Udara yang pekat dan menyesakkan terasa berbeda malam itu.
"Candina, sebagian pasukan Dubiksa akan menyisir," Salaka berkata. "Kau dan Pasukan Perak harus bertahan. Selamatkan penghuni rumah ini, apapun yang terjadi."
"Mereka seharusnya tak boleh berada di sini," Candina menyesalkan. "Sangat menyulitkan."
Salaka menggeleng, "Kita akan lihat, apakah perkataan Najma dan kawan-kawannya benar. Bahwa mereka bisa membantu kita bertahan."
"Apa yang akan kau lakukan kalau malam ini, anak buah Dubiksa yang terkuat dari golongan Barbaljag muncul?" Candina terdengar sangat khawatir. "Sebagian Cadar Perak tetap melindungi Dahayu. Kita kekurangan jumlah."
"Kalau kalian butuh bantuan, aku akan turun tangan."
"Jangan sembarangan pergunakan kerismu, Salaka," pinta Candina.
Salaka tak menjawabnya.
🔅🔆🔅
Bagi mata awam, gerakan angin malam hari hanya perjalanan udara melintasi tekanan yang berbeda. Pucuk-pucuk dahan, lengan-lengan ranting, dedaunan rontok, jeritan hewan malam adalah bahasa alam yang tak mengandung makna kecuali bagi yang memelajarinya.
Barsadu, Dubiksa dengan baju hitam dan warna belakang merah sementara Barbaljag yang mengenakan pakaian separuh hitam dan merah ; muncul malam itu. Dugaaan Salaka benar. Anak buah terkuat Dubiksa muncul. Barsadu memiliki persenjataan tak terduga yang disimpan di belakang punggungnya. Barbaljag bagi Salaka adalah yang paling mengerikan – ia dapat meniru siapapun.
"Kalian tak punya tempat persembunyian lagi?" Barsadu mengejek. "Mengapa tidak bertahan di Javadiva? Menikmati kematian pelan-pelan."
"Malam ini, teman-teman kalian akan kami pilih secara istimewa untuk bertemu maut," Barbaljag berkata kejam.
"Tak perlu banyak cakap!" Dirya, pemimpin Cadar Perak bersiaga. Balwan, pemimpin lain Cadar Perak tetap bertahan di Dahayu untuk menjaga ruang rahasia tempat bongkahan perak tersembunyi.
Barsadu bertarung menghadapi Dirya dan pasukannya; sementara Barbaljag mencoba melumpuhkan dari sisi lain. Pertarungan berjalan sengit. Percikan senjata, denting suara logam beradu, pukulan dan tendangan berjalan silih berganti. Pusaran angin di sekeliling desa meningkat tajam. Daun pintu dan jendela berdebam, pohon-pohon menggugurkan ranting rapuh. Beruntung, tak satupun penduduk desa ke luar. Sepertinya, kehidupan desa yang sangat berbeda dengan kehidupan kota menguntungkan posisi Cadar Perak. Bila masih banyak penduduk berkeliaran, tentu sangat sulit menghadapi pasukan Dubiksa walau entitas mereka tak terlihat.
Barbaljag memisahkan diri dari rombongan.
Bergerak menuju rumah yang ditempat Salaka dan teman-temannya. Melihatnya, Dirya berusaha menghalangi walau Barsadu tak mengizinkan.
Di depan rumah, Candina telah menanti bersama pasukan lain Cadar Perak.
"Dasar anak manusia!" bentak Barbaljag. "Kau akan mati hari ini!"
Pertarungan bandul perak dan pedang Barbaljag tak terelakkan. Candina sangat lincah menghadapi musuh, sebaliknya, Barbaljag pun gesit melawan. Salah satu sumber kerepotan adalah ketika Barbaljag tetiba berganti rupa menjadi Cadar Perak untuk mengelabuhi mata, walau jika diamati teliti mata Cadar Perak dan Barbaljag sangat berbeda. Mata prajurit Salaka bersinar jernih dan bening, sementara mata Barbaljag merah dengan bola hitam. Walau beralih rupa, matanya tetap berbeda.
"Hati-hati, Candina!" teriak Dirya mendekat.
🔅🔆🔅
Najma dan Ragil berjaga sejak dini hari.
Mereka berusaha tenang, duduk bersila. Menenangkan pikiran dan memusatkan pada suara-suara batin. Salaka berada di kamar, sendirian. Ragil memilih di ruang tamu, beserta Rasi dan Bara. Najma, berada di kamar bersama Mawar, mendampingi Silva yang terlihat gelisah.
"Aku bisa dengar teriakan Candina," Silva mondar mandir. Tubuhnya gemetar. "Kenapa aku gak boleh ke luar?"
Najma menatapnya, "Cobalah patuh pada siapa yang memimpin di sini. Salaka meminta kita tenang. Jangan sembarangan."
"Tapi gimana kalau Candina terluka?" Silva khawatir. "Mbak Najma bisa dengar?"
Najma menggeleng.
Silva gusar, "Makanya Mbak Najma gak khawatir seperti aku!"
Najma menyuruh Mawar dan Silva duduk di bawah, di dekatnya. Ia menatap dua gadis di depannya bersungguh-sungguh.
"Kalian tahu konsep tirakat, Silva, Mawar?" tanya Najma.
Kedua gadis menggeleng.
Najma menjelaskan singkat namun rinci.
Tirakat adalah konsep Jawa yang mengajarkan teknik menahan hawa nafsu, menahan diri dari berbagai hal bersifat merusak. Banyak makan, banyak tidur, banyak bicara. Lewat jalan tirakat, hati yang bening didapat. Pendengaran dan penglihatan lebih tajam.
"Aku memang nggak seperti Candina atau Salaka," Najma menjelaskan. "Aku juga gak selalu punya mata batin tajam. Tapi ada saat-saat tertentu, keahlian seperti itu kita butuhkan banget."
Jangan banyak bicara. Jangan banyak makan. Jangan banyak tidur. Itu yang mereka lakukan malam itu. Hanya mendengar, dengan hati yang tenang dan sibuk berdoa. Tajamnya pikiran membantu tepatnya pilihan yang harus diambil.
Ketergesaan hanya akan membengkokkan jalan pikiran, menimbulkan penyesalan yang dalam.
"Aku gak bisa dengar," kata Najma. "Tapi aku bisa merasakan sesuatu."
Angin bersiut tajam di depan rumah.
Di belakang rumah.
Di atas atap.
Suara berat dan menghantam berulang.
"Siapa yang bikin berisik, sih? Gangguin aja!" Rasi, yang tengah asyik bermain game di depan laptop sembari menggunakan headset, tetiba meluap amarah begitu saja. "Malam-malam begini bikin masalah!"
Matanya nyalang. Tubuhnya memang lelah, pikirannya penat. Hatinya dikacaukan banyak hal hingga tak tersisa tempat kosong untuk menghimpun kekuatan. Ia membanting headset, berlari ke arah pintu dan membukanya. Ragil dan Bara terkesiap, mencoba menahan tapi terlambat.
Candina yang tengah menahan serangan Barbaljag, terkejut melihat Rasi membuka pintu. Wajah kejam di depannya tersenyum senang, tangannya terulur cepat, berbelok menyerang Rasi yang tampak dikuasai luapan kemarahan. Mata Rasi terbelalak, seolah menangkap bayangan melayang ke arahnya. Hanya sekilas, diikuti hetnakan angin berputar kuat. Tubuh pemuda itu terbanting ke lantai.
"Rasiii!" teriak Candina.
Ragil dan Bara bersegera menarik tubuh Rasi ke dalam, sembari menutup pintu cepat sekuat mungkin. Panik, Ragil membaringkannya di lantai. Tak ada sofa di ruang tamu sederhana itu. Hanya tikar daun pandan tergelar, selain beberapa kursi rotan sederhana. Mengapa Rasi tak mau mendengarkan? Mengapa ia sibuk dengan laptopnya, permainannya, dan lagu-lagu cadas yang membuatnya terjaga sepanjang malam? Seharusnya di saat seperti ini ia mempersedikit tidur dan lebih banyak berkontemplasi. Musuh-musuh mereka bukan sosok sembarangan.
"Mas Ragil?" Bara terlihat cemas.
"Dia mungkin pingsan. Beri bantal dengan jaketmu," ujar Ragil, berusaha tenang.
"Kita harus ngapain?"
Ragil menarik napas, "Panggil Najma."
Najma, yang hadir tak lama kemudian, berjongkok di dekat Rasi.
"Kita harus panggil ambulans," Najma merenung. "Ini di luar kendali kita."
"Tapi dia tadi ke luar, terkena semacam…," Bara tak bisa menjelaskan. "Berarti ini bukan bersifat manusiawi. Apakah tetap perlu dokter? Apakah tidak sebaiknya kita bantu dia sadar dengan…dengan…"
"Dengan mantra? Doa?" Najma menukas. "Kita hidup di alam manusia, Bara. Kalaupun penyebabnya di luar nalar, tetap saja pertolongan pertama tetap hal yang masuk akal."
Ragil segera mengontak pertolongan.
Satu sosok melangkah mendekat.
"Kalian tidak bisa menolongnya," Salaka berkata pelan. "Barbaljag, pasukan Dubiksa yang melakukannya."
Najma menatap Salaka tajam.
Ragil tampak ragu meneruskan.
"Mas Ragil, cepat!" perintah Najma.
"Kalian tidak akan bisa menyelamatkannya," Salaka menegaskan.
Najma mendekati Salaka, menatapnya teguh, "Kita tidak akan berhenti kecuali sudah berusaha, Salaka."
Salaka menatap Najma terpekur.
"Atau kalau kamu punya cara menyelamatkan dia, kenapa gak kamu coba?" tantang Najma.
Salaka menarik napas.
"Kalian juga tidak bisa membantuku," Salaka berkata kemudian. Ia memejamkan mata, menarik sebilah keris berkelok dari balik bajunya. Seiring keris itu muncul, wujud Salaka yang selama ini tampak seperti mereka, perlahan berubah.
Wajah dan tubuhnya tetaplah sama, pakaian yang dikenakannya tampak indah dan berkilau, dengan lukisan yang menunjukkan simbol-simbol rumit. Ia melangkah ke luar pintu, bersiap menghadapi pasukan Dubiksa.
"Bara, segera gantikan mas Ragil untuk mengontak ambulan. Pastikan ambulan sampai tepat waktu, kamu dampingi dia!"
Bara mengangguk.
"Kita harus ngapain?" Ragil kebingungan.
Najma menoleh ke arahnya.
"Ayo, kita bantu Salaka!"
"Gimana caranya?"
Najma tersenyum.
🔅🔆🔅