Setelah keadaan lumayan membaik, Rendra mengajak Fuji sejenak menghabiskan waktu di apartemennya di Yogya. Gadis itu masih terlihat pucat dan tak bertenaga, sorot matanya redup, wajah sama sekali jauh dari tersenyum. Setidaknya, ia mau diajak berbicara walau sepatah-sepatah.
"Ini tempatku cari ketenangan," Rendra berujar, menyiapkan dua cangkir teh hangat bagi mereka. "Kita tinggal sementara di sini."
"Kita?"
"Ya. Kamu sama aku."
"Bukannya Mas Rendra sama Luna?"
"Ngomong apaan kamu! Aku gak pernah sama dia."
"Gak pernah tidur bareng?"
Rendra menghela napas, menolak membicarakannya,"Kamu harus sehat, sudah deh. Berhenti mikir hal-hal gak perlu."
"Cowok selalu brengsek. Menolak bilang sudah tidur sama cewek lain!" umpat Fuji.
Rendra menyiapkan beberapa obat, menyodorkannya ke arah Fuji.
"Kalau kamu udah agak sehatan, aku mau ajak jalan-jalan," jelas Rendra.
Fuji tertawa tanpa suara, "Tumben! Gak pernah kayak gini, kan? Ada maksud apa Mas Rendra tiba-tiba perhatian?"
Rendra duduk di samping adiknya.
"Fu," ucapnya, "keluarga kita udah retak. Tapi bukan berarti harus hancur seterusnya. Pandu bilang, aku harus ada buat kamu. Aku juga merasa begitu."
Airmata mengalir dari sudut mata Fuji.
Lembut, Rendra meraih tubuh adiknya, memeluknya, "Maafin aku, ya."
Ingin sekali menanyakan banyak hal terkait Kikan. Fuji pasti tahu lebih banyak, namun Rendra urung membahasnya. Di bahunya, Fuji menangis terisak hingga lelah dan puas.
๐ ๐๐
Pandu tiba di base camp tim delapan hektar, homestay yang disewa dekat area penggalian. Silva mengajaknya ke tempat itu untuk bertemu beberapa orang. Rumah itu dipenuhi alat dan manusia, suara-suara riuh rendah. Rapat digelar sembari makan dan mengerjakan banyak hal.
Ragil memimpin dengan pembacaan doa dan pemaparan visi misi.
"Mirip pengangkatan lurah," Bara terkikih, sembari kepedasan dengan saus dan bakso.
"Laporan cuaca gimana Mawar?" Ragil menepis guyonan Bara.
"Tak menentu. Bisa jadi panas dan hujan bergantian. Maklum, musim pancaroba."
"Salaka menginginkan panas terik," gumam Ragil. "Kita pilih hari yang pasti."
"Kita gak punya banyak waktu," gumam Najma. "Apa Salaka bisa bertahan di sini dua hari? Atau sehari?"
Najma menoleh ke arah Silva, meminta pendapatnya.
"Aku sudah mengontak Mbah Brotoseno," ujar Silva. "Ia dan kelompoknya akan mengawal keberadaan Salaka selama ada di sini, sampai ke penggalian."
"Kamu sudah cerita ke Salaka terkait Mbah Broto?" tanya Najma.
"Sudah, Mbak. Salaka terlihat gak setuju, tapi juga gak punya pilihan lain."
"Mereka sepertinya punya hubungan istimewa," gumam Najma. "Atau sama-sama punya rahasia yang disembunyikan."
"Mbah Broto bilang, kita harus punya pelindung," ucap Silva.
"Pelindung apaan?"
"Aku gak tau pasti. Tapi kata beliau, setidaknya, kita semua punya benda perak."
"Maksudmu, kayak cincin atau uang logam?"
"Bisa jadi," sahut Silva ragu.
"Bara, Mawar, Teman-teman semua," Najma mengabsen, "kalian punya perhiasan perak atau apapun yang terbuat dari perak?"
"Kadarnya harus berapa persen?" tanya Bara. "Sepeda motor, alat-alat rumah tangga, semua ada unsur peraknya."
Najma menatap Ragil yang terlihat merenung.
"Kupikir, kita harus pakai yang kadarnya mendekati sempurna," kata Ragil. "Seperti emas, yang bagus kan 24K. Tapi bisa dibuat perhiasan dengan kadar 22K, 20K, 18K atau 16K."
"Wah, hapal banget!" puji Bara.
"Ya eyalaaaah," sahut Mawar. "Secara, udah mau nyiapin mahar!"
"Itu karena aku biasa belikan ibuku emas!" Ragil melotot. "Jadi tahu!"
"Wah, anak yang berbakti sama ibunya, adalah calon suami yang baik," Mawar mengedipkan mata ke arah Najma.
Najma acuh tak acuh, "Mas Ragil itu banyak yang naksir, War. Makanya kamu ambil jatah undian, dapat urutan ke berapa."
"Mbak Najma urutan ke berapa?" tantang Mawar.
"Aku gak usah ambil nomer undian," Najma terkikik.
"Udah langsung dapat antrian nomer satu!" Mawar menebak, menghindar dari lemparan tissue Najma.
"Kamu tuh gak usah masang-masangin aku sama mas Ragil, deh," sembur Najma. "Gak ngerti apa? Aku sampai capek dapat japrian, miscall, DM dari orang gak dikenal."
"Ya, ampun," Ragil menyisir rambut. "Segitu terkenalnya aku?"
"Can we back to our business?" Najma memerintahkan. "Ayo, buat time schedule. Kita harus sangat teliti dan berhati-hati, mengingat peristiwa ini bukan hal yang biasa."
Percakapan lebih serius berjalan, diiringi instrument musik klasik yang menenangkan.
"Mawar, bisa bacakan time schedule dan list pekerjaan kita? Pembagian job desc kalau bisa," Najma menginstruksikan.
Mawar membacakan arahan.
"Pertama, segera punya perhiasan perak, deadline besok. Kedua, pastikan hari untuk Salaka berkunjung, deadline hari ini. Ketika, siapkan tempat untuk tim Mbah Broto, deadline hari ini. Keempat, dapat info dari mbak Najma, pengiriman perak dari pak Rendra, deadline hari ini. Kelima, kontak professor dan tim ahli, deadline besok. Sorry Guys, masih random. Ntar kurapikan, ya. Kushare di grup."
Najma menatap semua hati-hati, "Pekan ini adalah pekan yang sibuk dan berbahaya. Kalian siap semua?"
"Siap!"
Najma tersenyum, memandang Ragil yang juga tersenyum ke arahnya.
"Aku bayangkan tim delapan hektar akan seperti Indiana Jones, mengejar artefak-artefak dunia," ujar Najma.
๐ ๐๐
Pandu tiba di apartemen Rendra.
Duduk bertiga melingkar seperti itu, sembari menikmati mie rebus yang hangat, adalah kemewahan yang jarang dimiliki.
Fuji tampak lebih segar, walau sering menghindar dari percakapan.
"Aku harap mbak Kikan bisa gabung ke sini," Pandu berharap.
"Ya. Nanti kalau Fuji udah beneran sehat, kita undang Kikan. Kita hepi-hepi berempat," ujar Rendra. "Gimana dengan tim delapan hektar?"
"Tim yang asik. Gila mereka," Pandu menyeruput kuah.
"Gila gimana?"
"Gokil, lucu, pekerja keras. Bisa kerja sampai dini hari, fokus banget sama target."
Rendra menarik napas pendek.
"Ada cewek di sana, namanya Mawar," mimik Pandu lucu. "Anaknya heboh, suka bikin situasi memanas."
Rendra sudah berpesan pada Pandu, untuk tak mengungkit Silva sama sekali.
"Aku suka gaya kepemimpinan Ragil," ujar Pandu. "Orangnya santai, tapi bisa mengarahkan anak buah. Bisa bercanda, tapi bisa tegas juga. Pantes teman-temannya setia sama dia. Kelihatan pinter dan menguasai medan."
Rendra tersenyum masam mendengarnya.
"Ada lagi Bara. Anak ini banyak ngomong, tapi dia sepertinya cocok sama Mawar. Pekerja lapangan yang andal, cepat tanggap sama masalah. Dia juga pembelajar cepat. Selalu minta arahan sama Ragil dan Mawar," jelas Pandu.
Rendra mengunyah mienya pelan-pelan. Fuji hanya menyimak mendengarkan. Pandu melaporkan kondisi di lapangan dengan detil, tapi seperti melewatkan satu hal : ia sama sekali tak menyebut Najma, walau gadis itu jelas-jelas ada di sana. Rendra menatap adiknya yang seolah menyimpan rahasia.
"Kamu udah selesai cerita?"
"Hmh?" Pandu seolah tergeragap.
"Kamu udah selesai cerita?" ulang Rendra.
Pandu memaksakan sebuah garis senyum.
Rendra merasa ada sesuatu yang disembunyikannya.
๐ ๐๐
Ketika Fuji kembali ke kamar untuk beristirahat, Pandu memiliki kesempatan berdua dengan abangnya.
"Mas masih ingat bu Tina?"
"Bu Tina, juru masak keluarga kita yang dulu?" Rendra balik bertanya. "Ya."
Rendra tak menyebutkan bahwa ia bahkan pernah ke rumahnya ketika Silva melarikan diri.
"Aku bertemu putrinya di area penggalian," jelas Pandu hati-hati.
Jalan hidup benar-benar rumit dan misterius, pikir Rendra. Bu Tina, pak Koko dan sekarang Najma terhubung dengan dirinya; dengan keluarga mereka.
"Mas udah kenal Najma kan?"
"Ya, dia salah satu 'think-thank' di tim delapan," ujar Rendra.
"Bu Tina juga sangat jago memasak," kenang Pandu.
"Pak Koko, suaminya, salah satu mandor kepercayaanku," Rendra mengangguk.
"Kusarankan, Mas menghindari Najma atau kalau bisa mengeluarkan dia dari tim," saran Pandu.
Rendra terhenyak, terbelalak.
"Mas gak tau kasus Mama mengeluarkan bu Tina?" Pandu berkata hati-hati.
Rendra menatap penuh selidik.
"Bu Tina ketahuan mencuri barang-barang berharga Mama," Pandu pelan berucap, menarik napas. "Coba selidiki pak Koko. Aku khawatir, mereka satu keluarga, gak ada yang bisa dipercaya."
๐ ๐๐