Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 232 - ●Hati Patah

Chapter 232 - ●Hati Patah

Kalaulah perasaan dapat dipatahkan dan dimatikan semudah berkeluh kesah, malam akan terasa ringan. Mengapa pula, ingatan dan bayangan yang menggetarkan justru muncul ketika malam?

Hanya sesaat perjalanan itu : gerbang Aswa menuju bilik Putri Yami. Yang satu terletak di hamparan padang hijau, yang satu terletak di puncak pepohonan. Jejak di lubuk hati, terpahat begitu dalam. Nami nyaris tak berani bernapas, tangannya bergetar memegang sabuk Milind. Seharusnya ia menolak ajakan ini. Seharusnya berlari menuju bilik putri. Helai rambut Milind yang halus dan panjang, tertiup angin, terlempar lembut ke belakang. Nami harus menggeser tubuh agar wajahnya tak harus mencium aroma dedaunan. Saat ini, detik ini, potongan waktu ini; pasti akan mengendap lama. Nami mengeluhkan perasaannya sendiri yang kacau balau.

Milind justru menuju bilik Kahayun, tempatnya tinggal di Girimba. Nami tertegun. Hulubalang Wulung berjaga di depan, memberikan hormat. Wajahnya tampak bertanya-tanya melihat kehadiran Milind dan Nami.

"Aku berubah pikiran," Milind berkata tenang. "Kau tunggu sebentar di sini."

Nami berdiri menanti di selasar, kebingungan, menatap punggung Milind menghilang. Tatapan Wulung terlihat aneh. Sesaat kemudian Milind muncul, membawa sesuatu.

"Semoga ini bermanfaat untukmu," ucap Milind, mengulurkan sebuah benda.

Nami menerimanya sembari mengerutkan kening. Sebilah belati, sarungnya berukir indah berhias simbol air mengalir.

"Ini…?"

"Belati dari Panglima Kavra."

Mata Nami berbinar. Milind mengalihkan tatapannya.

"Hamba juga punya belati dan pedang dari Hulubalang Sin," jelas Nami tanpa sadar.

"Gangika banyak memberimu hadiah," ujar Milind datar. Ia mengalihkan tatapannya ke arah Wulung, "antarkan Prajurit Nami kembali ke bilik putri."

Wulung memberikan hormat.

Nami pun mengatupkan tangan, sembari mengucap terima kasih.

"Wulung," perintah Milind, "jangan sampai langkah kalian terlihat oleh Jawar."

Wulung tertegun heran. Nami menarik napas tanpa suara. Merasakan ketenangan mendengar perkataan Milind yang seolah berada di pihaknya. Ia mengangkat wajah, mencoba tersenyum. Milind memilih menunduk, tak ingin memperbanyak percakapan dan segera membalikkan badan, meninggalkan mereka. Gadis itu menyelipkan belati Kavra, meminta Wulung mengantarkannya sejenak ke bilik prajurit Nistalit untuk mengambil pedang Sin.

Tepat sebelum fajar menyingsing, Nami telah berada di hadapan Jawar yang menunggunya dengan sikap siap siaga.

❄️💫❄️

Pagi itu terdengar kabar baik.

"Nami, siang ini penjahit kerajaan datang," ucap Yami. "Ia akan mengukurmu. Di perayaan Andarawina, kau harus berbusana rapi."

Nami terhenyak. Pakaian Nistalit hanya berupa baju sederhana dengan kain kasar, seringkali pemberian bekas dari Akasha atau Pasyu.

"Aku harap kau tidak keberatan dengan pilihan warna dan kain yang kusediakan," jelas Yami.

Nami memberi hormat yang dalam, terharu.

"Tuan Putri terlalu baik," tenggorokan Nami tercekat. "Hamba tak bisa berkata-kata lagi."

Seorang gadis sepertinya, mendapatkan pakaian baru, alangkah menggembirakan. Namun Nami pun didera perasaan berkecamuk : bagaimana pendapat Dupa, Soma, dan teman-teman Nistalitnya yang lain?

"Putri Yami," Nami bersuara lirih, memohon, "maafkan bila hamba kurang ajar."

"Katakan saja."

"Apakah," Nami ragu sejenak,"… hamba boleh meminta dua potong pakaian bagi Aji dan Usha?"

Yami tersenyum.

"Aku juga memikirkan mereka," Yami berujar tulus, mengiyakan permintaan tersebut.

Kesibukan bilik putri sama seperti hari-hari biasa. Sebelum siang, Yami kembali memanggil Nami dan mengajaknya berbincang.

"Aku ingin meminta pengawalanmu menuju gerbang Aswa," ujar Yami hati-hati.

Nami terkesiap. Bayangan Gosha Hitam dan pertempuran semalam menggedor benak.

"Kenapa?" Yami menatapnya curiga.

Nami membuang napas, berkata pada akhirnya.

"Semalam, hamba berkeliling Girimba ditemani Hulubalang Sindu atas perintah Paduka Vanantara. Pasukan Hitam menyerbu gerbang Aswa," jelas Nami, sembari mencoba mengisahkan secara singkat bagian-bagian terpenting.

Wajah Yami pucat.

"Bagaimana Gosha?" tanyanya tersendat.

"Panglima Gosha dalam keadaan baik," jawab Nami, entah mengapa tak dapat menyingkirkan kata 'panglima' begitu saja.

Nami tak menyinggung, bahwa semalam Milind menahan gempurannya ketika akan menghabisi Gosha Hitam. Banyak hal yang membuatnya kebingungan : kepada siapa harus disampaikan? Apa saja yang boleh diberitahukan? Nami bahkan tak tahu apakah semua yang diketahuinya harus diutarakan pada Raja Vanantara, Panglima Milind, Putri Yami dan Pandhita Garanggati. Permintaan Yami untuk mengawal dan mendampinginya menemui Gosha, sungguh tak dapat ditolak. Nami juga ingin tahu keadaan Sindu.

Tampaknya, Yami tak ingin terlalu banyak pengawal terlibat. Hanya bersama Nami, ia menunggang angin menuju gerbang Aswa.

❄️💫❄️

Nami berjaga dalam sikap siaga, di luar bilik Gosha. Sindu tampaknya telah dipindahkan ke tempat yang lebih aman, hingga di biliknya Gosha hanya menerima Yami. Dari bilik pintu, Nami dapat mendengar percakapan mereka.

"Kudengar gerbang Aswa menghadapi pengacau semalam, Gosha," suara Yami terdengar khawatir.

"Hamba beruntung berada dalam perlindungan Panglima Milind," Gosha berkata, "prajurit Nami juga sangat lihai menghadang musuh."

Percakapan terkait serangan pasukan hitam, mirip seperti apa yang dikisahkan Nami. Diam-diam Nami bersyukur, Gosha pun menyembunyikan kisah bagaimana Milind mencegahnya membunuh Gosha Hitam.

"Aku ingin mengundangmu secara khusus untuk perayaan Andarawina," Yami berkata lembut. "Aku…aku ingin kau duduk di sampingku."

Gosha tampak merenung.

"Hamba khawatir tak dapat hadir di pertemuan tersebut, Putri."

Alis indah Yami terangkat tinggi, "Kenapa?"

Gosha menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sendiri.

"Walau hamba bukan panglima lagi, banyak sekali yang masih harus diurus. Turangga dan Sembrani membutuhkan banyak arahan. Demikian pula Putri Calya masih perlu bimbingan."

"Putri Calya dan Panglima Jagra akan hadir," Yami bersiteguh, "jadi, kau bisa menyisihkan waktu untuk mereka dan tetap hadir di perayaan."

"Tampaknya tidak akan semudah itu," Gosha mencoba mengelak. "Gerbang Aswa semalam hampir luluh lantak. Sulit untuk meninggalkan tempat sekaligus benteng hamba saat ini."

Hening mengalirkan suara hati yang retak di antara mereka semua.

"Kau…memang tak berniat menghadiri acara ini, Gosha?" Yami menarik napas berat.

Gosha menunduk, menyembunyikan senyum pedihnya sesaat.

"Hamba sangat ingin, tapi tak bisa, Putri."

"Kau menghindariku?" bisik Yami.

Gosha tertawa tanpa suara, "Tidak. Pertemuan kita saat ini adalah bukti bahwa hamba tak menghindari Putri Yami."

Terdengar helaan napas panjang dari masing-masing.

Percakapan-percakapan yang berusaha membujuk dan menolak, memperjelas atau menyangkal.

"Tidak bisakah kau hadir, sesaat saja? Sepanjang penerimaan tamu agung dan sekapur-sirih* Ayahanda Vanantara. Aku akan meminta para hulubalang mengawal ketat gerbang Aswa. Sesudahnya kau boleh kembali."

Gosha merenung. Bagaimana ia harus menyampaikan pada Yami? Betapa ingin ia hadir, bukan hanya di perayaan, tapi bahkan di seluruh waktu kehidupannya walau usia Pasyu dan Akasha berbeda jauh. Dulu, Gosha masih berharap ratusan tahun usianya masih dapat dipergunakan untuk mendampingi gadis yang dicintainya diam-diam. Sosok yang berada di hadapannya saat ini.

Namun jalan takdir memecah berkeping semua rencana dan impian. Sebagai prajurit, Gosha tak lagi merasa mampu mengemban tugas sebagai panglima. Sebagai laki-laki terhormat Aswa, ia merasa harus tahu diri seberapa jauh kepantasannya untuk berada di samping Yami. Yamivara banna Wanawa putri sulung Raja Vanantara dan Ratu Varesha, pewaris utama kerajaan Akasha Wanawa. Bahkan bila ditakdirkan bersama, Akasha Wanawa dan Pasyu Aswa harus melalui rangkaian panjang izin para pandhita. Sekarang? Para pandhita Wanawa pasti akan langsung menolaknya, apalagi Vanantara.

"Hamba akan selalu berusaha membantu Putri Yami," Gosha berjanji.

"Semua terdengar omong kosong," Yami terdengar sedih dan kecewa. "Bahkan untuk hadir sebentar pun, kau menolak. Bagaimana kau bisa membantuku di lain waktu?"

"Hamba akan membantu Putri Yami untuk menjaga keamanan, mempertahankan Wanawa, mengamankan bilik Putri bersama Prajurit Nami…"

"Aku membutuhkanmu di sisiku, Gosha!"

❄️💫❄️

Di luar bilik, begitu deras airmata Nami mengalir mendengar percakapan itu.

Anak sungai di wajahnya jatuh hingga membasahi dagu. Ia dapat mengerti perasaan Yami dan Gosha, sebab itulah yang sedang dialaminya saat ini. Memiliki hati pada sosok yang sangat sulit untuk dijangkau. Tanpa Nami sadari, satu sosok hadir di hadapannya, melayang ringan dalam tunggangan angin. Jubah kebesaran hijau dalam pakaian lengkap seorang prajurit tinggi.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tegur suara itu.

Nami tercekat, mendehem kecil, sembari menghapus wajahnya yang basah.

Sosok di hadapannya, mengingatkan dirinya sendiri akan runtuhnya keindahan mimpi yang pernah dibangun Panglima Gosha dan Putri Yami.

❄️💫❄️