Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 242 - Ujung Kematian

Chapter 242 - Ujung Kematian

Rendra bergegas menuju rumah sakit. Pandu di sana, menanti dengan wajah kalut. Kikan tak menyahut di grup atau chat pribadi. Fuji terbaring di ruang intensif.

"Kok bisa gini, Ndu?!" panik suara Rendra.

"Aku nemui mbak Fuji di kamar mandi kamarnya udah kayak gitu, Mas. Pendarahan hebat…"

Rendra menarik napas panjang.

Pandu menahan abangnya agar tak melangkah masuk ke ruang gawat darurat.

"Mas," bisik Pandu, "Mbak Fuji…percobaan aborsi lagi."

Rahang Rendra mengeras.

"Sama pacarnya yang dulu?!"

Pandu menggeleng, "aku nggak tahu."

Tangan Rendra menghantam kursi di sampingnya.

"Mama sudah tahu?" Pandu bertanya.

"Sudah."

"Kenapa Mama nggak ke mari?" tanya Pandu.

Rendra menatap adiknya sekilas, "Ada meeting."

Tak ada yang lebih penting bagi bu Candra selain perusahaannya. Segala yang membahayakan dan menguntungkan perusahaan akan menjadi titik perhatian penting. Sudah lama, bu Candra berseteru dengan Fuji dan Kikan terkait gaya hidup mereka yang begitu hedonis. Pertengkaran, saling tuduh, berlomba menyalahkan, mengungkit dosa masing-masing adalah perang yang nyaris setiap waktu meletus di rumah istana mereka.

Wajar, Fuji dan Kikan memutuskan hidup di apartemen. Mengikuti gaya hidup pilihan masing-masing. Bila membutuhkan sesuatu, semuanya akan berkumpul di rumah mereka di kawasan Bintaro.

Pandulah yang menyadari ada sesuatu yang salah terkait Fuji ketika gadis itu berhari-hari memutuskan tinggal di rumah kembali.

Pandu meremas lengan Rendra, "Mas, Mbak Fuji butuh Mas Rendra. Mbak Kikan juga."

"Ada apa sama Kikan?"

"Mas lihat akun-akun medsosnya mbak Kikan?"

"Aku terlalu sibuk untuk buka akunku sendiri."

"Aku gak akan heran kalau mbak Kikan juga sama kayak mbak Fuji," pelan suara Pandu.

Rendra duduk di kursi, meremas rambutnya.

"Aku rasa," Pandu duduk di sisi Rendra, memandangnya bingung dan kacau, "…keluarga kita butuh sosok yang bisa mengarahkan. Papa mama udah gak bisa. Hanya Mas Rendra yang bisa menguatkan dan menyelamatkan mbak Fuji dan mbak Kikan."

Rendra mendesah pelan.

"Akhir-akhir ini aku memang banyak menghabiskan waktu dengan Silva," bisik Rendra.

"Gimana dia kabarnya?" Pandu menghela napas.

Rendra tersenyum samar, "Dia baik. Lumayan, gak bikin masalah."

"Oh," Pandu mengangguk tak terlihat, "apa dia ketemu seseorang, atau teman, atau siapa gitu yang bikin hidupnya gak ruwet lagi?"

Rendra menengadahkan kepala, menatap langit-langit putih.

"Ya. Sepertinya Silva ketemu teman yang cocok. Yang bisa menguatkan dia," ujar Rendra.

"Cowokkah? Aku khawatir kalau cowok kasusnya berakhir kayak mbak Fuji sama mbak Kikan," desah Pandu.

Rendra termenung.

"Teman-teman Silva gak kayak teman Fuji sama Kikan," ujar Rendra. "Aku juga bersyukur. Temannya ada yang cowok, ada yang cewek."

"Aku jadi kangen anak itu," ujar Pandu. "Kasihan dia. Gimana-gimana, dia adik kita."

Rendra menoleh ke arahnya.

"Dari anak mama, kamu memang yang hatinya paling baik, Ndu," Rendra memuji. "Aku dulu benci setengah mati sama Silva."

"Anaknya emang annoying," Pandu tertawa. "But, she's cute."

Rendra mencoba tersenyum.

Seorang perawat membuka pintu, memanggil nama keluarga Fuji. Rendra bangkit berdiri dengan tergesa, menghampirinya. Rendra dan Pandu saling menopang satu sama lain ketika mendengar berita yang disampaikan.

🔅🔆🔅

"Kamu ngapain di sini?" tanya Rendra kaget.

Baik Rendra sepakat menunda semua pekerjaannya dan mewakilkannya pada Luna, sementara Pandu membolos kuliah. Mereka berdua menunggu detik-detik berharga dalam kehidupan Fuji, di saat bu Candra merasa tak penting menungguinya karena merasa putrinya telah berada di tangan para ahli di rumah sakit terbaik.

Tamu tak diduga hadir.

Tubuh kurus, rambut di kelabang, dengan cardigan yang melindungi. Kelelahan perjalanan tergurat di wajah. Alasannya terdengar kekanakan, sekaligus juga tulus.

"Pingin jenguk mbak Fuji," Silva berkata lirih. "Gimana kondisinya?"

"Doakan aja, Sil."

Fuji masih berada di ruang intensif dengan pengawasan ketat. Silva terlihat bingung dan gelisah, namun sulit menyampaikan maksud. Rendra menatapnya seksama.

"Kamu butuh uang, Sil?"

Alis Silva naik, "Ha? Nggak, Mas!"

"Kalau butuh apa-apa bilang aja."

Silva menelan ludah, kering.

"Mas Rendra…mbak Fuji sebetulnya gimana kondisinya?"

Rendra menggeleng, "Aku gak tau. Tapi kata dokter, kondisinya gawat, Sil."

"Apa mbak Fuji bisa…?"

"Meninggal?" suara Rendra tergetar melengkapi.

Silva menunduk, meremas tangannya. Tak ada jejak kebaikan dalam hubungannya bersama Fuji. Namun mendengar kondisinya yang mengenaskan, bukan kegembiraan yang didapat. Hatinya ikut merasakan kesedihan dan kegelisahan. Apalagi sosok mama tak terlihat.

"Mama mana?" tanya Silva.

Rendra tersenyum, "Coba kamu kontak mama sendiri, ya. Kalau kamu yang ngomong, barangkali mama mau dengar."

Silva mengangguk.

"Sebaiknya kamu segera balik ke Javadiva," saran Rendra. "Atau bareng tim delapan hektar. Pandu bakal ngantar kamu balik. Kamu bisa ambil penerbangan Yogya atau Solo."

Silva mengangguk lagi.

"Mas Rendra," pelan suara gadis itu terdengar, "aku bawa sesuatu sebetulnya."

Rendra menatapnya.

"Salaka bilang, kalau ada keburukan atau kejahatan, coba taburkan serbuk perak," Silva berkata sembari memberikan sebungkus kecil benda dalam balutan daun jati.

Rendra ingin tertawa sebenarnya. Silva menatapnya malu.

"Aku harus taburkan ini di mana?" Rendra mencoba percaya.

"Bisa di bagian tubuh mbak Fuji, atau di cermin. Dioleskan, begitu."

"Emangnya manjur?" Rendra tak percaya.

"Sebetulnya…aku pernah memberikan serbuk ini pada Mas Rendra," Silva mengaku jujur.

"Ohya?" Rendra tampak terkejut, menimang barang pemberian Silva, walau dalam benaknya dipenuhi ketidakpercayaan 99,9%.

Pandu bergabung bersama mereka, membawa makanan cepat saji dan minuman coklat hangat.

"Ndu, kamu antar Silva balik. Biar aku yang jaga Fuji," pinta Rendra.

"Oke."

"Silva sedang terlibat proyek kerjasama dengan satu tim yang namanya tim delapan hektar," jelas Rendra. "Aku sebetulnya sudah memutuskan gak memperpanjang kontrak dengan tim ini karena gak prospektif. Kita harus efisiensi dana."

"Oke."

"Tapi aku pingin lihat apa pendapatmu kalau ketemu dengan tim delapan hektar."

"Mas," sanggah Pandu, "aku sama sekali gak ahli di bidang bisnis."

"Aku tahu. Kamu kasih pendapatmu secara personal saja."

"Sebetulnya, aku mau lebih lama di sini," protes Silva.

Rendra menggeleng.

Hadirnya Silva di antara Fuji dan Kikan, mama dan papa mereka yang selalu berada dalam perang dingin, bukan perkara yang baik di saat genting. Fuji butuh ketenangan.

"Kalau keadaan membaik, aku akan susul kamu," janji Rendra pada Silva.

Silva menatapnya memohon.

"Aku janji," Rendra berkata. "Aku juga punya hadiah buatmu, tapi masih di apertemen."

"Ohya? Hadiah apa?"

"Cuma kalung perak," Rendra menjelaskan.

Inisial di bandul kalung itu melintas di benak.

🔅🔆🔅

Rendra menatap tubuh yang terbaring layu.

Wajah cantiknya kuyu. Kulit yang senantiasa terawat di salon mahal, saat jauh dari skin care dan kosmetik yang dioleskan, terlihat bagai lapisan luar bawang merah yang menunggu untuk dikupas lalu dibuang.

Rendra menggenggam tangannya.

Sebagai kakak beradik, mereka tak pernah punya hubungan hangat yang seharusnya. Seringkali, Rendra bertanya-tanya, mengapa mama mereka bisa melahirkan empat orang anak tanpa mampu merawatnya sama sekali? Oh, satu lagi ditambah Silva.

Bu Candra sosok yang kuat dan aneh. Di saat orang lain menolak punya anak banyak, ia justru banyak melahirkan. Seolah, dirinya ingin membuktikan betapa hebat dirinya menjadi istri, ibu dan pengusaha sekaligus. Kehebatan diri yang tak mendapatkan pujian dari suami, hingga ia mencari pembenaran di luar perjanjian pernikahan.

Sebetulnya, pikir Rendra, mama ataukah papa yang sakit di tengah keluarga mereka?

🔅🔆🔅