Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 240 - ●Kegelapan Wanawa

Chapter 240 - ●Kegelapan Wanawa

Nami pergi meninggalkan jejak kekosongan.

"Aku percaya padanya," gumam Kavra

"Separuh dari diriku percaya, separuhnya menolak," Milind berucap jujur.

"Kenapa?"

Milind menarik napas berat dan panjang, "Aku tak bisa memberitahumu lebih jauh."

Kavra mengangguk.

"Aku ingin bertanya padamu," Kavra berujar, menatap Milind lekat. "Mengapa malam itu kau memintaku membantu Nami melindungi Bahar?"

"Adakah yang salah dengan hal itu? Aku harus pergi bersama Dupa," Milind balas menatapnya.

Kavra memandang penuh selidik, "Mengapa bukan kau saja bersama Nami melindungi Bahar atau Guni?"

Milind menarik napas panjang, "Aku tak sempat berpikir panjang, Kavra! Keadaan genting."

Kavra menebak-nebak, "Kau menghindari Nami?"

"Demi Penguasa Langit!" gumam Milind. "Bagaimana aku menghindarinya ketika ia pun berada di Girimba?"

Kavra mengangguk samar, mencoba percaya.

"Aku tak menyangka Nami dan Dupa mengalami kemajuan pesat di bawah bimbinganmu, Milind," Kavra tulus memuji.

Betapa ingin Milind berkata jujur bahwa bukan ia yang menjadikan Nami dan Dupa seperti itu!

"Bagaimana Sin, Kavra?" Milind mengalihkan perhatian, ingin tahu.

Kavra membuang muka, menarik napas panjang.

"Aku bersyukur bisa mempertemukan Dupa dan Nami pada Sin, sesaat sebelum Sin benar-benar kehilangan seluruh kemampuannya," bisik Kavra sendu. "Sin pergi dalam keadaan menjadi pandhita, Milind."

Milind menunduk, terpekur, tersenyum pedih kemudian.

"Janur bahkan tak sempat banyak berkata," Milind menengadahkan kepala, mengingat. "Sesaat ia siuman, hanya teringat untuk mewariskan belati dan pedangnya sembari bertanya : siapa yang bisa mendampingiku? Siapa yang bisa menjaga Wanawa?"

Mereka berpandangan sejenak.

"Jangan terlalu keras pada Nistalit," Kavra beralih pembicaraan. "Mereka juga kehilangan sahabat-sahabat. Aku tahu, Dupa dan Nami sangat akrab dengan Soma."

Milind tertawa tanpa suara.

"Apakah ini Kavra yang kukenal?" Milind bertanya. "Kau dulu sama keras dan kejamnya seperti Rakash."

Kavra mengabaikan kata-kata itu, wajahnya tampak berpikir.

"Kau sudah bersiap untuk hari-hari yang lebih buruk, Milind?"

Milind menundukkan wajah, seolah tak ingin membahasnya.

"Gosha Hitam mati…"

"Kavra, hentikan!"

"Hatimu terlalu halus. Kadang kau tak bisa mengambil keputusan cepat ketika berkaitan dengan sosok terdekatmu!" Kavra mengingatkan.

"Aku akan melindungi Gosha!" tegas Milind pelan.

"Gosha tak akan selalu ada untukmu," Kavra mengingatkan. "Ingat, ia pun dari kalangan Pasyu!"

Keheningan yang hampa dan tak berwarna mengambang.

Perkataan Gosha melintas di benak.

"Perkuat ikatanmu dengan sekutu lama dan baru," pesan Gosha.

Milind menatap Kavra yang tampak merenung. Bagaimanapun, tergelitik keinginan untuk mengenalnya lebih jauh.

"Kapan saja kau biasa bersemedi?" tanya Milind. "Aku lebih mudah mengirimkan pesan ketika kita sama-sama sendiri dan memusatkan perhatian."

"Aku terbiasa bangun tengah malam," jelas Kavra, "setelah tertidur dan terbangun lagi. Kita bisa saling terhubung, kalau itu tak mengganggumu."

"Kau tidak bersemedi menjelang tidur?" Milind tersenyum. "Kenapa tengah malam? Apa tak melelahkanmu?"

Kavra menundukkan kepala, menyembunyikan raut wajah. Ia tak akan berterus terang pada Milind bahwa seringkali terjaga di malam panjang dalam kegelisahan. Bila malamnya terlalu lelah dan mata sulit terpejam, lebih baik memelihara ingatan-ingatan terpilih walau itu menyakitkan.

"Kulihat kau mengejar di angkasa bongkahan sinar padat di perayaan Andarawina," Kavra mencoba menyelipkan kegembiraan. "Daun sirih atau anggrek bulan?"

Milind tertawa tanpa suara, "Aku dapat dua. Kau?"

"Kau hebat. Aku hanya satu."

"Sudah kau berikan pada Putri Padmani?" tanya Milind.

Kavra terdiam mendengarnya. Ia melemparkan pertanyaan, tapi sulit melanjutkan ketika Milind menyentuh hal yang tak ingin diungkapkan. Padmani sangat cantik malam itu, Kavra berharap bisa melihatnya tersenyum dan bahagia. Tapi bayangan satu sosok yang selalu bertarung nyawa demi kepentingan Akasha, tak mudah dienyahkannya begitu saja.

Tetiba sesuatu melintas.

"Milind, kulihat Nami terluka malam itu dan ia mengobati dirinya dengan serbuk hijau," Kavra berkata perlahan. "Ia tampak kesakitan, tapi tak kehilangan kemampuan seperti ketika pertempuran sebelumnya. Kau masih ingat, ia tak bisa mengenali kita?"

Milind mengangguk.

"Kau tahu, serbuk apa itu?"

"Itu adalah serbuk khusus milik Raja Vanantara," gumam Milind.

Kavra terperangah, "Bagaimana ia mendapatkannya?"

"Panjang ceritanya, Kavra. Aku juga tak yakin kau mau menyimaknya."

"Kau…akan menyelidiki Nami, Milind?"

❄️💫❄️

Ketika Milind memutuskan menyelinap ke Giriwana dan menyiapkan seribu satu alasan untuk tiba di bilik raja, dapat didengarnya suara kemarahan di sana.

"Aku memerintahkanmu untuk melindungi putri-putriku, bukan putri kerajaan lain!"

Terdengar permohonan maaf yang dalam.

"Putri Calya dan Putri Arumya bukan tanggung jawabmu! Kau harus bedakan mana kewajiban, mana keinginan!"

Diam yang hening.

"Kalau sampai hal buruk terjadi pada salah satu putriku, perjanjian kita batal! Kau tahu itu?!"

Hanya udara yang terasa mampat.

Milind tak tahu siapa yang tengah menerima kemarahan seperti itu, walau ia dapat merasa Nami yang tengah mendapatakannya. Malam telah menjelang. Sosok Nami menghilang dari bilik putri, digantikan Jawar. Vanantara telah kembali ke Giriwana. Ke mana lagi menyelidiki raja dan salah satu prajurit Nistalit yang dicurigai, bila buka ke istana?

Terdengar langkah-langkah dan helaan napas panjang dari bilik raja.

Perkataan Vanantara yang berikut bagai pedang beku ditancapkan ke punggung Milind.

"Aku memaafkanmu kali ini! Milind sigap mengendalikan Girimba. Andai tak ada Milind, tak ada lagi Wanawa!" sang raja berkata. "Segera masuk bilikku dan ganti pakaianmu."

Tubuh Milind beku, tertancap ke lantai istana. Hampir saja angkat kaki dari sana ketika didengarnya suara memanggil.

"Aku tahu kau datang, Milind," panggil Vanantara. "Masuklah!"

Milind melangkah memasuki ruang pertemuan pribadi Vanantara yang seolah sebentuk periuk di atas tungku pemanas. Sang raja berdiri di dekat pintu masuk, seolah menelisik tamu tak diundang. Milind berlutut, memberikan hormat yang dalam. Vanantara meraih lengannya, menyuruhnya berdiri segera. Pelukan erat dan hangat diterima Milind dengan keraguan. Sepasang tangan Vanantara memegangi kedua sisi wajahnya, mengalirkan hawa lembut ke kedua pipi.

"Terimakasih sudah melindungi Girimba," bisik Vanantara menepuk-nepuk pundaknya. "Tanpamu, aku bisa kehilangan kedua putriku."

"Pasukan Wanawa yang luarbiasa, Paduka," Milind menatap Vanantara sopan sembari mencoba meneliti, "pasukan Nistalit pun bertempur sangat baik. Walau banyak pula yang gugur."

"Ya,ya," Vanantara mengangguk. "Akan kita berikan hadian sebidang tanah bagi keluarga mereka yang gugur."

Ingatan Milind seketika terlepas ke arah Soma dan tunangannya, Garni.

"Apakah pasukan Nistalit pun akan mendapatkan tanah, Paduka?"

"Aku harus mendapatkan izin dari para pandhita dan dewan istana," Vanantara berkata. "Tapi akan kuusahakan."

Malam telah beranjak menuju waktu istirahat.

Milind mendapati Vanantara terlihat gelisah.

"Apakah hamba mengganggu Paduka?" suara Milind terasa kering. "Mungkin Paduka ingin beristirahat."

Vanantara menunduk, tersenyum kecil, "Ya, mungkin aku sedikit lelah, Milind. Apakah kau bisa kembali lain waktu?"

Bayangan satu sosok Nistalit yang diperintahkan Vanantara untuk memasuki biliknya benar-benar mengganggu Milind. Ucapan Yami, perkataan Kavra, sikap Gosha; bertarung di benaknya.

"Hamba akan kembali esok hari," Milind berkata pada akhirnya, memohon diri. "Banyak yang ingin hamba sampaikan pada Paduka terkait keadaan Girimba."

Sebuah penekanan di sana ketika berkata tentang 'Girimba' , seolah Milind ingin menyampaikan bahwa keselamatan kerajaan jauh lebih penting dari hanya kesenangan pribadi. Hampir saja Milind beranjak untuk berpamitan ketika didengarkan satu rombongan kecil datang. Langkah tergesa memasuki bilik pribadi raja, setelah sebelumnya terdengar percakapan kecil yang mirip pertengkaran di barisan prajurit penjaga.

"Ayahanda, maaf tak mengabari terlebih dahulu," terdengar suara Yami.

Milind terhenyak memandangnya. Yami menatap Milind sejenak, memberi isyarat.

Setelah memberi hormat yang dalam, Yami bergegas bertanya, "Apakah Nami ada di sini?"

Vanantara memandang putrinya, menghela napas panjang.

"Biarkan Milind pergi dulu," ujar Vanantara.

"Biarkan Milind di sini!" tegas Yami.

"Yamivara!" sentak Vanantara, meninggikan suara. "Apa alasanmu membantahku?"

Yami bergetar, memberi hormat. Milind mencoba menahan diri dan bersikap tenang untuk berada di antara pertikaian raja dan putrinya.

"Apakah Ayahanda tahu, Nami telah menikam Panglima Gosha?!" ada kemarahan dan kebencian di suara Yami.

"Gosha sudah bukan panglima," Vanantara mengingatkan. "Ya, aku tahu, Gosha terluka. Nami terpaksa melukainya."

"Ayahanda ingin melindunginya?" Yami mencecar. "Apa maksud Ayahanda bahwa Nami terpaksa melukai Gosha? Ia punya itikad buruk terhadap Girimba!"

"Tidak," Vanantara menggeleng. "Nami tidak seburuk dugaanmu."

"Mengapa Ayahanda sangat membelanya?" Yami menatap tak mengerti.

"Ada yang tidak bisa kujelaskan padamu!" tegas Vanantara.

"Ayahanda…menyukainya?" suara Yami tercekat tak percaya.

"Yami! Ini bukan waktu yang tepat membahasnya!" bentak Vanantara keras.

Milind mengepalkan kedua genggaman tangannya kuat-kuat.

Bayang Nami menyerahkan bungkusan bongkahan padat bersinar kepada Kavra. Sosoknya yang tampak baik hati dan peduli pada rekannya. Sesaat kemudian berubah demikian hina dan begitu murahan di hadapan matanya!

Vanantara mendekati Yami, mengusap pipinya yang basah.

"Jika waktunya tiba, aku akan jelaskan semua kepadamu," Vanantara menggenggam jemari Yami, mengecupnya lembut.

Yami mengatur napasnya yang memburu, sejenak setelah tenang, ia mencoba berkata walau tergetar.

"Jika Ayahanda diminta memilih," serak suara Yami, "…antara hamba dan Nami, mana yang Ayahanda pilih?"

Vanantara memejamkan mata, menghela napas panjang.

"Jangan memintaku memilih satu di antara kalian," bisiknya.

Angin pekat yang lebih gelap dari Mandhakarma serasa melibas Milind dan Yami.

❄️💫❄️