Bagi seorang pemimpin, memiliki waktu lapang adalah sebuah kemewahan. Tidur nyenyak nyaris tak didapat sepanjang sibuk memikirkan perkara penting yang menyangkut keamanan seluruh wilayah dan keselamatan rakyat.
Hari-hari di bilik Vanantara tak dipenuhi tarian dan hiburan. Walau sang raja lebih banyak berdiam di bilik pribadi dan mengutus Garanggati untuk menemui para tamu, begitu banyak yang dipikirkan dan dikerjakan. Pekan dan purnama berlalu tanpa terasa.
"Bagaimana pasukan Nistalit, Pandhita Garanggati?" ucapan Vanantara selepas semedi.
"Semakin siap, Paduka. Menunggu ujian terakhir."
"Pandhita mengunggulkan beberapa calon?"
"Ada yang istimewa, ada yang lambat berkembang. Ada yang menurut hamba lebih layak jadi prajurit biasa."
Vanantara merenung sejenak, "Nistalit perempuan itu?"
Garanggati menarik napas pelan, "Dia hanya layak jadi prajurit biasa. Tak ada yang istimewa padanya."
Vanantara menatapnya, mengangguk kemudian.
"Berikan mereka semua cap kerajaan," perintah Vanantara.
Garanggati mengatupkan kedua tangan, tanda siap melaksanakan.
"Siapa yang akan maju ke pertandingan antar wangsa Akasha?" tanya Garanggati.
"Semua calon yang kita punya. "
"Masing-masing kerajaan hanya mengirimkan sepuluh," tukas Garanggati. "Apakah kita mengirimkan tiga puluh?"
"Ya. Boleh jadi mereka lambat berkembang di sini, tapi ketika bertarung di medan sesungguhnya, keunggulan semakin tampak."
Keduanya terdiam.
"Ataukah kita menguji ketigapuluh calon dalam sebuah peristiwa khusus, Paduka?" tanya Garanggati.
Vanantara mengangkat wajah, menatap sosok di hadapannya, "Pandhita memiliki usul?"
❄️💫❄️
Milind menatap surat dari Vanantara dengan seribu tanya. Matanya beralih pandangan ke Hulubalang Wulung dan tiga hulubalang muda yang baru saja diangkatnya untuk memperkuat pertahanan : Gandar, Narpati dan Pilang.
"Paduka akan mengadakan perayaan Andarawina bagi Putri Nisha," Milind berkata gundah.
"Apakah Putri Nisha berulang tahun?" tanya Wulung.
"Andarawina bisa diselenggarakan kapan saja, bukan hanya untuk ulangtahun. Perayaan keberhasilan, perayaan bagi calon prajurit dan hulubalang yang lulus ujian kerajaan," Gandar mengimbuhkan.
"Mungkin, Paduka Vanantara ingin mengadakan pesta kecil-kecilan untuk menghibur kedua putri, Panglima," Narpati urun suara. "Kedua putri bekerja keras sepanjang waktu mereka. Tak sama seperti putri-putri kerajaan lain yang masih memiliki ratu."
Milind menoleh ke arah Narpati, yang tetiba menunduk, merasa bersalah. Memberikan hormat yang dalam. Wajah Milind melunak. Mengapa harus marah pada Narpati? Pikirnya. Ia hanya menyinggung sedikit perihal ratu.
"Bukankah, pesta kecil tak masalah, Panglima?" Pilang berkata. "Kami akan berjaga sebaik mungkin. Rakyat Wanawa butuh sedikit kelapangan dengan kesenangan setelah cukup lama terkungkung dalam ketakutan."
Milind bangkit berdiri.
Menatap bergantian ke arah Wulung, Gandar, Narpati dan Pilang.
"Apakah sebuah pesta kecil, ketika Paduka Vanantara mengundang dua pasang perwakilan dari tiap kerajaan? Dua pasang perwakilan! Bila yang hadir sepasang raja dan ratu, mereka akan membawa setidaknya masing-masing duaratus prajurit terlatih. Bila panglima yang hadir, setidaknya membawa seratus prajurit terlatih. Satu kerajaan akan membawa enamratus prajurit, belum termasuk dayang-dayang dan pelayan. Wanawa akan menerima tamu agung dan pendampingnya sebanyak kurang lebih tujuhribu."
Wulung tetiba sadar mengapa wajah Milind terlihat tegang.
"Bila Mandhakarma menyerang Wanawa saat itu, ketika para raja dan ratu berkumpul, habislah seluruh wangsa," ucap Milind murung.
"Baginda mungkin memiliki alasan tersendiri," Wulung memberikan pendapat. "Apakah Panglima Milind akan menanyakannya secara langsung?"
Milind tampak berpikir keras, menengadah sejenak ke atas, lalu mengangguk.
"Aku akan ke Giriwana secepatnya," ucap Milind.
Para hulubalang berpandangan sejenak.
Wulung memberikan hormat, "Panglima, Paduka Vanantara sedang berkunjung ke bilik putri. Hulubalang Jawar yang tadi mengantarkan surat itu ke mari."
Milind menoleh ke arah semua hulubalangnya.
"Mengapa tak ada yang memberitahuku?" Milind berkata gusar.
Keempat hulubalang membungkuk, memberikan hormat.
"Panglima baru saja datang dari arena pelatihan prajurit, lalu langsung menerima surat dan membacanya. Bertukar pikiran dengan kami segera," Gandar bersuara rendah. "Kami mohon maaf jika tak memberi kabar selekasnya."
Memberi surat, padahal langsung datang ke Girimba, pikir Milind gundah. Mengapa tak memberitahukan secara tatap muka? Apakah Vanantara menghindarinya?
Wulung dan ketiga hulubalang menunggu perintah.
Tak menghadap raja sungguh tak sopan, pikir Milind. Tapi surat itu juga terasa aneh. Tidakkah merupakan petunjuk bahwa raja enggan bertemu? Milind memejamkan mata bersemedi sesaat. Apapun yang terjadi, ia harus menghadap walau kehadirannya tak diinginkan.
Kepada keempat hulubalang, Milind berkata tak perlu mengikutinya ke bilik putri. Bila Vanantara murka, cukuplah dirinya saja yang mendapatkan amarah. Di pintu ke luar, Milind tertegun sesaat. Alangkah tak eloknya menyuruh para hulubalang menghindari sang raja. Walau tak diinginkan, biarlah Vanantara menyadari betapa hormat dan tulusnya pengabdian seluruh bawahannya. Wajah Wulung dan ketiga hulubalang tersenyum mendengar perintah Milind untuk bergabung.
Kelima sosok tegap dalam jubah hijau bergegas menuju bilik putri, yang terletak berseberangan dengan aula Kahayun.
Apa yang tak diduga Milind sama sekali adalah, gerbang bilik putri tertutup rapat.
Di depannya, berdiri tegak Prajurit Nami. Di kanan kirinya, prajurit Akasha dan Nistalit berjajar. Walau jumlah tak banyak, bagai pembatas yang memagari.
❄️💫❄️
"Kudengar Baginda Vanantara berkunjung," Milind berkata tenang dan jelas. "Aku ingin menemuinya."
Nami mengatupkan kedua belah tangan, memberi hormat.
"Baginda memerintahkan tak ingin menemui siapapun, Panglima," sahut Nami sopan.
Milind menatap Nami tajam.
"Katakan, Panglima Milind banna Wanawa ingin memberi hormat pada beliau, Prajurit Nami!"
Nami membungkukkan kepala, mengulang memberi hormat.
"Hamba hanya menyampaikan perintah Baginda, Panglima," Nami berusaha tenang, menahan debar yang menggempur dada.
"Aku tak percaya," Milind menarik garis bibir kanannya sedikit, "pada ucapan Nistalit sepertimu. Tak pernah Paduka Vanantara menolakku!"
Wajah Nami memerah. Ia menggeser tubuhnya lebih ke tengah, benar-benar menghadang Milind.
"Menepi, Nistalit!" bisik Milind geram.
"Hamba mohon, Panglima Milind," Nami mencoba bertahan. "Bilik putri berada dalam tanggung jawab Putri Yami dan hamba diperintahkan menjaganya."
"Nistalit kurang ajar!" bentak Wulung murka, bergerak maju. Milind menahannya dengan gerakan tangan, menghentikan ayunan tangan Wulung yang melayang untuk memukul.
Milind tampak menahan diri sekuat tenaga. Mengatur napas, meredam kemarahan.
"Baik, Nistalit," Milind berkata tenang pada akhirnya. "Kami akan menunggu di sini, berapapun lama waktu yang dibutuhkan."
Angin berhembus.
Selasar luas yang membentang di depan istana putri, ditopang pilar-pilar raksasa berukir. Kayu-kayu yang menjadi landasan penahannya berkilauan tertimpa kemilau cahaya matahari. Tali temali bermantra, jalinan kuat dan indah terpasang di beberapa titik, mengangkat selasar dan jembatan di depannya bertumpu pada pohon-pohon menjulang.
Nami merasakan dahi dan punggungnya berkeringat.
Betapa serba salah dirinya. Perintah Vanantara tak mungkin dibantah, di depannya Milind pun memiliki kuasa untuk menekan prajurit rendah seperti dirinya. Walau berhadap-hadapan seperti itu, Milind tampak tak peduli sama sekali pada keberadaan Nami. Sepasang matanya bertumpu pada gerbang dan pegangan logam berukir yang menjadi pembatas masuk menuju bilik putri.
Jubah dan rambut halus Milind berkibar. Mahkota tipis keperakan menahan anak-anak rambutnya agar tak berantakan. Aroma wangi dedaunan yang begitu dikenal, bercampur basah udara menembus penciuman. Nami meremas hulu pedang, menguatkan diri agar pikirannya tetap tertuju pada tugas yang diemban.
Waktu berjalan.
Milind berdiri tegak, tak bergerak. Wulung dan Gandar di sebelah kanannya, Narpati dan Pilang di sebelah kirinya.
Gerbang terbuka sedikit, meloloskan satu tubuh ke luar.
Jawar tampak tegang dan sedikit pasi, melihat keberadaan Milind. Ia membungkuk memberi hormat pada panglima dan keempat rekannya.
"Paduka memanggilmu, Prajurit Nami," ujar Jawar.
Nami tampak ragu, menoleh ke arah Jawar.
"Panglima Milind ingin bertemu Baginda, Hulubalang Jawar," Nami berusaha menjelaskan. "Apakah Baginda tahu?"
"Ya, Paduka tahu," Jawar tampak serba salah.
Nami menarik napas, menatap Miling sekilas yang tampak tak mempedulikannya.
"Baginda ingin menjelaskan suatu hal pada putri Nisha," Jawar mengatakan. "Butuh kehadiranmu di sana, Prajurit Nami."
Nami mengangguk, memberi hormat pada Milind yang tak menatapnya.
Tubuh Nami menghilang di balik gerbang.
Milind merasakan genggaman tangannya menguat.
Benarkah yang didengarnya : Vanantara saat ini hanya ingin bertemu Nami? Dan tidakkan terlihat bagaimana cara Jawar memperlakukan Nami : begitu hormat dan menjaga diri? Jika saja keempat hulubalang tak bersamanya, Milind akan membalikkan badan dan kembali ke Kahayun. Perkataan Putri Yami benar-benar menampakkan kejelasan terang benderang saat ini.
❄️💫❄️