Apa yang akan kau lakukan bila dituduh melakukan kesalahan padahal kaki-kakimu berpijak pada kebenaran? Membela diri, melemparkan kesalahan pada pihak lain, atau lebih baik membisu?
Nami memilih yang ketiga. Kalau pun menjawab, dilakukan sebisanya. Selasar bilik Gosha luas dan damai. Jarak dua panglima dengan dirinya selebar tiga langkah besar, namun terasa ruang demikian sempit hingga dada sesak dan udara terlalu padat.
"Kau seharusnya istirahat lebih lama di sini, Nami," bujuk Gosha. "Ada bilik perempuan di gerbang Aswa. Tak semewah bilik Putri Yami, tapi kupikir dapat kau gunakan untuk istirahat."
Nami mencoba tersenyum, mengucap terima kasih, "Hamba harus segera kembali ke Girimba."
Alis Gosha naik, setengah tertawa, "Bukankah ini Girimba? Maksudmu, bilik putri tempatmu harus bertugas?"
Nami tergeragap, merasa salah ucap karena gugup atau terlalu lelah.
"Mungkin yang dimaksudkan adalah Giriwana," sindir Milind tajam.
Mulut Nami mengatup kaku.
"Aku berterimakasih padamu," ucap Gosha tulus. "Tanpa bantuanmu, gerbang Aswa pasti luluh lantak. Bagaimana kau bisa tiba di sini tepat waktu, Nami?"
Nami menarik napas panjang. Pada akhirnya pasti akan ada pertanyaan ke arah situ.
"Hamba…kebetulan tengah berkeliling, Panglima Gosha."
"Gosha, panggil saja namaku."
Nami menatap sosok di depannya sendu. Betapa rendah hatinya sang panglima Aswa.
"Aku memerintahkan semua prajurit di sini untuk tetap memanggilmu panglima," Milind menyela tegas.
"Milind," tegur Gosha, "jangan membuat bingung bawahanmu. Panggilan panglima akan mengaburkan tugas dan kewajiban. Mereka berharap aku bisa memenuhi tanggung jawab dan teladan sebagai panglima, padahal kau tahu, aku sudah tak bisa."
Milind terdiam.
"Kau lihat sendiri, aku harus bergantung pada Nami untuk dapat melindungi diri."
"Itu karena musuhmu pasukan hitam!" Milind bersikeras. Suaranya merendah kemudian, "Harus diakui, hanya Nistalit yang punya kemampuan melihat mereka."
Gosha tersenyum, "Kalau begitu, Akasha dan Pasyu banyak berhutang budi pada Nistalit."
Ya, pikir Milind murung, aku tak melupakan betapa berjasanya Nistalit dalam pengamanan benteng Wanawa.
"Kembali pada pertanyaanku tadi," Gosha meneruskan, "bagaimana kau bisa berada di sini tiba-tiba?"
Nami menarik napas panjang, "Hamba hanya berkeliling, tak sengaja ke mari."
"Tak sengaja?" Milind menukas datar.
"Benar, Panglima."
Milind mencium ketidakberesan di beberapa kejadian, namun belum dapat menyimpulkan. Berbagai perintah terasa tumpang tindih, berbagai peristiwa seolah saling berkaitan walau terlihat tak memiliki ikatan kejadian. Bilik putri, Nistalit dan beberapa hulubalangnya terasa menyembunyikan sesuatu.
Angin dini hari menjelang fajar berhembus, menembus dinding-dinding. Menggoyangkan ranting dan dedaunan. Membawa bisikan malam akan berakhir segera.
Nami membungkuk, mengatupkan tangan, memberi hormat yang dalam.
"Hamba mohon izin pamit, Tuan Gosha," Nami berusaha menghormati Gosha. Lidahnya terasa kelu ketika mengucapkan nama yang berikut, "Mohon izin juga pada Panglima Milind."
Milind enggan menjawab.
Gosha mengerutkan dahi, "Kau benar-benar tak ingin istirahat? Baiklah. Aku akan memerintahkan Turangga atau Sembrani mengantarmu agar cepat sampai. Biarkan rekanmu yang terluka berada di bawah pengawasanku."
Nami terkesiap tetiba. Diantar Turangga atau Sembrani? Jarak gerbang Aswa dan bilik putri memang cukup jauh. Bila berjalan kaki atau berlari, tak akan sampai tepat waktu. Tapi diantarkan Turangga atau Sembrani akan mengacaukan pesan Sindu : Jawar jangan sampai tahu. Entah apa makna pesan Sindu. Nami berpikir keras.
"Apakah hamba boleh minta diantarkan salah satu prajurit Akasha yang mengawal Tuan Gosha?" pinta Nami.
"Kenapa? Terus terang, aku sungkan memberi perintah pada prajurit Akasha. Mereka bukan bawahanku," Gosha halus menolak.
Nami memejamkan mata sejenak, berusaha mengambil keputusan cepat.
"Kalau begitu, lebih baik hamba pulang segera sendiri," ucap Nami. Bila bergerak cepat, walau terengah sekalipun, semoga masih akan tiba sebelum fajar atau terlambat sedikit. Sesuai perjanjiannya dengan Jawar.
"Kau ini kenapa," Gosha benar-benar kebingungan, "aku tak mengerti mengapa kau harus segera kembali. Apa perlu kumintakan izin pada Putri Yami agar memberimu waktu istirahat?"
Nami terkejut, menaikkan alis, menggeleng segera.
"Tidak bisa, Tuan Gosha. Putri Yami meminta hamba untuk selalu hadir. Terutama menjelang perayaan Andarawina," Nami memberi alasan.
Milind dan Gosha berpandangan. Sekali lagi, Nami merasa salah bicara hingga ia mengumpat dirinya sendiri.
"Dari mana kau tahu perayaan Andarawina?" tanya Gosha hati-hati.
Milind bergerak satu langkah mendekat.
"Apa berita yang kau ketahui?" tanya Milind tegas. "Rencana perayaan baru diketahui oleh segelintir pihak. Dari mana kau tahu Andarawina akan diselenggarakan?"
Nami menunduk dalam, memberi hormat. Tubuhnya bergetar, keringat membasahi punggung.
"Putri Yami, Panglima Milind," Nami berujar.
"Apalagi yang kau tahu?" cecar Milind.
Nami menggeleng, memberi hormat yang dalam kembali.
"Giriwana tidak memberitahumu apapun?" kecam Milind tajam.
Nami menggeleng.
"Mengapa aku merasa kau berbohong?" tuduh Milind.
Nami mengangkat kepalanya sejenak, tanpa sengaja bersirobok dengan mata Milind yang dingin dan menusuk.
"Hamba tidak berani berbohong pada Panglima," Nami bergetar mengatakannya.
Milind mengangguk samar, "Cepat atau lambat, yang benar akan terungkap. Yang salah akan tersingkap. Kau ada di pihak mana, itu pilihanmu!"
Nami akan membuka mulut, mengatakan bahwa tak mungkin Raja Vanantara dan Pandhita Garanggati berada di pihak yang salah. Tindakannya urung dilakukan, dan Nami memilih untuk bersabar menahan diri.
"Kau tergesa ingin meyakinkan semua pihak bahwa dirimu benar dan hebat? Untuk apa?" tantang Vanantara. "Mudah terpancing adalah kelemahan seorang prajurit. Yakinlah di mana kakimu berpijak sepanjang kau junjung kemuliaan. Tugasmu melindungi dan berkorban, bukan cari-cari alasan apalagi gila pujian!"
Ucapan Vanantara terngiang.
Ucapan Kavra pun melintas tetiba.
"Kau tak akan butuh bantuanku, selama ada Milind di sana."
Sepenuh hati dan sopan, Nami berkata, "Hamba akan selalu membutuhkan bimbingan Panglima Milind dan Tuan Gosha."
Gosha memegang lengan Milind.
"Biarkan Nami kembali kalau begitu," ujarnya menengahi. "Dia pasti bingung harus menaati Putri Yami atau memenuhi permintaan kita."
Milind melangkah satu tapak mendekat.
"Tak masalah kau mau menaati siapa," Milind mengingatkan. "Ingat baik-baik, Nistalit. Bila keselamatan para sahabatku dan para putri terancam, aku tak segan-segan akan bertindak tegas!"
Nami mengangguk, memberi hormat. Merasakan ketakutan mencengkram.
"Aku akan meminta salah satu prajurit Wanawa mengantarkanmu," Gosha memutuskan akhirnya.
Milind mencegahnya, "Tak perlu, Gosha."
"Milind? Kau tak ingin membuat Putri Yami murka, bukan? Nami harus sampai tepat waktu!"
"Aku yang akan mengantarkannya sendiri," Milind berkata tegas.
Nami terhenyak, tak percaya mendengarnya.
Gosha tersenyum simpul, mengedipkan mata penuh arti, "Kau sendiri? Itu lebih baik, kupikir."
"Aku ingin melihat bagaimana wajah Jawar," Milind tersenyum kecil ke arah Nami, penuh kemenangan, "ketika sebelum fajar aku mengantarkanmu ke hadapannya. Kupikir, aku harus jujur kalau dia bertanya."
Tersedak.
Nyaris terbatuk Nami mendengarnya.
"Nah, ayo kita kembali ke Girimba," Milind tampaknya ingin menyindir tanpa ampun. "Atau ke Giriwana?"
Milind melangkah ke luar bilik Gosha, menuju bagian terluar gerbang Aswa.
Dilibas kebingungan, Nami menguntit langkah Gosha dan Milind. Meninggalkan Sindu yang tengah beristirahat memulihkan diri dari luka. Bagaimana harus menjelaskan pada Jawar, apa yang tengah terjadi? Apa sebetulnya yang tengah dihadapai Sindu dan Jawar, sehingga mereka tampaknya saling bertolak belakang dan tak berbagi pesan perintah yang sama?
Hampir saja tersandung kaki sendiri. Begitu mudahnya menumpang tunggangan angin pada Jawar dan Sindu. Bagaimana melakukannya pada Milind? Kejadian berpasangan hanya terjadi dalam pertarungan, tidak dalam perjalanan biasa. Nami merasakan tubuhnya menegang, pipinya memerah.
Apakah ia harus memegang lengan Milind? Atau sabuknya? Atau jubahnya?
Milind bersiap berangkat, dengan tunggangan anginnya. Melihat Nami membuang waktu dalam keraguan, ia berucap tegas.
"Kau yang membutuhkan tunggangan angin, Nistalit!" ujarnya. "Jadi, kau yang berpegangan padaku!"
Gosha memberikan isyarat pada Nami untuk memegangi sabuk Milind dari arah belakang.
"Kalau aku menumpang pada Milind," goda Gosha, "ia akan memegangi pundak, lengan atau pinggangku."
Milind menatap Gosha galak. Nami menggigit bibir dalamnya.
"Ohya, Nami," Gosha tak henti menggoda, "jangan mengajaknya bicara. Kalau Milind kehilangan perhatian dan tak dapat mengendalikan tunggangan angin, kalian akan jatuh terjungkal bersama."
"Gosha! Diamlah!"
❄️💫❄️