Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 239 - ●Kecurigaan Nami

Chapter 239 - ●Kecurigaan Nami

"Apa maksudmu?" Milind menatap Nami tajam. "Jangan sembarangan bicara, Nistalit!"

Nami menundukkan wajah, mendesah pelan. Merasa selalu salah bicara tiap kali berhadapan dengan Panglima Wanawa.

"Hamba… hanya berharap Paduka lebih berhati-hati," ucap Nami pelan, sembari memberikan hormat yang dalam.

❄️💫❄️

Walau tampak tak terlalu mempercayai Nami, Milind mengambil tindakan pengamanan demi keselamatan Jaladhi dan Mina. Kavra bersama Nami segera mencari letak Bahar banna Jaladhi sementara Milind dan Dupa mencari tahu keberadaan rombongan Guni hal Minna. Apa yang diperkirakan Nami, bagai mimpi buruk bagi Akasha Wanawa. Tamparan keras teruntuk Raja Vanantara dan panglimanya, Milind.

Milind telah memperingatkan Vanantara tentang berbahayanya menyelenggarakan perayaan Andarawina, namun keinginan sang raja adalah undang-undang terkuat yang tak terbantahkan.

Secepat apapun Kavra dan Nami memburu Bahar dan rombongannya, begitupun Milind dan Dupa, korban tak dapat terelakkan. Pasukan hitam menyergap mereka, membunuh sebagian besar prajurit dan melukai panglima serta putri. Nami mencoba menghalau kegilaan pasukan, dibantu tunggangan angin Kavra. Panglima Bahar dan Putri Rahita terluka parah, sebagaimana berita yang dibawa Milind dan Dupa. Rombongan Mina mengalami kekalahan telak.

Wanawa akan menjadi musuh bersama.

❄️💫❄️

Girimba dalam suasana mencekam.

Perayaan Andarawina menyisakan banyak pertanyaan.

Milind mendapatkan tuduhan dan kecaman dari seluruh penjuru kerajaan : Pasyu Vasuki dan Akasha Giriya, sudah dapat dipastikan. Sekutu Wanawa, Akasha Jaladhi dan Pasyu Mina memberi peringatan keras serta mengancam mencabut ikatan persahabatan. Pasyu Paksi mencoba tak berpihak, Aswa berada dalam keadaan tegang. Simbol utama kerajaan mereka, Putri Calya, berada dalam keadaan terluka walau telah melewati saat genting.

Raja Nadisu banna Gangika bahkan mengeluarkan tuduhan menyakitkan : Wanawa tak perlu meniru perayaan peresmian Bendungan Gangika karena merasa iri padahal tak sanggup menyelenggarakan!

Yang lebih membuat Milind gundah adalah perselisihan antara Gosha dan Jagra. Jagra betul-betul marah dengan terlukanya Calya, sementara Gosha berusaha menjernihkan keadaan. Sebagai panglima pengganti, wajar Jagra murka, apalagi Aswa tengah berada dalam situasi tak menentu.

"Aku sendiri tak mengerti dengan keputusan Paduka Vanantara, Gosha," desah Milind. "Tapi aku harus mentaatinya. Prajurit Wanawa telah berusaha keras membentengi."

"Menurutku, Paduka Vanantara tengah merencanakan sesuatu," tandas Gosha. "Mustahil beliau tidak memperkirakan ini semua."

"Aku pun merasakan demikian."

"Sekarang, siapa pihak yang benar-benar bisa kau percaya, Milind?"

Milind menatap Gosha berpikir. Ucapan Gosha mirip lemparan pertanyaan Nami.

"Ada sekutu yang hilang, ada sekutu yang datang," gumam Milind.

"Perkuat ikatanmu dengannya," saran Gosha. "Aku dapat menjamin Turangga masih di bawah kendaliku, tapi tidak dengan Sembrani; mereka mentaati Jagra. Sejak kehilangan kemampuan terbangku, aku merasa kehilangan pengaruh pada Sembrani. Satu-satunya cara memperbaiki hubungan dengan Jagra adalah melalui Putri Calya."

Milind menatap Gosha dengan sejuta pikiran berkecamuk. Nyaris ia lupa keadan Gosha yang juga membutuhkan perhatian.

"Bagaimana lukamu? Aku akan membawamu ke Paduka Vanantara!"

Gosha tertawa kecil, "Aku sudah cukup dengan bantuan Putri Yami."

❄️💫❄️

Kavra menerima pesan Milind lewat semedinya.

Sebuah titik pertemuan ditentukan. Bukan di bilik Kavra atau di bilik Milind.

"Tempat ini aman di waktu malam, tak ada yang akan ke mari," Kavra menenangkan. "Aku menghindari bilik tempatku atau tempatmu."

Kavra pun telah menambahkan mantra pelindung, hingga pertemuan mereka tak mudah diketahui. Milind tampak resah, walau tetap mencoba tenang dan tak gegabah. Ia tak punya sosok kuat yang dapat dipercayai, kecuali Gosha. Semua sekutunya telah menjauh.

"Aku tahu, hatimu masih belum bisa sepenuhnya mempercayaiku," tandas Kavra. "Kita terhubung karena sama-sama punya kepentingan terkait pasukan Nistalit."

Milind terdiam, menarik napas panjang.

"Walau kerajaan kita tak berhubungan baik," tegas Kavra, " aku tak mudah terpengaruh, Milind. Ketika aku percaya padamu – meski rajaku tak menyukainya –aku percaya pada kejujuran dan keluhuranmu."

"Kau menilaiku terlalu tinggi," Milind menepisnya.

"Kalau kau tak bisa dipercaya," Kavra tersenyum tipis, "kau tak akan memiliki pasukan yang setia. Kau dengar apa yang diteriakkan Nami pada Gosha Hitam?"

Milind menatapnya, "Apa yang dikatakannya?"

"Siapa di sekeliling Panglima Gosha yang sejati? Para panglima membelanya, para hulubalang melindunginya. Para prajurit siap mati untuknya!" Kavra mengulang perkataan Nami. "Ucapan itu dilontarkan Nami untuk membela Gosha tapi kupikir, berlaku pula untukmu."

Milind tersenyum samar, menundukkan kepala.

"Aku tahu sulit bagimu untuk bekerja sama denganku," Milind berucap. "Bagaimana jika kita bertukar berita rahasia yang penting?"

Kavra mengernyitkan dahi.

Milind melanjutkan, "Kau tak akan memberikan rahasia cuma-cuma. Aku pun demikian."

Kavra mengangguk, "Baik. Apa yang kau punya?"

"Aku mencurigai adanya penyusup di perayaan Andarawina. Bukan hanya pasukan hitam, tapi pasukan Akasha yang melukai para tamu agung," Milind berkata hati-hati.

"Dari mana kau tahu?" Kavra bertanya.

Milind hening sejenak, "Salah satu pasukan Nistalit."

"Dupa maksudmu?" Kavra menebak. "Atau…?"

Milind menatap Kavra lurus.

"Perlukah kau tahu?" suara Milind terdengar keberatan.

"Terus terang, aku mempercayai Sin. Ia tak akan gegabah menyerahkan senjata pada Nistalit bawahannya. Kulihat, Janur pun mewariskan senjata pada Dupa," Kavra menjelaskan. "Berita dari dua Nistalit itu, aku bisa percaya."

"Aku mendapatkan dari salah satu Nistalit yang kau percaya," Milind menolak menyebutkan nama.

Kavra mengangguk, "Baik. Kau tampaknya memilih berhati-hati. Rahasia yang ingin kubagikan adalah, Raja Tala tampaknya semakin kokoh. Paduka Nadisu, benar-benar takluk padanya. Mereka berdua sering mengadakan perbincangan rahasia."

Milind menahan napas, memandang Kavra.

"Bagaimana dengan Paduka Vanantara, Milind?" Kavra menatap lurus ke depan. "Kau masih sangat yakin dengan beliau?"

"Sepertinya kita harus bertanya lebih dalam pada Nistalit," Milind berkata.

"Ajak saja dia ke mari. Kita bertemu esok di sini," Kavra memutuskan.

❄️💫❄️

Nami memandang berkeliling.

Ia mengenal tempat ini dengan baik. Aji dan Usha sering menemaninya, bekerja bahu membahu di bawah terik matahari. Memecah batu, memanggul batu, berlarian di bawah hujan perintah dan bentakan teriakan. Begitu panasnya suasana hingga seringkali harus melindungi kepala dan muka menggunakan kain yang ada. Wajah mereka terbakar, telapak kaki pecah, entah bagaimana lagi telapak tangan. Nistalit harus membebat tangan dengan kain-kain atau pelepah pohon.

Suta ada di sini.

Soma ada di sini.

Malam hari mereka bisa berbagi cerita, berbagi makanan, siapapun yang hari itu mendapatkan jatah lebih. Matanya basah begitu saja, untung angin malam segera mengeringkan.

"Menurut Panglima Milind, kau tahu hal penting yang ingin kau sampaikan," Kavra membuka percakapan. "Kami siap mendengarkan."

Nami menarik napas panjang. Tanpa sadar, gadis itu berlutut, merenung. Mengambil sebutir batu, menimangnya, membuangnya kemudian. Tanah dan batu adalah kehidupan Nistalit. Ia duduk kemudian.

Milind dan Kavra berpandangan. Mereka tak pernah duduk di tanah sebelumnya! Kavra mempersilakan Milind mengambil daerah datar, mengucapkan mantra kecil yang menghamparkan ganggang hijau sebagai alas duduk.

"Hamba melihat luka di bahu putri Arumya," Nami berkata. Menatap ke arah Milind sejenak, merasa bersalah, "Juga Putri Calya. Sepertinya tertusuk senjata yang sama."

"Itu sebabnya kau mengatakan, penyusup malam itu adalah prajurit Akasha?" tanya Kavra.

Nami mengangguk.

"Dia bisa Akasha mana saja," Milind bimbang.

"Hamba yakin, ia adalah Akasha Wanawa," lirih suara Nami.

Milind dan Kavra berpandangan sejenak.

"Kau punya bukti?" Milind bertanya.

Nami menunduk, benaknya dipenuhi keraguan. Ia bahkan tak bisa tidur berhari-hari memikirkannya. Memikirkan musuh, membangkitan gairah untuk menyerang. Memikirkan pengkhianat, serasa ingin lari dari kenyataan.

"Jangan takut," Kavra berujar. "Kami tak akan menuduhmu buruk andaikata kau salah. Sebab, kami akan mempertimbangkan banyak hal dan mengumpulkan banyak fakta."

Nami menatap Milind, menunduk lagi, sebelum mencoba berani berkata.

"Luka itu…," Nami menelan ludah, "…luka itu adalah sabetan belati Hulubalang Janur."

Hening.

Desau angin.

Hewan malam berkelana.

"Teruskan," Kavra berkata.

"Hamba bertarung dengan prajurit bertopeng. Walau tak terlihat, hamba seperti mengenalnya cukup baik," Nami mencoba menjelaskan.

"Bertopeng?"

"Ya," Nami memandang kedua sosok di hadapannya sekilas. Terlihat keraguan yang demikian kental. "Bila Paduka berdua tak percaya, cobalah tanyakan pada Putri Arumya."

Baik Milind dan Kavra, terpekur cukup lama. Saling melempar pandangan, mengangguk. Tak banyak bercakap, mempersilakan Nami untuk segera pulang. Mereka bangkit berdiri.

"Tuan tak mempercayai hamba?" desis Nami.

"Kami mempercayaimu," tukas Kavra. "Cuma, kau tak boleh lama di sini. Ada banyak yang harus kami urus."

Nami menahan napas.

"Han akan mengantarkanmu," Kavra berkata. "Milind tetap di sini."

Lebih baik demikian, pikir Nami. Dalam perjalanan berangkat tadi, ia hampir tak bisa bernapas, memegang sabuk Milind dari belakang menuju Gangika.

"Panglima Kavra," Nami memanggil pelan.

"Ya?"

Milind mengalihkan pandangan. Benar-benar tak ingin berada di sini jika bukan terpaksa!

Nami mengeluarkan sesuatu dari balik saku baju. Memberikan sebuah benda kecil terbungkus rapi.

Milind dan Kavra memandanginya, bertanya-tanya.

"Dalam pertempuran di perayaan Andarawina," Nami terbata menjelaskan, "ada banyak bongkahan batu bersinar terserak karena keadan kacau. Hamba mengumpulkan beberapa dan mengambil satu ini."

Bahkan, dalam keadaan terbungkus pun, benda itu tampak berpendar.

Nami mengulurkan tangan, Kavra menerimanya dengan hati-hati.

"Soma telah bertunangan dengan seorang gadis Nistalit Gangika," suara Nami parau.

Kavra menatapnya lembut, mencoba berbagi duka.

"Garni, namanya," Nami menegakkan dagu, menguatkan diri. Suaranya bergetar berucap memohon, "Bisakah Tuan berikan itu padanya? Katakan, Soma mencintainya sampai akhir."

Kavra mengangguk pelan.

Milind menatap Nami yang menunduk.

Dalam bayang malam yang syahdu, sosok Nami terlihat anggun dan penuh rahasia. Milind dan Kavra memandang wajahnya yang diliputi kesenduan, bagai memandang bulan pucat di kejauhan.

❄️💫❄️