Silva bergelayut dengan manis di lengan Rendra.
"Makasih udah mau bantuin."
Di belakang mereka, Najma dan Ragil menahan napas, berpandangan. Atas anugerah apa mereka bisa sejauh ini? Melaju dengan mobil Rendra setelah merangkum berbagai petunjuk, menuju rumah perlindungan tempat Salaka dan Candina berada.
🔅🔆🔅
Walau tim delapan hektar telah bubar, rumah perlindungan Salaka terasa penuh. Apalagi Bara dan Mawar ikut bergabung kembali. Mereka memasang kabel panjang, meja-meja lipat, tikar. Berbeda dengan homestay yang dulu, kali ini suasana jauh lebih sederhana terlihat.
"Kita urunan bensin," Mawar berkata bangga. "Rasanya gak rela proyek ini lepas begitu aja."
"Ya," Bara mengangguk. "Kayaknya kita terhubung dengan sesuatu. Gakpapa deh korban duit sedikit."
"Korban banyak," Mawar tertawa.
Rendra menepi melihat percakapan yang melemparkan ia ke luar lingkaran. Mengapa hatinya terasa hangat melihat keakraban mereka? Bara membawa dua plastik besar gorengan dan sejumlah nasi bungkus, sebentar saja makanan langsung raib.
Suasana meriah meledakkan tawa.
Bara dan Mawar tampaknya tengah gembira, hingga musik yang dipilih pun mewarnai rasa riang. Mereka berulang kali menyetel lagu Yovie & Nuno, bersama melantunkan tembang patah hati yang ceria.
---
*Tuhan tolong aku
Ingin dirinya, rindu padanya, memikirkannya
Namun mengapa saat jatuh cinta
Sayang-sayang dia ada yang punya
…..
…..
Jatuh cinta pada kekasih orang
Ingin lupa tapi tak bisa*
---
"Ngapain sih dengerin lagu kayak gitu? Mending denger FOB atau BMTH," Ragil menggerutu, menyebut band rock kesayangannya.
"Kita berdua lagi sama-sama patah hati, Mas," Mawar menjelaskan. "Aku sama Bara senasib. Jatuh cinta sama orang yang gak tepat. "
"Yah, aku keduluan sih," Bara terlihat muram, tapi angkat bahu kemudian, berfilosofi. "Makanya, jadi cowok harus gercep."
"Lagian," gumam Ragil, tanpa bermaksud menyindir siapapun, "ngapain suka sama cewek orang lain?"
Bara dan Mawar berpandangan, tertawa kemudian.
"Kerja, kerja, kerja," Najma memukul pelan kepala Bara dan Mawar dengan gulungan kertas. "Mana tau dapat investor lagi."
Rendra yang mengamati semua, terdiam sesaat, lalu beranjak pergi.
"Mas mau balik?" Silva berkata.
"Aku kan kerja, Sil. Kalau udah ngurusin kamu, banyak banget yang tertunda," Rendra menjelaskan. "Makanya kamu yang bener dong, sekolahnya."
"Aku janji," Silva tersenyum, mengantar Rendra ke arah mobil.
"Silva!" Candina berseru. "Mbak Najma akan menunjukkan sesuatu! Penting!"
Silva menatap Rendra, seolah meminta dukungan agar ia tak pergi. Melihat Silva menarik lengannya, mau tak mau Rendra menguntit kembali masuk ke rumah sederhana itu.
Mereka duduk bersila, menatap laptop-laptop yang bertengger di atas meja lipat. Walau seadanya, tak mengurangi semangat.
Foto-foto dan video di tengah hujan.
"Siapa yang ngambil ini?" tanya Mawar.
"Najma," sahut Ragil, sembari membesarkan dan mengecilkan resolusi.
"Sama siapa?" tanya Mawar lagi.
"Pak Rendra," Ragil menjawab malas.
"Wah, hati-hati lho," kata Mawar.
Bara menggumamkan lagu 'Merindu Lagi' dengan fasih.
---
*Tuhan tolong aku; Ingin dirinya, rindu padanya, memikirkannya
Namun saat mengapa saat jatuh cinta; Sayang-sayang dia ada yang punya*
---
"Bisa gak sih, gak usah nyanyiin lagu itu?" sentak Ragil.
Mawar mengedipkan mata. Masih lagu Yovie & Nuno, suara Mawar yang lumayan merdu terdengar melantunkan 'Dia Milikku'.
---
*Kamu tak akan mungkin mendapatkannya; karena dia berikan aku pertanda cinta
Jangan kamu banyak bermimpi; dia untuk aku*
---
Ragil menatap Mawar yang cekikikan dengan galak.
Rendra melipat tangan, menahan napas. Sosok yang paling membuatnya alergi di ruangan ini justru menduduki posisi penting sebagai ketua tim peneliti.
"Guys! Guys!" teriak Najma. "Lihat layar mas Ragil!"
Tawa geli sengaja ditahan. Semua memusatkan perhatian. Najma meminta Ragil mengulang-ulang bagian tertentu beberapa kali. Salaka terpana menatap tayangan itu, matanya tak berkedip.
"Kamu lihat?" Najma menatap Salaka. "Patung itu kembali berlapis sedimen, atau pelapis, atau entah apa ketika hujan turun. Kamu ngerti maknanya?"
Salaka mengerutkan kening.
"Apakah cuma saat hujan?" tanya Salaka. "Apakah waktu lain kejadiannya sama?"
"Aku ingin ke sana selain hari hujan," ungkap Najma.
"Mbak Najma bisa ke sana saat siang terik?" Salaka menatapnya dalam.
"Menurutmu, harus siang terik, begitukah?" Najma balas menatapnya.
Rendra yang berdiri, bersandar di kayu pintu, membuang muka ke tempat lain. Kenapa teman Silva pun menatap Najma dengan pandangan menyebalkan?
"Ya, aku pikir perlu dilihat di siang terik," Salaka menegaskan.
Najma memperlihatkan foto-foto dan rekaman saat hujan deras. Ia menoleh ke arah Silva yang berdiri di sisi Rendra.
"Ini keahlianmu, Silva," Najma tersenyum ke arahnya.
Salaka menoleh ke arah Silva, ikut tersenyum.
Rendra dan Silva, entah mengapa menjadi gugup, tanpa disadari.
"Pak Rendra yang menjumpai kalau patung itu memegang sesuatu. Kita belum memeriksanya seksama karena hujan sangat deras," Najma menjelaskan. "Kamu punya mata jeli."
Silva duduk di sisi Salaka yang tengah mengamati seksama.
"Dia seperti memegang sesuatu," gumam Silva. "Menggenggam, menarik, mencengkram?"
Semua menjulurkan kepala mendekat ke arah tampilan layar.
"Apa itu seperti …biji-biji tasbih?"
"Kalau gitu, dia bukan bangsawan? Seorang penasihat keagamaan?"
"Coba dilhat apakah bentuknya mirip permata, mutiara atau sejenisnya. Atau batu-batu, potongan kayu-kayu."
"Kalau jumlahnya banyak, ukurannya panjang seperti kalung; kemungkinan sebuah jimat yang dipegang ahli agama."
"Kalau sedikit? Tahunya banyak atau sedikit, bagaimana?"
"Coba lihat cara dia mencengkramnya. Atau memegangnya. Seperti erat, kencang, kuat banget atau kayak apa?"
"Atau seperti menggenggam sesuatu. Menggenggam sesuatu yang…berharga?"
Salaka berdiri tetiba, membuat terkejut semua. Ia menyingkir, berjalan cepat menuju kamarnya. Walau pintu itu dibuka dan ditutup dengan pelan, jelas ada tumbukan tenaga. Salaka tak dalam kondisi gembira.
Najma dan Silva berpandangan.
Mereka berdua berjalan ke arah kamar Salaka, mengetuk pintunya.
"Salaka, ini aku Silva. Kamu nggak papa?"
Tak ada jawaban.
"Salaka," Najma ikutan memanggil. "Apa kami salah ngomong?"
Candina berdiri di antara mereka, wajahnya gundah.
"Dia ingin sendiri sepertinya," desah Candina.
Hening. Semua tak ingin berbicara.
"Kalau kamu berharap aku harus segera ke penggalian, aku akan ke sana," tegas Najma. "Semoga hari ini terik."
Pintu terbuka.
Salaka berdiri di sana, tampak tenang.
"Kalau Mbak Najma ke sana, aku ikut," tegas Salaka.
Alis Candina naik.
"Salaka?" desisnya. "Kamu bahkan tidak bisa lebih jauh dari enamribu hasta! Ke sana akan mengantarkan nyawa!"
"Aku bisa ke sana, tapi tak lama," Salaka berkata.
Semua terlihat tegang.
"Aku akan pikirkan caranya," Salaka berjanji. "Aku tak akan membahayakan diriku dan semuanya."
"Kalau begitu, harus kita pikirkan matang-matang," Ragil menengahi. "Aku sendiri nggak tahu apa kekuatan dan kelemahanmu. Tapi kejadian tempo hari di waktu malam, bukti kalau kamu dan Candina pasti sosok hebat. Aku dan Najma gak akan bisa menghadapi musuh sebanyak itu."
"Mas Ragil dan Mbak Najma juga hebat," Salaka memuji tulus. "Tanpa bantuan kalian berdua, aku dan Candina pasti sudah mati malam itu."
Rendra menunduk, mengamati lantai rumah yang terbuat ubin kuno warna kelabu. Ubin itu terlihat masih halus, walau banyak tercungkil di sana sini. Mendengar kata-kata Salaka menamparnya tanpa sadar.
Apa yang sudah dituduhkannya kepada Najma dan Ragil? Mereka tak bermoral?
"Kalau kalian butuh sesuatu, bilang saja," Rendra buka suara. "Aku mungkin nggak bisa ngasih dana segar, tapi kendaraanku bisa dipakai."
Najma menatap ke arahnya. Berpasang-pasang mata menatap takjub.
"Aku akan minta driver atau asistenku untuk mengantarkan mobil ke sini," Rendra berkata acuh. "Aku harus segera pergi. Ragil sepertinya bisa menyetir lancar."
Rendra menatap ke arah Ragil sejenak, yang mengernyitkan dahi.
Najma bergumam tanpa suara, "wow!"
Silva, tampak cerah dan gembira, mengantarkan Rendra menuju mobil. Najma menguntit di belakang.
"Terimakasih, Pak Rendra," ucap Najma sopan.
Rendra tak menyahut, ia menatap Silva.
"Kamu jangan nakal-nakal. Kalau pingin lari dari Javadiva, jangan jauh-jauh dari tim delapan hektar."
Najma mengulum senyum. Tanpa sadar mengamati mobil mewah itu melaju meninggalkan mereka, lalu pandangannya tertumbuk pada jam tangan murah miliknya. Celana panjang dan baju kerja berdebu yang menempel di tubuh. Ada sesuatu yang berdesir tetiba di hati.
🔅🔆🔅