Fez, Kota Putih Maroko.
Bangunan-bangunan kotak sewarna mutiara, tumbuh di seluruh distrik kota. Jejak peradaban lama yang megah masih terwujud. Istana, kastil, perabotan mewah, permadani dan perhiasan; tetap terpelihara sebagai pahatan sejarah keindahan masa lalu. Pasar dan pusat perbelanjaan menawarkan hal yang sama : kekayaan cerita.
Jalur-jalur rahasia terbentang sepanjang distrik. Seribu lorong yang saling terhubung; menyembunyikan istana bangsawan berikut harta karun yang dimiliki.
"Papa sudah menunggu, Tante Candra," gadis bernama Nikka yang wajahnya bak porselen menyambut elegan. Senyumnya makin terkembang melihat Rendra.
Seharusnya mereka duduk berempat, tapi Nikka justru menarik Rendra menepi.
"Riyad ini punya papaku," Nikka menjelaskan dengan nada riang. "Kau boleh tinggal di salah satu kamarnya."
"Mercy beaucoup*," Rendra mengangguk sopan. "Mama dan aku sudah sepakat menyewa hotel selama sepekan."
"Kau gak harus tinggal dengan mamamu, kan?"
Rendra tertawa kecil, "Kami sedang rekonsiliasi hubungan, kau tahu itu kan? Aku dan mama sering bertengkar. Perjalanan seperti ini penting untuk harmonisasi."
Nikka mengangkat tangannya, sedikit menyerah, "oke."
Rendra meneguk teh mint yang hangat di tenggorokan dan perut.
"Makan dulu, habis itu kita jalan-jalan sebentar," ajak Nikka.
Rendra menghela napas, mencoba mengiyakan.
Riyad milik ayah Nikka adalah bangunan kuno dengan kamar berjumlah empat puluh buah. Seluruh dindingnya berhias mozaik dengan potongan teliti dan akurat. Kamar mandi di lantai bawah berlapis kuning keemasan dengan ceret-ceret yang berfungsi sebagai wadah air pencuci tangan. Sama seperti dinding ruangan yang lain, dinding kamar mandi berlapis potongan kecil-kecil porselin aneka warna dengan bentuk rumit yang akurat.
Makanan yang tersaji semeja penuh, tak mampu dihabiskan. Nikka menarik tangan Rendra, memberi isyarat kepada ayah Nikka dan mama Rendra untuk beranjak ke luar.
"Papaku membeli tambang di Afrika," jelas Nikka sembari bergelayut di lengan Rendra.
Walau risih, Rendra tak mudah menolaknya.
"Apa tambang batubara di Kalimantan masih dikelola dengan baik?" tanya Rendra segan.
"Masih," Nikka mengangguk. "Mamaku yang ngelola."
"Kamu gak bantuin?"
"Sementara aku nemani papa di sini. Maroko tempat yang eksotis. Tambang papa ada di beberapa negara Afrika, di Tanzania dan di sini."
Rendra dan Nikka ke luar dari area riyad yang menjadi tempat tersembunyi namun paling dicari turis mancanegara.
"Nik, aku nggak bisa balik ke riyadmu," Rendra mengingatkan.
Nikka tertawa, "Aku sudah hafal jalur keledai. Kamu tenang aja. Selama sama aku, aman!"
"Jalur keledai?" Rendra mengerutkan dahi.
"Angkutan melewati lorong-lorong rahasia pakai keledai. Kamu ketemu kan?" Nikka menjelaskan.
Rendra tersenyum sekilas. Matanya memandang berkeliling, menatap langit dan bangunan. Ia bahkan tak menyadari telah bertemu keledai yang terlihat seperti kuda kecil.
"Ren?"
"Hmh?"
"Kamu kayaknya lagi gak konsen banget," tegur Nikka.
Rendra menaikkan alis, "Ohya?"
"Ya. Aku ajak ngomong kayak gak cepat tanggap. Matamu juga ke mana-mana," Nikka cemberut mengatakannya.
Rendra menggeleng-gelengkan kepala, "Sorry, Nik. Banyak pekerjaan lalu lalang di kepalaku."
Gawai berdering. Rendra mengangkatnya dan berbicara dengan seseorang di seberang.
"Siapa dia?" tanya Nikka.
"Luna," sahut Rendra pendek. "Kamu kenal dia kan?"
"Asistenmu yang seksi itu," celetuk Nikka.
"Ya, dulu rekan kerja lalu dia milih jadi asistenku," Rendra berkata jujur.
"Wow! Dia pasti punya tujuan," tebak Nikka kurang senang.
Gawai Rendra kembali berdering. Percakapan terjadi, membuka kesempatan bagi Rendra untuk melepaskan cekalan tangan Nikka.
"Cewek lagi?" kesal suara Nikka.
"Adikku," sahut Rendra.
Nikka menghembuskan napas tak suka.
Di sudut kota Fez, penjaja perhiasan berjajar menawarkan batu mulia dan bermacam kerajinan logam. Rendra berhenti di pedagang yang menampilkan jajaran kalung dengan huruf inisial. Tanpa sadar, tangannya mengambil satu jenis, membelinya tanpa menawar.
"Wah, kamu baik banget!" Nikka berseru kecil.
Rendra sedikit tergeragap, melihat binar reaksi Nikka.
"Buat aku kan?" Nikka berkata manja, melihat ke arah kalung yang telah berada di genggaman tangan Rendra.
Bandul kalung dengan inisial huruf N terlihat.
Tak enak hati, Rendra mengulurkannya.
"Kamu pasti bisa beli yang jauh lebih mahal dari ini," jelas Rendra, sembari tangannya memilih inisial huruf lain.
"Tapi pemberian kamu, jauh lebih istimewa," Nikka mengedipkan mata.
Mereka berjalan menyusuri berbagai kios kerajinan, penjaja makanan dan toko pakaian. Di satu toko, Rendra berhenti.
"Kalau kamu mau beli barang-barang dari kulit, jangan di sini," bisik Nikka. "Atau kalau mau beli souvenir keramik dan porselen, papa punya langganan."
Rendra tak mengindahkan saran Nikka, kakinya melangkah masuk.
Fez adalah salah satu kota tua yang menyajikan keindahan masa lalu dan kemajuan masa kini. Toko yang dimasuki Rendra, seolah menawarkan tahun-tahun ketika zaman belum memasuki era millennial. Bahkan, belum memasuki abad Masehi. Berbagai lintasan pikiran, berlari di benak Rendra.
"Ren?"
"Aku mau beli beberapa kerajinan perak, Nik."
"Kan udah kubilang, jangan di sini. Papaku punya langganan. Aku bisa antar kamu seharian besok."
"Aku gak punya banyak waktu," tukas Rendra, membeli barang yang diinginkan.
🔅🔆🔅
Kembali ke Indonesia, Rendra membawa setumpuk barang bawaan.
"Kamu ngapain beli-beli kayak gitu?" omel bu Candra. "Harusnya kamu fokus ngobrol sama Nikka perkara tambang papanya."
Rendra tak terlalu menanggapi.
"Kamu cocok nggak sama Nikka?" bu Candra tetiba membombardir.
"Cocok apanya, Ma?"
"Kalau kamu nikah, kalian serasi. Dia cantik, kamu of course, good looking. Dia pintar, kamu juga. Kalian sama-sama bertangan dingin mengelola perusahaan."
"Aku belum mikir ke arah sana."
"Umurmu sudah tigapuluh lebih, Rendra! Mau nunggu apa?"
"Aku mau bongkar barang bawaanku dari Maroko. Aku juga membeli berbagai macam barang dan aku minta vendornya kirim ke Indonesia."
"Gila kamu!"
"Baru kali ini aku belanja kayak gini," sahut Rendra ringan. "Mama kalau beli barang lebih ajaib lagi. Kayak di Indonesia gak ada barang yang Mama inginkan."
"Kamu harus segera punya rumah sendiri kalau gini," gerutu bu Candra. "Juga harus ada yang ngurus kamu."
"Aku bisa urus diriku sendiri,Ma."
"Kalau kamu gak mau sama Nikka, masih banyak daftar perempuan lain yang bisa Mama ajukan ke kamu."
"Kenapa Mama tiba-tiba perhatian sama urusanku?" Rendra tampak heran.
Bu Candra mendengus pendek.
"Silva banyak cerita," suaranya melunak. "Kalian benar-benar kayak kakak adik kalau gitu."
Senyum di wajah bu Candra mengembang.
Rendra merasa otot punggungnya relaks melihat wajah di hadapannya.
"Tapi Mama nggak suka dengan cerita Silva kalau dia dan teman-temannya suka minta uang ke kamu," tandas bu Candra.
Punggung Rendra bagai terpasang penyangga besi.
"Ada cewek di sana, Ren? Yang naksir kamu?" cecar bu Candra.
Rendra menahan napas, menggeleng, "Gak. Gak ada, Ma."
"Beneran?" mata bu Candra mengerling. "Cowok seperti kamu gak akan kekurangan penggemar."
"Gak semua cewek seneng model orang kayak aku," Rendra merendah.
"Awas aja kalau ada cewek di antara teman-teman Silva yang menghabiskan uangmu seperti kata Silva."
Rendra terdiam.
"Cewek brengsek kalau modelnya begitu," sembur bu Candra. "Belum ada ikatan apa-apa sudah merongrong kamu."
"Ma!"
"Cewekmu harusnya kayak Nikka, yang bisa men-support kamu secara moral dan materi."
Rendra menatap wajah ibunya tajam.
"Kenapa? Kamu menghabiskan uang buat cewek yang gak mama kenal?"
Bayangan seorang gadis yang tak begitu tertarik pada uang mengusik benak Rendra.
"Ren! Jangan sampai buat kesalahan seperti Mama!" sentak bu Candra.
Hampir saja pertengkaran pecah di antara mereka kalau saja sebuah pesan penting tak masuk.
🔅🔆🔅
__________
Mercy beaucoup (bhs. Perancis) : terimakasih banyak