Walau Ragil menolak keras bagaimana Najma ingin menghadap Rendra, kata-kata Salaka benar-benar merasuk : proyek purbakala kita.
Untuk mewujudkan tujuan besar, seringkali harus mengesampingkan egoisme dan keinginan merasa benar sendiri.
Najma beberapa kali mencoba menghubungi Rendra via pesan pribadi ataupun mencoba panggilan yang hanya dicobanya tiga kali. Lebih dari itu, ia harus tahu diri.
Pesan singkat dari Rendra lumayan melegakan.
"Ada cafรฉ dekat bandara. Kutunggu di sana. Aku cuma waktu limabelas menit."
Najma menghitung uang gaji yang masih dimilikinya. Tak mungkin naik motor ke bandara. Masih ada cukup untuk bolak balik naik mobil ojek daring. Ia tak sempat mengganti pakaiannya yang berdebu. Jilbabnya berbau matahari. Celana dan sepatunya dipenuhi bercak tanah.
Rendra telah menunggu di sana, dengan pakaian eksekutif yang membuat Najma merasa jarak status mereka terlalu lebar untuk bisa bicara akrab. Luna ada di sana, mendampingi.
Najma tersenyum gugup. Basa basi berlangsung sebentar.
"Luna sedang menyiapkan cek, untuk kamu cairkan. Biaya tim delapan hektar sebelum dibubarkan."
Benar-benar tak ada jalan diskusi. Rendra bahkan enggan memberi kesempatan Najma bicara. Padahal bukan hanya penggalian purbakala yang ingin dibahas. Najma ingin berdiskusi tentang Silva.
"Jangan jadikan Silva sebagai alat bagimu untuk melancarkan proyek," Rendra seolah dapat membaca pikiran Najma, walau tak tepat sangat.
"Apa maksud Pak Rendra?"
"Silva rapuh. Dia senang perhatian. Kamu tahu itu. Tapi gak usah ajak-ajak dia lagi untuk ikut proyekmu," Rendra menegaskan. "Your next project, I mean. Proyekmu yang kali ini anggap saja selesai."
"Ini belum selesai!" tegas Najma. "Itu yang ingin saya bahas."
"Aku nggak ingin membahasnya lagi."
"Ini berkaitan dengan Silva, Pak Rendra."
"Gak usah bawa-bawa adik saya!" Rendra mengganti kata aku dengan saya, untuk lebih menegaskan jarak posisi mereka.
Najma menunduk, jemarinya gemetar menatap cek di tangannya. Ingin rasanya merobek kertas itu, kalau saja tak ingat wajah-wajah tim penggalian yang penuh semangat.
"Kalau ada apa-apa, kontak Luna. Gak usah kontak saya langsung. Paham?"
๐ ๐๐
Kembali bekerja.
Kembali ke kehidupan yang biasa.
Waktu semakin sempit, harapan terlihat buram. Ragil terpaksa memberitahukan tim bahwa penelitian purbakala terpaksa harus dihentikan untuk sementara waktu.
Najma demikian murung. Silva telah kembali ke Javadiva, hanya sendirian. Sonna masih harus merawat Bhumi walau sebentar lagi boleh pulang dan mereka berdua kembali ke Javadiva. Ruang Nirvana benar-benar telah dirobohkan, digantikan oleh rencana gedung yang baru. Tampaknya, Gayani dan Nagina belum dapat menemukan bongkahan perak di celah Dahayu yang disembunyikan Salaka. Kekuatan mantra prajurit perak dan Salaka tak begitu saja mudah ditembus.
Terkait Silva, kekhawatiran Najma bukannya tak beralasan. Sendirian, dikelilingi kejahatan tersembunyi tanpa bantuan siapapun, Najma nyaris tak bisa bernapas membayangkan Silva harus menghadapi musuh sendirian. Walau Salaka berkata bahwa Cadar Perak tak akan membiarkan Silva celaka, tetap saja pikiran Najma kalut.
"Biarkan Silva kembali ke Javadiva untuk beberapa saat," Salaka memutuskan. "Kita harus merancang langkah berikut benar-benar matang."
Di desa yang tersembunyi, Salaka dan Candina menyisih untuk sementara waktu. Ragil dan Najma, sesekali menemani untuk bertukar pikiran walau sejauh ini belum ada kata sepakat.
Kepada tim penggalian, berita yang menyesakkan terpaksa disampaikan.
"Kita akan menutup area penggalian," Ragil mengumumkan.
Ternyata tak cukup Najma yang merasakan kegundahan. Bara, Mawar dan semuanya merasa sedih dan kecewa. Bukan hanya karena kehilangan penghasilan, lebih kepada kehilangan harapan akan penemuan besar.
Najma tampak merenung dalam.
"Aku akan tetap jalan terus," Najma bergumam.
"Maksudmu?" tanya Ragil.
"Aku mau terus meneliti sampai sekelesai."
"Yakin?" Ragil meragukan. "Gak bakal diusir?"
"Ya, jalan terus aja sampai menthok. Sampai gak bisa nembus lagi. Sampai bener- bener buntu," Najma menarik napas.
"Kalau ada tuntutan hukum?"
Najma menarik napas, "Moga gak sampai segitunya."
"Kamu harus bayangkan kalau ada orang yang bisa tega sama pihak lain."
Najma terdiam.
Ia menatap Ragil.
"Aku pingin bawa Salaka sama Candina ke area penggalian. Mereka harus lihat sampai sini."
Ragil menggeleng-gelengkan kepala, "Ngajak Salaka? Mustahil!"
"Aku sedang mikir gimana caranya," Najma memutuskan.
Tak ada masalah yang mustahil diselesaikan. Yang terjadi lebih kepada hilangnya semangat dan keinginan untuk meneruskan atau mencari penyelesaian.
Berapa kali sudah mereka terhalang seperti ini?
Tak pernah ada proyek purbakala yang bekelimpahan dana. Tak seindah film Jurrassic Park di mana milyarder Hammond berkenan membiayai penelitian Alan Grant dan Ellie Sattler. Atau si peneliti sekaya Lara Croft dalam Tomb Raider, yang mampu membiayai semua proses gila pencarian artefak harta karun. Banyak penelitian gagal di tengah jalan, meninggalkan tim yang depresi dan akhirnya beralih haluan ke pekerjaan lain. Lebih sering terjadi, peneliti adalah sosok miskin yang terpaksa ambil jurusan arkeologi karena tertolak di jurusan lain yang lebih bergengsi.
Najma menatap tim penggalian delapan hektar yang tengah berbenah. Merapikan kertas-kertas, melepas kabel, menyimpan laptop. Homestay base camp mereka akan segera ditinggalkan.
Kekosongan.
Ketakberdayaan.
Kemarahan.
Najma masih memikirkan sesuatu yang akan ia gunakan sebagai senjata pamungkas untuk melawan Rendra. Ya, ia harus lakukan sebagai bentuk kebulatan tekad.
๐ ๐๐
Najma menemui Luna.
Menghantarkan uang bagian miliknya. Menitipkan pesan bagi Rendra bahwa ia tak butuh uang โwalau tentu sangat butuh untuk bermacam biaya terkait penggalian โ tetapi ia ingin mendapatkan izinnya untuk meneruskan penelitian di penggalian untuk sementara waktu. Rendra perlu tahu, ada banyak hal di atas dunia ini yang tidak bisa ditakar dengan uang.
Seorang buruh penggali , Najma minta untuk menemaninya membersihkan patung besar yang tengah tertidur. Separuhnya telah selesai dibersihkan, meski belum sempurna. Bagian bawahnya masih sama sekali tak tersentuh. Bila dikerjakan manual akan butuh waktu lama. Hanya orang-orang dengan keahlian khusus seperti Salaka, Candina dan Silva yang bisa membantunya lebih cepat. Tapi bagaimana cara melibatkan mereka?
Yang penting teruskan saja, pikir Najma. Pasti ada jalan.
"Kamu memang gak mau menyerah ya, Naj," gerutu sebuah suara, melompat mendekati.
Najma menoleh, tersenyum. Ragil ada di sana.
"Jangan bilang kalau Mas Ragil juga gak bisa ngelepasin ini semua dengan gampang," tebak Najma.
Ragil mendengus.
"Ayo, kita selesaikan patung ini. Bagian lain bisa kuabaikan, tapi patung ini benar-benar bikin penasaran," gumam Ragil.
Najma tertawa. Sembari sibuk menggunakan berbagai alat untuk melepaskan bongkahan tanah keras yang menutup patung tersebut, mereka merancang beberapa langkah.
"Aku berpikir Salaka akan bisa mengenali patung ini," gumam Najma. "Pasti ada manfaatnya."
"Aku juga mikir gitu. Tapi mustahil bawa patung ini ke dia kan?"
"Atau kita foto aja patung ini, termasuk bagian-bagian detilnya?"
"Gak maksimal kalau gitu," gumam Ragil. "Tapi boleh dicoba."
Najma tertegun tetiba.
"Mas Ragil, tentang orang-orang di Kotagede yang disebutkan Silva, apakah bisa kita mintai tolong? Atau minta petunjuk?"
"Salaka melarang kita menemui mereka," Ragil mengingatkan.
Najma mengangkat wajahnya, "Salaka nggak selalu benar. Asalkan mereka gak tau keberadaan Salaka, semua akan aman kan? Aku punya firasat para tetua di Kotagede yang paham bahasa simbol, akan bisa mengenali siapa patung ini."
Ragil tampak berpikir.
"Aku akan temui Salaka, dan memperlihatkan dia bagian-bagian patung ini, kamu ke Kotagede," ujarnya memberi perintah.
๐ ๐๐