Najma mengambil beberapa barang dari dalam tasnya.
"Masih ingat kejadian beberapa waktu lalu?" Najma berbisik. "Silva melepaskan artefak perak pada Vlad dan Cristoph. Aku mengambil beberapa benda di dalamnya."
"Memang benda apa itu?" Ragil mengerutkan kening.
"Aku nggak tahu. Tapi pasti sebuah senjata untuk melawan."
Najma menyerahkan satu kepada Ragil, mengambil satu untuk dirinya sendiri.
"Hati-hati," kata Najma. "Tajam banget. Pegang ujungnya dengan balutan kain!"
Ragil mengangguk.
"Kita ke luar?" tanya Ragil.
"Ya. Tapi kita gak seperti Salaka dan Candina. Kita nunggu di teras, duduk bersila, menjalani tirakat terbaik kita untuk gak tidur malam ini. Kalau ada angin cepat berhembus mendekat, senjata ini kita arahkan ke sana."
Najma memberitahukan Silva dan Mawar untuk tetap di tempat.
"Aku mau ikut!" Silva berkata.
"Jangan!"
"Kenapa?"
"Silva, dengar," Najma memegang pundaknya. "Di zaman dahulu, para prajurit bertarung dan para pandhita tetap di tempat mereka bersemedi. Kekuatan batin para pandhita melindungi para prajurit. Aku mau minta kamu sama Mawar tetap di kamar ini. Pejamkan mata. Bersihkan hatimu! Jaga aku dan mas Ragil di luar sana. Kami juga gak bertarung seperti Candina dan Salaka. Tapi membantu mereka untuk bertarung lebih kuat lagi!"
๐ ๐๐
Ragil dan Najma mengambil tempat duduk berseberangan, masing-masing berada di kanan dan kiri teras rumah yang terbuat dari kayu.
Hembusan angin semakin deras berputar, menghantam atap-atap rumah. Menggedor pintu-pintu dan jendela hingga kaca serasa berderak. Beberapa rumah dengan pertahanan tipis, tampak mulai mengalami kerusakan. Kaca retak, bahkan berkeping.
"Salaka!" Candina berteriak pelan. "Mbak Najma, mas Ragil juga!"
Salaka, yang tengah menghadapi amukan Barbaljag, menatap Najma dan Ragil dengan tegang.
Apa yang dilakukan mereka? Memancing kematian? pikir Salaka panik.
"Lindungi mereka!" Salaka berteriak.
Candina mengangguk, diikuti beberapa Cadar Perak. Melompat ke arah Najma dan Ragil.
Hembusan angin lembut berputar di sekeliling. Dengan mata tertutup, Najma dapat merasakan hawa bijak berada di sekelilingnya.
"Sejarah memang berulang!" Barsadu tertawa lantang. "Dua orang itu akan mati mengenaskan di tanganku!"
Barsadu menggandakan diri.
Candina tampak panik.
"Percaya padaku, Candina," bisik Najma, terasa dekat di telinga. "Aku bisa merasakan gerakan musuh! Menyingkir, atau beri petunjuk."
Candina sibuk menghadapi pasukan hitam, pasukan tingkat rendah Dubiksa berikut golongan Barsadu yang memiliki tanda merah di belakang punggung. Senjata dapat seketika muncul dari balik punggung.
"Hati-hati!" teriak Candina.
Barsadu melompat mendekat ke arah Najma. Berusaha menusuknya dengan senjata, tangan Najma terangkat ke atas, menepis. Menahan. Gerakan dingin dan bengis berusaha menembus, Najma mengayunkan senjatanya ke arah lawan.
Clap.
Clap.
Eiiiirrrrrh.
Senjata di tangan Najma mengenai musuh. Satu Barsadu yang terkejut, tak menyangka mendapatkan serangan balasan, berteriak menjemput ajal. Melihat keberhasilan Najma, Candina tersenyum lebar. Merasakan kekuatan mulai berpihak kepadanya.
"Mbak Najma! Aku di depanmu. Percaya padaku!"
Salaka tertegun sesaat. Melihat Candina dan Najma bertarung beriringan dan tampak sebagai pasangan serasi yang kokoh dan melengkapi, ia mulai memutuskan hal yang sama. Salaka melesat ke arah Ragil, berdiri di sampingnya.
Golongan Barsadu dan Barbaljag serentak maju, diikuti pasukan hitam. Cadar Perak mampu mengimbangi pasukan hitam dengan baik, di bawah pimpinan Dirya, asap hitam dari tubuh-tubuh yang tumbang membumbung naik. Barsadu bergerak merangsak Candina yang dapat dipatahkan dengan baik oleh senjata dalam genggaman Najma. Satu demi satu Barsadu tersungkur di tangan Candina dan Najma.
"Mundur! Beri tempat buatku!" Barbaljag berteriak.
Wajah hitam bertopengnya tersenyum, sejurus kemudian ia mengubah tubuh menjadi sosok Ragil yang tampak sangat serupa. Berdiri di depan, menghunus senjata yang mirip dengan milik Ragil. Salaka mencoba tenang.
"Aku tahu kau palsu," ujarnya.
Ragil Barbaljag bergerak maju, merangsek, mengayunkan senjata berkali-kali yang dapat ditepis dengan baik oleh keris di tangan Salaka. Beberapa kali Ragil Barbaljag menyerang dengan gencar namun kelenturan dan kekuatan Salaka dapat sangat baik mengimbangi. Semakin tak sabar, musuh mengubah haluan.
Candina tetiba berdiri di depan Salaka, lengkap dengan senjata bandul perak.
Candina asli, tersenyum. Ia tahu, Salaka tak akan mudah diperdaya dengan tampilan-tampilan semacam itu. Pengalamannya menjaga dinasti selama ratusan tahun, membuatnya mengenali betul-betul siapa lawan siapa kawan.
Candina Barbaljag bergerak gesit, menyerang bengis, berteriak dengan kata-kata kotor.
"Matilah, Pangeran Budak!" teriaknya.
Bahkan dari kata-kata yang dilontarkan, Salaka langsung tahu bahwa musuh di depannya sama sekali bukan Candina.
"Aku akan membunuh kekasihmu ini dulu!" geram Candina Barbaljag menyerang Salaka dan Candina bersamaan.
"Hati-hati," Salaka berbisik. "Dia akan membuatmu marah dengan kata-katanya."
"Jangan khawatir," sahut Candina dengan wajah merah padam. "Aku bisa menahan diri."
Kemarahan Candina Barbaljag mengerikan.
Bandul peraknya merontokkan pepohonan, permukaan tanah dan bebatuan. Beberapa tiang rumah turut retak terkena sabetannya. Salaka dan Candina bertahan dengan baik dari serangan musuh. Di belakang mereka, Najma dan Ragil tetap waspada. Menyadari perubahan rupa ke arah Candina tak menghasilkan keuntungan berarti, Barbaljag mengubah strategi.
Perlahan tubuhnya menjelma Najma.
Tentu, Salaka dapat mengenali mana yang asli dan mana yang palsu. Najma asli tengah duduk tenang, memejamkan mata sembari memegang kuat senjata. Najma Barbaljag tampak kejam dan bengis, dengan raut muka yang membuat Salaka ingin menamparnya. Kata-kata yang ke luar, membuat Salaka terhenyak.
"Kita selalu terhubung dengan takdir, bukankah begitu Salaka?" Najma Barbaljag berkata. "Kau terhubung dengan kekasihmu, kau terhubung dengan pemuda bodoh di belakangmu. Aku tahu nama-nama mereka! Dan apa hubunganmu dengan gadis yang tengah berada di belakangmu?"
Salaka mengatupkan geraham.
Najma dan Ragil tak dapat mendengar percakapan itu, namun Candina mulai melihat perubahan di wajah Salaka yang tampak tegang.
Angin dingin sejenak berhenti bertiup. Udara berjalan tenang.
"Aha, aku tahu," Najma Barbaljag tertawa. "Kau terlihat sangat ingin melindunginya!"
"Candina, minggir!" Salaka melompat ke tempat Candina, memerintahkan gadis itu untuk berpindah ke arah Ragil. Sigap Candina mengikuti perintah, berjaga dengan bandul rantai perak di depan Ragil yang terpejam namun waspada.
Tenang dan gemulai, Najma Barbaljag mengayunkan senjata, sebuah benda mirip keris namun lebih tipis dan panjang. Mirip panah namun terlalu lebar dan tebal. Mirip keris Salaka, namun lebih tipis dan pipih, dengan kelok tak banyak yang lebih lembut lekukannya.
Salaka menahan gempuran dengan kekuatan penuh, mengejutkan Najma Barbaljag dan membuatnya tertawa ketika lengannya bergetar.
"Kau kelihatan marah sekali!"
Candina tertegun.
Belum pernah dilihatnya Salaka seperti itu. Bereaksi dengan cepat dan menunjukkan perubahan raut wajah yang tak dapat disembunyikan.
"Aku dapat menebak siapa nama teman-temanmu di sini," tawa yang membangkitkan amarah. "Candina, kekasih lamamu. Silva, Mawar, Bara di dalam sana. Ragil, pemuda di belakang Candina. Seorang lagi yang tengah sekarat, Rasi namanya."
Candina memucat mendengarnya.
"Dan, apa aku perlu menyebut nama gadis di belakangmu?"
Salaka menghela napas pendek, maju dua langkah untuk menyerang dengan cepat, "Aku akan membungkam mulutmu, Barbaljag!"
Najma Barbaljag tertawa penuh kemenangan.
Menangkis dengan pelan dan kuat.
"Salaka, hati-hati! Jangan terpancing! Ucapannya hanya bohong!" seru Candina.
Salaka, tak menggubris. Ayunan keris dan tendangannya bagai badai menyerang musuh. Najma Barbaljag pun harus waspada bila tidak ingin hanya menjadi jejak asap.
Suara ambulan dengan lampu terang benderang tiba.
Walau pertarungan itu masih bisa berlangsung, waktu menjelang memasuki fajar bukan saat yang tepat bagi pasukan Dubiksa. Jeda antara dini hari dan fajar adalah lorong berbahaya bagi Dubiksa ketika banyak manusia yang terbangun dan menajamkan mata hati.
"Mundur!" teriak Barbaljag.
Najma Barbaljag mengubah kembali ke wujud asli.
Sebelum ia dan pasukannya kembali, suaranya menitipkan pesan.
"Pasti gadis itu yang memaksamu menyelamatkan Rasi! Coba tebak, apa pekerjaannya?"
Salaka berusaha mengejarnya, namun Candina menahan erat lengannya.
"Apakah dia pemecah batu, wahai Salaka, Pangeran Para Budak?!"
๐ ๐๐