Bagi Nistalit, tak pernah membayangkan dapat berhadapan dengan seorang raja Akasha yang namanya demikian disegani. Nami selalu menggigil di hadapannya, anehnya tak ingin melewatkan satu kesempatan pun ketika harus menemuinya. Ujian yang disampaikan Vanantara begitu berat. Tapi nasihat yang disampaikan, tak akan pernah terlupakan.
"Jangan pernah malu menjadi Nistalit," Vanantara berpesan. "Biarkan banyak mulut merendahkanmu, tak perlu murka. Keluhuran sikap akan membedakanmu dari apa yang mereka tuduhkan."
Desas desus yang beredar sampai pula ke telinga Nami. Tatapan mata, gerakan tubuh, sikap yang ditampilkan teman-teman Nistalit yang menjadi sesama prajurit terasa aneh. Begitupun Putri Nisha dan para hulubalang serta prajurit Akasha. Hanya Putri Yami yang memperlakukannya dengan baik. Yang paling menyesakkan, tentu sikap Milind. Kadang didapatinya pandangan dingin dan meremehkan, di waktu lain penuh amarah dan kebencian.
"Kau tergesa ingin meyakinkan semua pihak bahwa dirimu benar dan hebat? Untuk apa?" tantang Vanantara. "Mudah terpancing adalah kelemahan seorang prajurit. Yakinlah di mana kakimu berpijak sepanjang kau junjung kemuliaan. Tugasmu melindungi dan berkorban, bukan cari-cari alasan apalagi gila pujian!"
Bila segala resah membuatnya lelah, pertemuan dengan Vanantara dan Garanggati mengobati semua. Pesan kali ini membawa teka teki ketika sang raja mengatakan bahwa untuk beberapa pekan ke depan, Nami tak harus berlama-lama di Giriwana. Ia hanya perlu menyelinap setelah senja, lalu segera kembali ke Girimba malam hari ketika bulan terlihat terang. Tak perlu menunggu tengah malam, apalagi hingga menjelang fajar kembali.
❄️💫❄️
Jawar masih berjaga di bilik putri.
Nami telah kembali ke Girimba, diantarkan Hulubalang Sindu, salah satu kepercayaan Raja Vanantara selain Hulubalang Jawar. Bukan tanpa sebab Vanantara memerintahkan Nami.
"Berkelilinglah," perintahnya.
Beberapa hari tak ada kejadian penting saat pasukan Wanawa dan Nistalit benar-benar menajamkan mata menjaga perbatasan dan lubang-lubang menganga yang ditembus pasukan hitam. Di bawah pusat Girimba menepi ke arah timur, beberapa bilik penting berada, termasuk bilik Gosha. Atas perintah Yami, dibangun sebuah wilayah kecil yang disebut sebagai gerbang Aswa, demi menghormati kedudukannya. Meski tak memiliki benteng sekuat bilik putri, gerbang Aswa terlindung baik oleh dinding-dinding pertahanan dan pengamanan berlapis prajurit Wanawa serta Nistalit.
Nami meminta Sindu tak menurunkannya di bilik putri. Toh, masih ada Hulubalang Jawar di sana, pikir Nami. Ia ingin melaksanakan perintah Vanantara untuk melihat titik-titik penting Girimba. Kepada Sindu, Nami meminta diantarkan berkeliling. Bilik Gosha terlihat terang, tampak tengah menerima tamu walau hari telah malam.
Bulan pucat.
Udara jernih.
Angin berhembus.
Dedaunan dan batang-batang raksasa menjadi pelindung Akasha Wanawa. Samar suara musik dan biduan terdengar lembut.
Tap. Tap. Tap.
Gerakan ringan melayang mencurigakan, mengendap di sisi belakang gerbang. Nami menguntit, berusaha tak terlihat. Sindu, merapat di sebelahnya. Beruntung, pakaian hitam yang dikenakan menyamarkan dalam bayangan malam. Pikiran Nami dipenuhi tanya, apakah prajurit Nistalit yang dipekerjakan di gerbang Aswa tak melihat pergerakan? Benak Nami dipenuhi pertimbangan. Apakah ia terlalu curiga? Atau memang benar-benar sesuatu yang mengancam malam ini berada di gerbang Aswa?
"Hulubalang Sindu, kita harus memeriksa seksama," bisik Nami. "Ada kecurigaan di sekitar sini."
Sindu mengangguk, memegang lengannya, membawanya melintasi gerbang diam-diam. Di saat bersamaan jeritan lirih penjaga Wanawa terdengar. Tubuh tersungkur tertikam. Pasukan Nistalit tampak terkejut, berusaha melawan. Pertarungan cepat terjadi. Gerbang belakang dan depan Aswa terbuka, membawa rombongan pasukan hitam masuk.
Nami berpandangan dengan Sindu, berucap nyaris bersamaan, "Serangan! Kita bantu mereka!"
Pedang Nami membabat segera pasukan hitam.
"Prajurit Nistalit!" teriak Nami. "Berpasangan!"
Nistalit mampu melihat pasukan hitam, Akasha dapat membantu memberikan tunggangan angin. Saat mereka berpasangan, lawan dapat mudah dilumpuhkan. Walau musuh tak terlihat dalam pandangan mata Akasha, suara teriakan dan dentingan pedang beradu gemuruh.
Heaaaaa!
Arrrrggggh!
Trrrrnnnng!
Di tangan Nami, pasukan hitam bertumbangan. Kemampuannya meningkat pesat di bawah asuhan Pandhita Garanggati. Di sisi lain, prajurit Wanawa dan Nistalit pun roboh menghadapi gelombang serangan. Melihat Nami menguasai pertarungan, pasukan hitam membentuk lingkaran mengepung. Ujung senjata berkilauan ditempa cahaya bulan. Berpasang mata menatap kejam ke satu titik dengan satu tujuan : menghabisi segera.
"Majulah kalian!" geram suara Nami. "Kalau kalian punya pemimpin, aku habisi sekalian!"
Nami berputar, mengayunkan pedang. Melepaskan tendangan, melompat lincah. Menghindar dengan gesit dan cepat, menebas leher lawan. Satu lingkaran berhasil dipatahkan. Lingkaran kedua menyusul.
"Prajurit Nami!" teriak Sindu. "Berpasangan!"
Nami mengangguk. Ia meraih lengan Sindu, bergelayut menapak tunggangan angin. Bergerak lebih lincah mengayunkan senjata hingga musuh porak poranda.
"Gila! Mereka benar-benar akan menghabisi gerbang Aswa!" teriak Sindu.
"Kita pertahankan sekuat tenaga!" ujar Nami.
Melihat kehadiran Nami dan Sindu, pasukan penjaga gerbang Aswa yang merupakan gabungan Wanawa dan Nistalit tampak bergairah. Walau kalah jumlah, semangat tempur tak luruh begitu saja. Di tengah-tengah pertarungan sengit, pintu bilik Aswa terbuka. Gosha berada di sana, terlihat marah. Ia meloloskan pedang, bukan lagi tombak kristal seperti biasanya. Melihat Gosha, Nami segera bergegas mendekat, sembari berpegangan pada Sindu.
"Panglima Gosha!" teriak Nami. "Harap tetap di dalam! Biarkan kami yang mengurus semua!"
"Nami??" Gosha terkejut.
Satu senjata terlempar ke arah Gosha, yang ditangkis gesit oleh Nami. Pasukan hitam tampak ganas demi melihat sosok anggun berambut perak. Serta merta Nami menjadi perisainya, menangkis satu demi satu senjata yang terlempar ke arah panglima Aswa.
"Hulubalang Sindu! Kita lindungi Panglima Gosha!" perintah Nami.
Keduanya berjajar, saling menopang, melindungi Gosha sembari menyerang balik pasukan hitam. Senjata beradu. Teriakan terlepas. Tubuh-tubuh roboh. Saat Nami dan Sindu bertarung hebat, sebuah suara berat dan tegas terdengar.
"Berani-beraninya kalian mengganggu kediaman Gosha!"
Nami menoleh ke arah suara, terhenyak.
Milind berdiri di sana. Berdiri tegak, meloloskan pedang Dahat. Matanya terpejam, berusaha membaca arah gerakan. Walau mata Akashanya tak dapat melihat, seluruh tubuh dapat mendengar gerakan musuh yang menyerang. Tebasan pedang Milind menghancurkan seketika satu lapisan penyerang.
Pertarungan berlangsung sengit.
Sindu tak dapat bergerak sendiri, ia harus bertopang pada mata Nami. Walau Milind tampak mampu menguasai pertarungan, bukan hal yang menguntungkan bertarung dengan mata tertutup sepanjang waktu. Gosha pun telah mampu merobohkan beberapa pasukan hitam dibantu Nami, tapi malam ini tak mudah bagi gerbang Aswa untuk bertahan.
"Hulubalang Sindu!" ujar Nami. "Bawa Panglima Gosha merapat ke Panglima Milind! Hamba akan cari pemimpinnya!"
Nami dan Sindu berpegangan, menghalau Gosha menuju Milind. Sesungguhnya, bukan hal sulit bagi Milind untuk menghabisi semua musuh dengan menggunakan kesaktian. Tapi memilah kawan dan lawan tak akan mudah dengan sekali pukulan. Lebih mudah menghadapi Tala hal Vasuki seorang, daripada medan pertarungan yang campur aduk seperti itu.
Nami dan Sindu mengawal Gosha mendekati Milind.
Satu tombak meluncur cepat ke arah kedua panglima, menyasar salah satunya. Mata awas Nami melihatnya, ia melompat menjemput, sembari menendang Sindu agar menjauh. Nahas, pedang Nami tak mampu memotong tombak yang meluncur deras. Tombak itu menghantam tanah, membuat lubang, tercabut lagi oleh penggunanya. Nami bergulingan, nyaris mati tertembus.
"Hulubalang Sindu!" teriak Nami. "Pedang hamba patah!"
"Pakai pedangku!" teriak Gosha.
Milind mendengarnya. Cepat ia menarik satu pedang bersarung yang lainnya, dengan tangan kiri.
"Gunakan pedangku, Nistalit!" teriaknya.
Nami terlihat ragu.
"Cepaaat!" bentak Milind.
Nami bangkit, melompat mendekat ke arah Milind. Menyambar pedang Tanduk miliknya, menyarungkan sarung pelindung di pinggangnya. Tepat ketika ia menghadang ayunan tombak dengan mata pedang yang terhunus di atas kepala.
"Hulubalang Sindu! Cari pasangan Nistalit lain untuk melindungi Panglima Gosha!" teriak Nami.
Nami jelas-jelas harus menghadapi penyerang bertombak yang tampak istimewa. Milind bergerak merangsak pasukan hitam yang bergelombang, sementara Nami memusatkan perhatian pada satu musuh tangguh yang terlihat berbeda.
Pedang Tanduk milik Milind terasa ringan namun sangat bertenaga. Ayunannya memutar angin. Sabetannya menghasilkan jejak tajam di udara. Kekuatannya menambah kekokohan tangan Nami untuk bertahan dan menyerang.
Pertarungan satu lawan satu Nami dan pemegang tombak berlangsung sengit. Arena melingkar seolah terbentuk, mempersilakan keduanya beradu kemampuan. Beberapa kali tombak itu nyaris menyentuh tubuh Nami, untung pedang Tanduk seolah bermata melindungi.
"Malam ini, Gosha akan mati, Nistalit!"
"Kau akan membunuh Panglima Gosha?!" Nami mendengus, "langkahi mayatku terlebih dulu!!"
"Dengan senang hati!" suara itu terdengar menggema, dingin tanpa belas kasihan.
Walau tak dapat melihat sosoknya, suara itu jelas terdengar. Gosha dan Milind terlihat tegang, berseru bersamaan ke arah Nami tanpa sadar.
"Hati-hati!"
❄️💫❄️