Mendung tebal. Langit menggelap. Kilatan cahaya bersahutan. Bukan waktu yang nyaman untuk bekerja bagi yang beranggapan cuaca dingin adalah sahabat baik bagi selimut dan bantal.
Silva muncul di tempat kerja Najma. Walau Ragil sama sekali tak punya masalah dengan gadis itu, ia tak dapat menyembunyikan rasa kesal.
"Maafin aku, Mbak Najma, Mas Ragil," Silva terlihat tertekan dan menyesal.
"Lho, emang apa salah kamu?"
"Gegara aku, proyek delapan hektar gagal."
Najma dan Ragil berpandangan.
"Mbak Najma, aku masih punya uang. Aku mau bantuin area penggalian," tegas Silva.
Ragil menggeleng, "Kamu tau gimana marahnya abang kamu, kan? Gak usah cari masalah lagi."
"Aku harus selamatkan Salaka," Silva menatap keduanya bersungguh-sungguh. "Nggak tau kenapa, firasatku bilang kita makin dekat ke sumber jawaban."
Silva memegang lengan Najma.
"Mbak…seumur hidup aku ini dibuang. Gak pernah dianggap ada," mata Silva tergenang. "Baru kali ini, ketemu Salaka sama Candina, aku merasa hidupku ada artinya. Aku bukan cuma anak haram. Hasil najis orangtua."
"Hush," Najma menyangkal. "Ngomong apa kamu?"
Silva menatap mereka berdua bersungguh-sungguh.
"Aku janji, pada diriku sendiri. Setelah kasus Salaka selesai, aku akan perbaiki diriku. Akademisku dan…"
"Nggak usah janji-janji," tegur Ragil. "Perbaikan itu dimulai sekarang, bukan nanti."
"Iya, iya," Silva mengangguk, menunjuk ke ransel dan tas kanvas yang penuh barang. "Tuh, aku ke sini bawa tugas sekolah."
Ada perubahan rencana dengan munculnya Silva. Mereka memutuskan lebih baik bersama. Bukan uang tawaran Silva yang menjadi landasan penerimaan Najma dan Ragil. Walau terdengar sedikit jahat, keberadaan Silva kemungkinan akan menguntungkan mereka. Setidaknya sampai satu patung teridentifikasi dengan baik dan mereka selamat dari kemarahan Rendra.
🔅🔆🔅
Homestay sewaan mereka masih bisa ditempati hingga sepekan ke depan. Najma, Silva dan Ragil segera membongkar peralatan. Melapisi diri dengan jaket dan pelindung.
Hujan turun deras ketika ketiganya baru saja memulai membersihkan tubuh patung. Untung ketiganya membawa jas hujan hingga lumayan hangat di tengah kucuran deras air yang dinginnya menusuk tulang.
"Najma!" teriak Ragil, merasakan keanehan.
Najma dan Silva tertegun. Mereka hanya berdiri.
"Fotokan!" teriak Ragil. "Videokan! Silva, kamu payungi Najma!"
Satu payung melindungi Najma yang gemetar karena dingin dan berdebar, sementara jari jemari Najma kaku memencat tombol untuk mengabadikan momen.
"Hujan tambah deras!" teriak Najma ketika selesai mengambil gambar. "Kita kembali dulu ke homestay!"
Ketiganya setengah berlari menuju homestay yang letaknya lumayan jauh. Terkejut di halaman depan, melihat mobil hitam mewah yang sangat dikenal. Di teras, dua orang menunggu dengan tegang. Najma sedikit mengabaikan, membuka pintu ruang tamu dan melepaskan jas hujan yang telah basah kuyup. Ruang tamu seketika dipenuhi uap panas kemarahan.
"Silva! Aku udah bolak balik bilang…"
"Mas Rendra! Aku udah WA, udah telpon tapi gak bisa nyambung," Silva bersikeras, dengan mata memelas. "Plis…kali ini dengerin aku…"
Ragil tak menghiraukan, menuju dapur untuk membuat teh panas bagi semua. Hawa di luar benar-benar membekukan.
"Aku udah bilang proyek ini selesai!" Rendra berkata marah.
Najma terlihat tegang dan menahan diri.
"Memang proyek ini udah selesai, Pak," Ragil menengahi, mencoba bijak dengan menawarkan teh panas bagi semua. "Kami gak minta dukungan dana Bapak. Mungkin hanya sampai kontrak homestay ini selesai saja. Kami pakai biaya pribadi."
"Pakai duit adik saya?" sindir Rendra.
"Mas Rendra!" teriak Silva.
Ragil menggertakkan geraham, walau menggeleng, "Nggak, Pak."
"Silva!" Rendra mengacuhkan semua, hanya menatap adiknya.
"Mas…sepekan aja," Silva mengatupkan tangan, memohon-mohon. "Mas Rendra gabung di sini sekalian, biar bisa ngawasi kami semua. Jangan hanya mikir bisnis melulu."
"Kamu enak ngomong gitu," ketus suara Rendra. "Kalau butuh uang, apa kamu mikir sumbernya dari mana?"
Silva mundur, mencoba berlindung pada Najma. Sejenak, Najma merenung dan melepaskan tangan Silva. Ia mendekati Rendra, menatapnya dengan tajam.
"Bapak mau ikut saya ikut area penggalian?" tanya Najma.
Rendra tak bereaksi.
"Kalau Bapak pemimpin yang baik, pasti mau meninjau lapangan dengan benar," sindir Najma.
Gadis itu menuju pintu ruang tamu, mengenakan kembali jas hujannya yang basah. Ia mengulurkan jas hujan Ragil kepada Rendra yang menatapnya dengan kaku dan ragu.
"Najma!" teriak Ragil. "Bahaya hujan begini. Aku ikut!"
"Harus ada yang jaga Silva," tegas Najma.
Demi melihat Rendra berkenan mengenakan jas hujan, Najma bergegas membuka payung besar yang dilengkapi dengan penangkal petir. Walau enggan pada awalnya, Rendra menuruti. Untung ia mengenakan sepatu kets walau pakaiannya resmi.
Di bawah curahan hujan, Najma bergegas menembus angin. Ia memayungi Rendra yang jangkung, hingga cukup kesulitan. Terpaksa payung itu berpindah tangan agar keduanya dapat berjalan lebih leluasa.
Najma tak terlalu menghiraukan curahan hujan.
Ia berlari cepat menuju area penggalian, diikuti Rendra yang lincah bergerak. Walau harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk kembali, hati Najma berdegup kencang. Ia harus bisa meyakinkan Rendra kali ini bahwa pekerjaan mereka layak dipertahankan.
Di depan patung yang terbujur tenang, mereka berhenti.
Najma melompat masuk, nyaris tergelincir, kalau ia tak bertopang pada dinding-dinding tanah. Wajahnya mendongak, meminta Rendra mengamati.
"Pak Rendra, lihat ke mari!" Najma menunjuk. "Kemarin, kami sudah mengikis tumpukan lumpur hingga separuh tubuhnya. Sekarang, tumpukan lumpur muncul lagi, mengeras!"
Najma kembali ke atas, berdiri di samping Rendra yang berlindung pada jas hujan dan payung besar. Gadis itu berjongkok, meminta Rendra untuk melakukan hal yang sama.
"Coba Pak Rendra amati baik-baik," Najma berkata. "Lihat patung itu."
Rendra mengamati benda yang ditunjuk Najma.
Sebuah patung yang memejamkan mata.
Tenang. Gurat bibirnya terlihat syahdu. Wajah aristokratnya sungguh menawan dipandang.
Seperti kata Najma, separuh tumpukan lumpur dan lapisan sedimen yang telah melekat selama ratusan atau bahkan ribuan tahun telah dibersihkan hingga separuh badan. Tampaknya, tim penggali berusaha menggelontorkan lapisan penutup dengan cepat karena bagian paha mulai terkoyak.
"Bapak lihat?" tanya Najma. "Bagian pinggangnya?"
"Ya," Rendra berkata, terdengar pelan di antara deras hujan.
"Hujan seperti ini membuat area tubuh di sekitar pinggang mengeras lagi. Lihat, pengerasannya seperti berjalan," tunjuk Najma. "Patung ini seolah hidup di bawah langit dan hujan."
Rendra tertegun.
"Di tangannya, ada apa?" tanyanya.
Najma mengerutkan kening, merasa luput mengamati. Ia meminjam gawai Rendra dan turun lagi ke bawah untuk mengambil beberapa foto.
Patung itu bersedekap. Benar, jemarinya tampak menggenggam sesuatu.
Guntur menggelegar. Langit bercahaya.
Keduanya bergegas ke luar area penggalian untuk segera kembali ke homestay. Najma berlari lebih dahulu, bebas menembus rinai hujan. Sementara Rendra melindungi dirinya sendiri dengan jas plastik pinjaman Ragil sembari membawa payung. Rasanya aneh melihat seorang gadis tampak tangguh sementara lawan jenisnya terlihat manja.
"Najma!" teriak Rendra.
Gadis itu berhenti, menoleh ke arahnya.
"Kamu gak mau payungan?"
Najma tertawa di bawah rinai.
"Hujan bawa rejeki, Pak Rendra!" teriak Najma, berlari cepat menembus tumpahan air langit.
Rendra tertegun sejenak. Menarik napas cepat. Mengapa ia terpesona melihat tawa gadis itu yang terlihat lepas ditengah derai hujan?
🔅🔆🔅
Ragil menggerutu panjang pendek melihat dua orang kembali. Jas hujan tak terlalu melindungi area tangan dan kaki. Ia mengulurkan handuk kering ke arah Najma, mengabaikan Rendra yang tersenyum masam ke arahnya. Silva lah yang mengulurkan handuk ke arah Rendra.
"Ayo, kita cermati foto-foto dan video yang ada," ajak Najma bersemangat.
Ragil membuka laptop.
Supir Rendra yang merangkap bodyguardnya mengingatkan waktu. Asing rasanya ketika mendengar suara berujar, "Aku mungkin di sini dulu sementara waktu. Ada yang harus kuselesaikan. Lagi pula, adikku bandel lagi."
Rendra menatap Silva, tersenyum.
Senyumnya luruh seketika melihat Najma dan Ragil duduk bersisian, bekerja cepat mengurai petunjuk.
🔅🔆🔅