawah curahan hujan agar Tuhan melindunginya dari kesialan dan bencana. Kendi perak berisi air sungai tampaknya efektif menghilangkan lumpur-lumpur. Entah apa rumusnya, entah apa kutukan atau mantra yang terlibat di dalamnya. Najma meraba permukaan patung, walau matanya pedih oleh jarum-jarum air hujan. Pasti ada petunjuk pada patung tersebut hingga Salaka mempertaruhkan nyawa untuk bisa bertemu dan menyentuhnya.

"Apa yang bisa kuambil dari patung ini?" Najma berpikir cepat. Kepalanya pusing oleh ketukan hujan.

Orang-orang penting zaman dahulu menyimpan rahasia bersama pakaiannya. Di balik jubah, di bawah lipatan lengan, di kaos kaki dan alas sepatu, di sabuk, atau perhiasan lainnya. Najma melihat sebuah benda yang tampaknya mampu menyimpan banyak perkara rahasia. Ia menyiramnya dengan air sungai, menarik benda itu hati-hati dan berjanji akan mengembalikannya.

Entah bagaimana cara memberi hormat, tapi ia mencoba melakukan sebaik mungkin.

"Tuan," bisik Najma, "aku meminjam barangmu untuk menyelamatkan teman-temanku. Akan kukembalikan bila telah selesai."

Najma membalikkan badan, berniat naik ke dinding kotak yang memagari penggalian. Ia tertegun, berbalik lagi ke patung. Hujan deras membasahinya. Air langit menyucikannya. Aliran sungai dari kendi membersihkannya. Wajah patung itu terlihat sendu, tampak sesuatu menetes di ujung mata.

Mungkin hanya hujan di cekungan pahatan wajah.

Raut itu begitu tampan dan sendu. Garis mulutnya antara tersenyum dan menyembunyikan sesuatu. Pelan Najma mengusap pipi dan ujung matanya, merasakan kepedihan yang dalam akan sebuah kisah rahasia yang terkubur lama bersama debu-debu waktu dan sedimen sejarah.

"Apakah kau pangeran, atau raja, atau hanya prajurit biasa," gumam Najma. "Aku berjanji akan menuliskan kisah tentangmu. Kau pasti punya pengalaman berharga yang pantas diketahui manusia!"

Tubuh gadis itu melompat, naik ke atas. Membawa ransel di punggungnya yang terlindung oleh parasut, namun juga terasa cukup basah.

🔅🔆🔅

Tetangga berkerumun.

Bisik-bisik. Suara-suara orang yang menebak-nebak. Beberapa bergegas menyiapkan keranda, kain hijau dan bunga melati. Jantung Najma serasa berhenti berdetak. Ia membuka kerumumunan, menyaksikan ayahnya terpekur di depan tubuh terbujur kaku.

"Pak?" suara Najma bergetar.

Pak Koko menatapnya, menarik napas pendek.

"Kamu ke mana saja, Nduk? Bapak telpon-telpon gak jawab."

Najma melempar ranselnya yang berat, ikut berlutut di samping ayahnya.

"Ibu…ibu kenapa?" Najma tergugu.

Pak Koko tak menjawab.

Tetangga-tetangga berujar di belakang punggungnya.

"Angin duduk, orang Jawa bilang."

"Angin kasep."

"Kayak perut kaku, gitu ya?"

"Sebetulnya kalau sekarang, dibilang serangan jantung."

"Padahal bu Tina sehat banget. Rajin bangun pagi nyapu-nyapu."

"Dia suka bagi-bagi masakan. Suka ngasih-ngasih anak tetangga kue bikinan sendiri."

"Orang baik memang begitu, cepat wafatnya. Gak pake sakit…"

"Mendadak banget, ya…"

Najma memegang tangan ibunya. Takut. Panik. Menolak percaya.

"Pak, ayo kita panggil ambulans!!" teriak Najma.

Pak Koko hanya diam.

"Paaak!!" Najma berteriak keras bercampur airmata.

"Mbak Najma," tegur suara tenang, suara yang dikenalnya.

"Pak Gatot? Bantu saya bawa ibu…"

"Ambar sudah memeriksanya, Mbak Najma," pak Gatot berusaha berempati. Ambar adalah putrinya yang menjadi perawat di puskesmas desa. "Bu Tina sudah wafat, Mbak."

Najma mengusap wajahnya yang tetiba basah.

"Aku yang akan bawa ke rumah sakit kalau gak ada yang mau!" bentak Najma memaksa.

Gadis itu memaksa membopong tubuh ibunya, namun segera ditepis keras oleh pak Koko.

"Kalau dibawa ke rumah sakit, masuk kamar mayat, akan lama lagi prosedur untuk mengeluarkannya," tegas pak Koko berselimut duka. "Ibumu sudah wafat, Naj. Biar malam ini segera dimakamkan. Juru kunci makam siap sedia menggali kubur selama dua puluh empat jam."

"Pagi tadi aku masih salaman. Siang tadi aku masih makan nasi dan lauk buatan ibu!" teriak Najma putus asa, tak mau percaya begitu saja.

Pak Koko memeluknya, mengelus punggungnya.

"Memang ibumu wafat senja tadi, selepas maghrib, Najma," pelan suara pak Koko di telinganya. "Pagi tadi pun ibumu masih membawakan Bapak bekal dan meminta maaf kalau ada salah. Ibumu memang berhati lembut."

Najma terbelalak.

Tak percaya.

Tak ingin percaya.

Tanpa sadar tubuhnya terdorong ke belakang, kalah oleh orang-orang yang sigap berusaha mengurus jenazah sang ibu. Ia terlempar ke sudut ruangan, duduk memeluk lutut, membenamkan wajah. Terisak tanpa suara. Berharap semua hanya dimensi lain yang tak nyata dan sebentar ia akan ditarik kembali, dalam pelukan ibu yang hangat dan menyediakannya masakan kesukaan.

Ketika mengangkat wajah, matanya tertumbuk pada langit-langit dan lampu yang pecah. Pada jendela dan kaca yang retak. Satu-satunya yang diyakini tampak nyata hanya airmatanya yang deras mengalir.

🔅🔆🔅