Manusia berubah menjadi dewa. Lebih sakti dari Akasha, lebih perkasa dari Pasyu. Dulu, mereka hanya Nistalit lemah yang tinggal di gua dan menjadi budak dari wangsa lain, pikir Salaka. Apakah ini sebuah keajaiban? Atau kehancuran?
"Kamu gakpapa?" tanya Silva.
Salaka menahan napas.
Bagaimanapun, ini adalah perjalanan pertamanya ke luar dari jangkar Javadiva.
"Tubuhmuโฆkuatkah?" Candina berbisik khawatir.
"Aku baik-baik saja," gumam Salaka.
"Apa yang akan kamu cari di penggalian," Candina mengeluh. "Aku sungguh khawatir."
"Aku juga," Silva berbisik.
Salaka tak menanggapi, lebih memilih bersemedi. Wajahnya mengguratkan ketenangan dan kesungguhan saat menutup mata. Supir pribadi Rendra yang diperbantukan dalam kegiatan ini, mengamati dari kaca mobil. Di depan, Rasi pun merasa tegang. Najma memilih tetap di homestay, mempersiapkan segala kemungkinan. Barang-barang perak miliki Rendra telah tiba dengan cepat, berada sepenuhnya dalam pengawasan Pandu.
Brotoseno, lelaki tua yang sering disebut-sebut oleh Silva telah tiba bersama rombongan teman-temannya di homestay. Dalam benak tim delapan hektar, sosoknya renta dengan kacamata tebal dan tubuh terbungkuk. Sebaliknya, walau telah tampak berkerut dan beruban, tubuh tegapnya mengagumkan. Mengenakan celana hitam, baju lurik dan blangkon; Brotoseno seperti prajurit yang siap maju berperang.
Kepada Silva, Brotoseno berkata siap mengawal Salaka ke mana pun ia menginginkan.
Silva mengingat percakapan mereka beberapa waktu sebelumnya, sembari matanya mengawasi Salaka.
"Kenapa Salaka ingin sekali ke penggalian? Apa nggak cukup kami perlihatkan foto-foto dan video?"
"Aku khawatir dia sedang mencari sesuatu," gumam Brotoseno.
"Apa Mbah tahu, kira-kira apa yang dia cari?"
"Ndak, Silva. Aku ndak tahu."
Silva merasa, Brotoseno menyembunyikan sesuatu, tapi sulit diungkapkan. Lelaki tua itu menatap Silva lembut.
"Silva, percayalah. Kami ndak berniat jahat padamu atau Salaka," jelas Brotoseno. "Hanya saja, ndak semua bisa kami ceritakan padamu."
Silva menatap wajah Brotoseno. Semakin lama, semakin dekat, gadis itu merasa sorot mata lelaki tua itu bukan seperti seorang lemah yang gampang ditumbangkan. Apakah ia pun sosok seperti Candina dan Salaka, yang telah melintasi zaman selama ratusan tahun atau bahkan ribuan tahun? Hanya saja, lebih memilih berada dalam topeng lelaki tua untuk lebih memuluskan misinya.
"Apakah nggak berbahaya, Mbah, membawa Salaka ke luar jauh dari Javadiva?"
"Berbahaya, Nduk," gumam Brotoseno. "Banyak yang memusuhi Salaka. Kita harus waspada."
"Apa anak buah Dubiksa bisa mencelakainya saat siang?"
"Bisa. Sangat bisa!"
"Apa yang harus kita persiapkan?"
"Jangan banyak bercanda. Jangan banyak bicara. Tenangkan pikiran dan hatimu. Selalu waspada terhadap sekeliling."
Apa yang dipesankan oleh Brotoseno telah disampaikan oleh Silva kepada tim delapan hektar. Untuk sementara waktu, tak ada lagi iringan lagu yang membuat Mawar dan Bara melemparkan banyolan. Tak ada lagi canda yang menyudutkan Najma atau Ragil, atau siapapun di tim delapan hektar.
"Satu lagi, Silva."
"Ya, Mbah?"
"Kamu percaya teman-temanmu?"
"Maksud, Mbah?"
"Kamu percaya mereka baik, bersiap membantu dan tak punya tujuan jelek?"
Silva tertegun. Ia mengenal secara singkat Najma, Ragil, Mawar, Bara dan yang lainnya. Rasi, Bhumi dan Sonna pun turut serta dalam pengawalan hingga ke area penggalian untuk membantu apapun jika diperlukan. Mereka semua baik, sejauh ini.
"Aku percaya, Mbah."
"Sebaik apapun, kamu harus waspada terhadap mereka, Silva," pesan Brotoseno.
Silva menarik napas panjang.
"Segala sesuatu terkait Salaka sangat mungkin saja diselewengkan. Mengingat Salaka memiliki kekuatan dan kedudukan istimewa," hati-hati Brotoseno berucap.
Silva mengangguk. Ia akan mencoba mengawasi teman-temannya. Sejauh ini tak ada yang pernah bersikap buruk padanya atau melakukan hal-hal yang merugikan. Bahkan, Rendra pun terlihat mulai bersikap lunak pada tim delapan hektar, walau sebelumnya berseteru dengan Najma dan Ragil.
๐ ๐๐
Pandu, yang diminta Rendra untuk menjadi wakilnya di tim delapan, memasang mata baik-baik pada agenda hari itu yang ditargetkan untuk membawa Salaka ke tim penggalian. Salah satu yang berada di bawah pengawasannya adalah barang-barang perak milik Rendra. Barang-barang itu bukan saja mahal, tetapi sangat berharga karena fungsi pentingnya.
Jelang siang hari, Pandu menyadari ada sesuatu yang tampak aneh.
"Apa semua berkumpul hari ini?" tanyanya kepada Ragil.
"Yup."
"Tim delapan dan para penggali?"
"Ya."
"Nggak ada yang izin?"
"Nggak," Ragil menyakinkan. Ia merasa lebih cepat akrab dengan Pandu dibanding Rendra, mungkin karena Pandu juga lebih junior sehingga tak terkesan superior kepada anggota tim.
Pandu menatap berkeliling.
Ragil, Bara, Mawar dan semua rekan mereka cocok dengan absensi.
"Mbak Najma?" tanya Pandu. "Ke mana dia?"
"Oh, dia," Ragil mengangguk. "Tadi izin sebentar. Ada beberapa manuskrip yang harus didokumentasikan dengan tim arsip wilayah."
"Dia pergi?" tanya Pandu hati-hati.
"Ya. Tapi nanti dia balik lagi, kok."
"Pas Salaka datang, apa mbak Najma juga hadir lagi?"
"Tentu! Itu obsesi besar dia!"
Pandu menarik napas panjang. Mengamati barang tumpukan perak yang tersusun dalam wadah peti. Adakah yang hilang? Adakah yang dicuri? Didorong rasa penasaran, Pandu membongkar tumpukan perak. Denyut nadinya terasa terputus ketika mencocokan barang dengan daftar.
"Ke mana kendi perak berukir, barang perak nomer dua puluh dua?" tanya Pandu.
Ragil menoleh ke arahnya, heran.
"Coba dicek lagi," saran Ragil. "Paling kelewatan."
"Aku sudah ngecek bolak balik! Pasti ada yang ngambil!" sentak Pandu.
Ragil menatapnya tersinggung.
"Heh, tolong dijaga omonganmu, Pandu! Meski kita di sini gak sekaya keluarga kalian, tapi gak ada yang hobi ngutil di sini!"
"Aku gak nuduh Mas Ragil," Pandu meralat.
"Trus kamu nuduh sapa??"
"Apa Mbak Najma bawa ransel?" tanya Pandu polos.
"Ya, Pandu!" celetuk Ragil gusar. "Najma biasa bawa ransel besar ke mana-mana!"
Pandu merasa panik.
Ragil membuang napas kesal.
"Berapa sih harga kendi perak?" tanya Ragil.
Alis Pandu naik.
"Mahal, Mas! Itu belinya di Maroko!" jelas Pandu tanpa maksud merendahkan.
"Iya, berapa harganya?"
"Itu perak asli yang dibuat suku Berber."
"Aku nanya, harganya berapa!"
Pandu pun tampak mulai naik pitam, "Mas Ragil mau belain mbak Najma, gitu? Kalau dia ngambil, Mas Ragil yang mau gantikan? Bukan itu esensinya, Mas! Mas Rendra juga gak bakal butuh diganti!"
"Ah, kalian sama aja! Selalu lebih mentingkan materi dibandingkan hubungan baik!"
Mawar, melerai.
"Ini kenapa, sih? Pandu, nanti kita cari lagi bareng-bareng. Namanya kerjaan numpuk, barang juga campur aduk kayak gini," ujar Mawar.
"Mas Ragil, gak usah sensi juga," Bara menambahkan. "Kenapa kalau nyangkut mbak Najma bawaannya sensi sih?"
"Aku nggak sensi, Bar! Kalau gak urusan sama anak borju kayak gini!"
"Heh, aku juga anak borju, Mas!" tegur Bara. "Gak semua anak orang kaya brengsek!"
Suara berdehem di depan pintu terdengar nyaring.
Lelaki tua itu, Brotoseno, mengeluarkan keris dari pinggangnya. Ragil menatapnya nanar, mundur beberapa langkah. Pandu, Bara dan Mawar pun demikian. Brotoseno meletakkan keris di tengah ruangan, tepat di atas meja.
"Menuju siang terik," ucapnya tegas, "kalian tampaknya juga semakin panas. Apakah Salaka bisa tenang hadir di sini? Atau kita batalkan saja?"
๐ ๐๐
Salaka tiba di homestay.
Brotoseno memerintahkan seluruh rekannya untuk mengelilinginya. Wajah pucat Salaka, bibirnya yang membiru dan raut pasinya sesaat lebih segar. Untuk sementara Salaka diletakkan dalam kamar, memberikan kesempatan baginya bersemedi sembari dikelilingi barang-barang perak yang dimiliki Rendra.
"Kita ndak bisa lama-lama," Brotoseno berkata. "Segera ke area penggalian tempat patung itu berada! Kita menunggu siapa?!"
Ragil menarik napas.
Najma, kamu ke mana? Bisik hatinya. Dugaan Pandu pasti salah, tapi kenapa kamu menghilang begitu saja? Aku tahu kamu akan kembali, tapi sekarang saatnya!
Mawar melihat jam tangan.
Matahari hampir di atas kepala.
"Sekarang, Mas Ragil! Ramalan cuaca bilang, jam dua nanti kemungkinan hujan badai, tapi didahului cuaca terik lebih dulu!"
๐ ๐๐