Nirvana.
Jantung seni di Javadiva.
Tempat pecinta musik, gambar dan tari berkumpul.
Tepat di tengah-tengah – tempat mereka yang menuangkan gagasan dalam bentuk goresan dan warna – ruang Dahayu yang dipoles ribuan warna warni goresan cerita menunggu untuk dibungkam.
Di belakang punggung Najma yang berjalan paling depan, Silva dan Sonna berpegangan tangan. Mereka telah mengontak Rasi sebelumnya, tapi tampaknya baterai Rasi habis dan ia tak menemukan cara untuk menambah daya. Beruntung, Rasi sempat memberikan beberapa patokan tempat ruang asrama putra yang merupakan bangunan kuno.
"Kita sudah selesai berkeliling," pegawai Javadiva, lelaki berbaju hitam yang mengamati tetamunya dengan gelisah.
Najma mengeluarkan satu amplop cukup tebal. Menyelipkan di tangannya.
"Ini…?"
Najma mengedipkan mata, memberikan isyarat bahwa mereka ingin di tempat itu lebih lama.
"Nanti saya dipecat, Mbak," ia terlihat ragu.
"Kami nggak akan lama, Pak. Gak sampai satu jam," Najma berjanji. Kalau mengenal uang, berarti ia manusia, pikir Najma senang.
Sayangnya, Najma terlalu cepat bergembira. Lelaki itu menerima uang dengan senang, menyeringai kemudian. Tampaknya ia memang benar-benar manusia, dengan tambahan tenaga iblis yang nyaris tak terdeteksi.
"Salakaaaa!" Silva mulai panik.
Va mitva zaal bav. Veraddikteva yoga. Sarava ogya! Vera thar anya lave!
Silva mencoba untuk melemparkan mantra, sesuatu yang tak disangka oleh Najma. Sia-sia meminta Silva untuk bersabar dan menunggu aba-aba kapan harus bergerak! Walaupun panik dan jengkel, Najma berusaha mengontrol diri. Tidak mudah menjadi Silva yang merupakan tumpuan banyak orang. Ia pasti ingin semuanya segera tuntas berakhir.
🔅🔆🔅
Para lelaki di sekitar Nirvana yang tampak seperti buruh, bergerak berbaris.
Merapat.
Menjadi pagar agar Najma dan teman-temannya tak bergerak maju. Melihat perawakan dan gerakan mereka yang lentur kuat, mau tak mau rasa cemas merayapi seluruh dinding hati Najma dan teman-temannya.
Najma bergerak ke arah Silva, berbisik, "Yakinkan dirimu ya, Sil. Berdoalah."
Silva mengangguk. Menarik napas, mengucapkan mantra kuno yang telah dipelajarinya. Gerombolan lelaki berbaju hitam itu seperti mendengar panggilan untuk berkumpul, menggeram, menoleh ke arah penyebut mantra.
"Aku…aku harus gimana?" Silva kebingungan.
"Bara, Mawar!" perintah Najma. "Aku mau cari Salaka. Kalian bantu Silva hadapi setan-setan itu!"
Enak saja, pikir Bara panik. Menghadapi setan bukan perkara mudah! Namun Najma telah melesat, menuju lorong-lorong bangunan yang mulai rontok. Nirvana yang ternyata bersebelahan dengan sebuah asrama kuno yang diperuntukkan bagi siswa cowok senior, mulai menggeletar.
"Salaka! Rasi! Bhumi!" teriak Najma.
Dua lelaki hitam mengejarnya. Menarik paksa lengannya dengan ganas. Najma tertarik, terjerembab. Gadis itu meringis kesakitan, melepas sepatu haknya yang runcing. Menyabetkan ke kedua penyerangnya dengan kuat.
"Jangan main-main kalian sama cewek yang biasa ngangkat batu!" teriak Najma marah.
Walau ayunan Najma bukan berasal dari orang yang terlatih bela diri, mau tak mau penyerangnya berpikir ulang untuk sembarangan melabrak.
"Rasiiii!"
Mengapa tak terdengar jawaban?
Apakah mereka…?
Jangan-jangan…!
Seribu prasangka buruk melintasi benak. Najma buru-buru menepis.
Pikiran negatif hanya akan melemahkan harapan dan memperlambat kepastian! Bergerak saja, terus bergerak dengan keyakinan. Kalau gagal, bukankah itu lebih baik daripada hanya terus menerus berpikir dugaan?
Secara serabutan mereka memanggil Salaka. Candina. Rasi dan Bhumi. Hasilnya hanya keributan yang memusingkan. Perkelahian dengan para lelaki berbaju hitam pun berlangsung tak main-main. Mereka bergerak meringkus, mengayunkan lengan-lengan yang kuat. Menendang dengan kaki-kaki yang kokoh. Satu-satunya lelaki dalam kelompok mereka hanyalah Bara! Ragil masih tetap di dalam mobil karena kondisinya yang belum memungkinkan untuk ikut mengalami benturan keras.
Bara dan Mawar, tentu tak dapat menangani semua serangan sendirian.
Najma yang tengah kerepotan menghadapi dua orang penyerangnya mulai kewalahan.
"Silva! Cepat ucapkan mantramu!"
"Aku sudah coba!" teriak Silva. "Gak punya pengaruh apa-apa!"
"Ucapkan lagi keras!" teriak Najma terengah.
Va mitva zaal bav. Veraddikteva yoga. Sarava ogya! Vera thar anya lave!
Para penyerang terlihat terkejut.
Mundur sejenak ke belakang, tampak bingung, namun segera bersatu untuk menyerang Najma dan Silva.
Bara mulai berteriak.
"Mbak Najma! Aku kewalahan!"
Mawar pun tampaknya demikian. Hanya berbekal seadanya alat untuk memukul dan bertahan, mereka jelas bukan tandingan yang sepadan untuk kelompok baju hitam yang jelas-jelas memiliki kekuatan melebihi manusia.
🔅🔆🔅
Silva berkali-kali mengucapkan mantra.
Hasilnya, ia makin menggigil dan musuh makin menggila.
"Mbaaak? Gimana kita?"
"Mundur!" Najma berteriak.
"Apa?" Sonna membelalakkan mata. "Mas Bhumi belum ketemu!"
"Nanti kita pikirkan lagi!"
Silva dan kelompoknya terdesak. Jangankan untuk memikirkan Salaka, ke luar dari pertarungan itu pun seolahh mustahil. Musuh mengurung, membentuk lingkaran. Hampir saja kelompok kecil yang nekat itu menemui kegagalan telak ketika tetiba bayangan melayang.
Cookies, pikir Silva dan Sonna.
Elang jawa!
Seekor kucing lucu yang tampak mengganas. Burung yang menukik tajam, menghalau gerombolan baju hitam.
"Mbak! Kita harus bergerak masuk!" teariak Sonna, merasa bahwa kucing dan elang yang membantu mereka memberi kekuatan lebih.
Najma tampak tagu.
"Ayo, Mbak!" teriak Sonna.
Dari semuanya, tentu Sonna yang paling bersikeras menembus Nirvana, selain Silva tentunya. Bhumi satu-satunya keluarga Sonna yang masih tersisa. Tanpa berpikir panjang, Sonna menarik lengan Silva, makin masuk lorong asrama tua yang diduga menjadi tempat persembunyian Salaka.
"Silva, ayo ucapkan mantra!" pinta Sonna.
Silva merasa berkunang, mual, tubuh bergetar. Tangannya menegang.
Najma berlari di belakang mereka.
"Ayo, terus," pinta Sonna berkaca.
Bayangan Bhumi yang terluka mengacaukan benaknya.
Terus, Silva.
Terus!
Silva menceracau.
Mantranya tak karuan.
Cookies dan burung kewalahan. Bara dan Mawar mulai terhuyung.
Najma memburu tubuh Silva yang melemas dan tegang.
Silva mengulang mantra susah payah.
Najma iba melihatnya.
Bibirnya ikut mengulang mantra Silva, berbisik di telinganya.
"Ayo, Silva," bisik Najma, lembut. Menguatkan.
Di lorong depang, Cookies mencakar dua penyerang.
Elang menghajar tiga penyerang.
Mereka terbanting.
Bara dan Mawar terhempas ke tanah.
Najma membisikan mantra ke telinga Silva.
"Kuatkan dirimu, Sil," Najma berkata lembut dan kokoh.
Bibir Silva dan Najma mengulang kata yang sama.
Sonna berjongok, meminta Silva menguatkan diri.
Tanpa sadar bibir Sonna mengikuti kata kata Najma.
Ketiganya berpandangan. Najma menggenggam tangan kanan Silva, Sonna menggenggam tangan kirinya. Tubuh krnang Silva mulai lentur. Walau berdiri tegang, ia dapat bergerak.
Para penyerang menuju ke arah Silva.
Satu pintu kamar membuka tetiba.
Bersama mobil menyeruak kencang ke tengah mereka, merusak sedikit bangunan dan menabrak para penyerang sebagian.
"Cepaaat!"
Candina di dalam ruangan terkejut. Salaka pun demikian. Rasi dan Bhumi yang pucat terkesiap.
"Candina? Ikut kami!" Najma berteriak.
Salaka menolak.
Geram, Najma mencengkram tangannya.
"Kalau kau mau menyelamatkan wangsa-mu, Salaka, ayo ikut kami!"
Salaka tampak tegang, bingung untuk bertahan atau menuruti kata-kata gadis di depannya.
Ragil tak sabar.
Para penyerang maju kembali, kali ini mengubah lengan-lengan menjadi cakar tajam. Candina mengayunkan bandul perak, menghalau. Senjatanya berputar cepat, menimbulkan suara angin
"Salaka!" Najma menatap pemuda di depannya tajam. "Ribuan tahun yang lalu, Akasha dan Pasyu menyerahkan kepercayaan pada Nistalit. Leluhurmu mempercayai kami. Apa sekarang kamu masih meragukan kemampuan manusia mengatasi rintangan?"
Salaka tampak terkejut mendengarnya. Sorot matanya redup sesaat, ia menggertakkan geraham kemudian.
Pintu mobil telah terbuka. Sonna menarik Rasi dan Bhumi masuk.
Candina melawan para penyerang.
"Bara! Mawar! Bawa Salaka masuk!" teriak Najma.
Najma memerintahkan Silva dan Sonna bertahan sejenak di luar, membantu Candina.
Bersama ketiganya mengucapkan mantra kunci : Va mitva zaal bav. Veraddikteva yoga. Sarava ogya! Vera thar anya lave!
🔅🔆🔅