Warga desa hanya menyebutnya angin ribut, ketika pagi yang segar itu mereka harus membereskan pekarangan dan beberapa pohon yang rusak disebabkan angin semalam. Rasi telah dibawa ke rumah sakit, mendapatkan pertolongan pertama dengan Bara sebagai penunggunya.
"Aku harus menunggui Rasi," Najma menggumam, mencermati gawainya yang dipenuhi berbagai urusan.
"Kenapa?" tanya Ragil, sembari membereskan ransel dan mengenakan jaket.
"Orangtuanya sedang di luar negeri. Slow response. Hanya pembantunya yang jawab," jawab Najma prihatin.
"Javadiva sekolah anak-anak berduit. Banyak yang kayak sengaja dibuang di situ," Ragil menjawab.
Najma membuat beberapa kontak.
"Naj," tegur Ragil.
Najma mengabaikan.
"Najma!" Ragil memanggil keras.
Najma mendengus pelan, menatap layar gawai.
"Nggak semua harus kamu urus sendiri," Ragil memberi masukan. "Sudah ada pembantunya yang akan ngurusi Rasi."
"Apa kamu nggak punya perasaan, sih?" Najma menggumam. "Anak itu celaka karena kita. Kita harus tanggung jawab. Orangtuanya juga gak ada di tempat. Aku mau ke sana."
Ragil baru akan membuka mulut ketika Salaka muncul di antara mereka.
"Mbak Najma mau ke mana?" tanyanya.
"Menunggui Rasi."
"Nasib kami bagaimana?" Salaka menatapnya lurus.
Najma tertegun. Candina pun demikian. Tak biasanya Salaka terlihat lemah seperti itu.
"Ada Mawar. Ada Silva. Ada Candina juga," Najma menjelaskan pelan, sedikit ragu. "Aku akan menyuruh Bara ke mari nanti. Kalau mas Ragil gak bisa, aku bisa minta tolong anak-anak penggalian untuk bantu kalian di sini. Rumah ini masih bisa dipakai sebulan ke depan."
"Kami butuh bantuan orang-orang seperti Mbak Najma," Salaka berkata, "โฆjuga mas Ragil. Silva pun sangat membantuku. Tapi tentu tak cukup kalau hanya Silva."
Najma menatap Salaka heran, "oh, oke. Aku usahakan malam ke mari."
"Gila kamu," Ragil mendengus. "Naik apa? Motoran dari tempat kerja? Kamu tahu butuh tiga jam sampai ke mari."
"Dua jam kalau ngebut," Najma meralat.
"Dua jam? Kamu tuh lewat jalan yang banyak truk sama container, Naj! Jangan nekat."
Salaka menatap Najma dan Ragil bergantian. Bunyi mobil yang baru tiba mengejutkan mereka.
๐ ๐๐
Silva terhenyak.
Sarapan hangat tersedia baginya. Ia celingukan, menatap makanan itu bingung.
"Buatku aja, Mas? Yang lainnya?"
"Biar mereka beli sendiri," Rendra berucap tajam. "Cepat makan, ikut aku."
"Ha?"
"Aku ada penerbangan siang ini. Jadi, segera selesaikan sarapan, supaya aku nggak telat meeting dan telat flight."
Silva tertegun. Meninggalkan Salaka dan permasalahan besar di sini?
"Aku nggak ikut, Mas. Aku harus tetap di Javadiva."
"Javadiva bukan di sini! Javadiva ada di tas bukit sana, bukan di kampung bawah begini."
Wajah Silva mengeras.
"Silva," Najma menyeruak. "Turuti saja kata-katanya. Aku sama mas Ragil akan coba atasi semua."
"Nggak! Mbak Najma gak bisa!"
"Ssst!" Najma memberi isyarat diam kepada Silva.
Rendra menatap Najma sekilas.
"Kamu harus fokus sekolah. Gak usah lagi bantu-bantu Najma dan Ragil. Kalau kamu gak fokus, kehidupanmu bisa rusak kayak mereka," sindir Rendra.
Najma menarik napas, menahan diri. Beraharap Ragil tak mendengar bagian itu.
"Aku meminjamkan semua assetku bukan utk seperti ini,"
"Seperti apa?" Najma mencoba tenang. "Bisa Pak Rendra jelaskan?"
"Sepertinya aku juga harus narik investasi dari penggalian tim delapan hektar," Rendra berkata datar.
Najma menelan ludah. Ia dan teman-temannya baru separuh jalan.
"Apa maksud Mas Rendra?" Silva bertanya.
"Kamu gak usah ikut-ikutan!"
"Mas tahu gak, sih! Tadi malam mbak Najma dan mas Ragilโฆ," Silva terceletuk dan tak bisa meneruskan.
"Kenapa tadi malam sama meraka," Rendra menukas, tampak tak peduli kemudian, "gak ada urusan sama aku."
"Pak Rendra," Najma mencoba bernegosiasi, "kalau saya salah, saya sungguh minta maaf."
Rendra membuang pandangan.
"Tapi investasi tim delapan, saya harap tetap berjalan," Najma memohon dengan sopan.
"Sorry, aku udah gak minat lagi."
"Pak, ini bisa saja jadi proyek profitable..."
"Masih banyak proyek yang bisa buat untung besar."
"Atau ini sumbangsih Bapak buat pelestarian sejarah Indonesia!"
"Nanti saja dan gak harus proyek ini!" tegas Rendra tanpa ampun.
Najma menatap Rendra hampa. Terbayang tim delapan hektar yang sangat penuh semangat. Para peneliti, pekerja penggalian, adik-adik mahasiswa magang yang mendapatkan tambahan penghasilan dari proyek tersebut. Bukan proyek yang sangat prestisius dengan imbalan besar, tapi jujur saja, investasi Rendra membuat semua yang terhubung di sana dapat bernapas lega. Setidaknya, pengganti uang bensin dapat membuat hidup berjalan lebih lancar. Tak banyak orang yang bersedia mengeluarkan uang untuk proyek sejarah seperti ini.
"Najma," Ragil menyela. "Gak perlu ngemis kayak gitu. Kita bukan orang yang gak punya harga diri."
Rendra mengulurkan telapak tangannya, "Mana kunci mobil saya?"
"Mas Rendra!" Silva memekik pelan. "Apa-apaan ini?!"
Ragil tersenyum kecil, seolah meremehkan. Ia memberikan kunci mobil yang dipinjam mereka untuk melarikan Salaka dari Javadiva.
"Sudah sejak awal kuduga, kerja sama dengan anak orang kaya yang cuma ngerti duit buang-buang waktu kita aja," tegas Ragil.
"Setidaknya, saya cukup punya moral," Rendra tersenyum.
Tangan Ragil terkepal kuat.
Najma menggertakkan geraham.
Salaka mencoba menengahi.
"Pak Rendra, betul begitu?" ucapnya sopan. "Mengapa anda tidak duduk dulu dan kita bahas baik-baik?"
Rendra menatap tajam pemuda di depannya.
"Kamu siapa?"
"Salaka."
"Teman Najma juga?"
"Ya."
"Pantas Najma gak jawab kalau saya telpon atau whatsapp," Rendra menggumam.
"Maksud Bapak apa?" Ragil maju selangkah ke depan.
"Hei, hei," Najma menengahi. "Mas Ragil, katanya mau ngantor. Berangkat dulu aja. Naik ojek online bisa kan?"
Silva menyela, "Gak ada. Aku udah coba. Gak ada yang mau ke tempat terpencil kayak gini. Kita harus antar Mas Ragil."
Ragil menggeleng, menatap lurus ke arah Rendra.
"Aku lebih baik jalan kaki. Daripada naik mobil mahal yang rasanya gak pantas kunaiki," Ragil berkata tenang.
"Mas Ragil!" Najma mengingatkan untuk tak menambah minyak ke dalam api.
Salaka tampak tersudut.
"Mbak Najma, aku minta maaf sudah merusak hubungan Mbak," ucapnya.
Najma menoleh ke arahnya. Anak ini bicara apa? pikirnya.
"Kenapa Mbak tidak jelaskan hubungan sebenarnya dengan mas Ragil kepada pak Rendra?" tanya Salaka.
Najma melotot.
"Salaka!" batinnya berteriak. "Kamu itu beda generasi, beda dimensi, beda universe kali, ya!"
Apa yang dikatan Salaka semakin memperuncing situasi.
Ragil pun menoleh ke arahnya, tak paham, "Kamu diam aja, deh!"
Rendra terdiam.
Ragil terdiam.
Silva terpekur kebingungan menatap orang-orang di sekelilingnya.
Rendra menarik lengan Silva paksa, setengah menyeret ke luar.
"Mas Rendra! Tenang dikit, kenapa? Kenapa harus ngamuk-ngamuk kayak gini?"
"Kamu itu harusnya sekolah. Sekolah! Bukan keluyuran kayak gini. Sudah berapa kali kamu ke luar dari sekolah, ha? Mau dikeluarkan lagi dari Javadiva?"
Tubuh tegap Rendra tak sepadan dengan kemungilan Silva.
"Aku gak mau balik Javadiva! Aku gak bisa!" teriak Silva, setengah menangis
"Kenapa gak bisa?!"
"Akuโฆ," Silva menatap mata Rendra yang berkilat marah. Apakah abangnya akan percaya tentang hal-hal buruk yang dialaminya?
"Pagi ini aku antar balik kamu ke Javadiva!"
"Apa?" Silva terbelalak. "Itu tempat berbahaya buatku!"
"Bahaya kalau kamu terus-terusan bareng Najma dan teman-temanmu yang gak bisa bantu kamu fokus sekolah!"
๐ ๐๐
"Mbak Najma," Salaka berkata, setelah Rendra benar-benar membawa Silva pergi. "Jangan khawatir. Ada Cadar Perak yang akan bantu Silva di Javadiva. Kucing dan elang di sana, juga bukan hewan sembarangan. Kita akan jemput Silva lagi nanti."
Najma menarik napas pelan, merasa lega mendengar kata-kata Salaka.
"Aku ingin bicara berdua dengan Mbak," Salaka berkata.
Ragil, Bara dan Mawar saling berpandangan. Mereka ke luar rumah sebentar, memberikan ruang privasi kepada Najma dan Salaka.
"Mbak harus bicara terus terang kepada pak Rendra," ucap Salaka.
"Ha?"
"Tentang perasaan Mbak."
"Ngawur kamu! Kamu ngomong apaan sih?" Najma tertawa walau kesal.
"Mbak harus temui pak Rendra."
"Kenapa kamu ndesak terus, sih?"
"Suatu saat aku akan cerita. Tapi Mbak temui pak Rendra dulu. Lagipula, ia bisa menolong proyek purbakala kita."
Najma tersenyum di bagian itu : proyek purbakala kita.
๐ ๐๐