Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 215 - Mantra Silva (3)

Chapter 215 - Mantra Silva (3)

Dua kepentingan berbenturan. Mana yang harus dipilih duluan?

Menyelamatkan Salaka atau Bhumi? Keluar lebih jauh dari Javadiva akan membunuh Salaka, membiarkan Bhumi tanpa pertolongan akan membuatnya mati.

"Selamatkan saja Bhumi!" Salaka menegaskan.

Candina menatapnya khawatir.

"Tinggalkan kami di sini, Mbak Najma," Candina memutuskan. "Kami tidak mungkin ke luar dari Javadiva lebih dari enamribu hasta."

Silva menggeleng, gemetar. Mereka harus selamat bersama-sama.

"Pasti ada yang bisa kita lakukan!" Najma berpikir keras. "Kita gak mungkin meninggalkan Salaka dan Candina, atau memaksa mereka keluar dari jalur aman!"

"Ayo, cepat!" seru Ragil. "Aku harus ngebut! Naj, kamu biasanya banyak akal!"

Di belakang mereka, tampaknya tak ada yang berniat mengejar.

"Apa mereka nggak bisa naik mobil?" Ragil bertanya.

"Tidak," Candina mengiyakan. "Tapi malam nanti, mereka pasti akan bertindak ganas."

Mobil itu terasa sesak diisi para pelarian. Untung, mobil besar Rendra dapat memuat tubuh-tubuh yang berhimpitan.

"Kita nggak mungkin meninggalkan Salaka dan Candina," Silva berkata.

"Kalian harus segera selamatkan Bhumi! Dia tidak akan bertahan lama tanpa pertolongan!" Salaka bersikeras.

Berpikir.

Berpikir.

Berpikir.

Berpikir keras, tambahkan doa dan harapan dalam rumus!

"Hei!!" Rasi berkata mengagetkan. "Aku tahu!"

Ragil mengerem mobilnya mendadak.

"Mas Ragil!" kata Rasi. "Kita memutar kembali ke Javadiva!"

"Apa???!!"

๐Ÿ”…๐Ÿ”†๐Ÿ”…

Bhumi telah dilarikan ke rumah sakit terdekat, tanpa Candina dan Salaka. Ragil menurunkan sebagian penumpang di tempat yang ditunjukkan, melaju menuju rumah sakit untuk menurunkan sebagian penumpang yang lain. Mereka berbagi tugas : Najma akan mengawal Silva, Ragil akan membantu Bhumi.

Rasi menunjukkan kepada Silva dan Najma sebuah tempat yang mengejutkan.

"Aku dan Bhumi suka melarikan diri dengan beberapa teman dari Javadiva," Rasi berkata. "Ada desa di dekat sekolah kami. Gak terlalu banyak yang tahu, tertutup hutan jati dan pepohonan kapuk randu. Penduduk desanya juga gak terlalu banyak."

Rasi menyapa akrab pemilik sebuah rumah sederhana. Mengatakan bahwa ia dan teman-temannya akan menyewa rumah itu selama beberapa waktu ke depan. Beralasan bahwa mereka perlu melakukan penelitian untuk tugas-tugas sekolah.

Beruntung, pemilik rumah mengatakan ia memang mengosongkan rumahnya untuk sementara waktu karena harus mengunjungi saudara di kota.

"Bukan kamar senyaman di Javadiva, tapi lumayan," Rasi berkata. "Ada dua kamar yang bisa dipakai. Kamar mandi tradisional dan dapur juga ada."

Salaka tampak pucat dan lelah. Candina pun demikian. Mereka duduk sejenak di ruang tamu dengan kursi yang terbuat dari jalinan rotan. Hawa rumah sederhana itu demikian tenang dan damai.

"Kalian harus istirahat," Najma berkata.

"Mbak juga harus istirahat," Silva menyela. "Mbak keliatan capek banget."

Najma menggeleng, tertawa, "Aku udah biasa angkut batu. Udah biasa nggali-nggali. Kadang, harus berkelahi juga sama orang."

Salaka menatap Najma seksama.

"Najmaโ€ฆ," panggilnya.

"Salaka," Silva menegur pelan, "kamu harus biasakan pakai kata 'mbak'. Mbak Najma. Itu lebih sopan."

Candina mengangguk, "Ya."

"Kenapa?" Salaka mengerutkan kening.

"Ia yang paling tua di antara kita," Rasi berkata ringan, menghempaskan tubuh di kursi yang langsung berbunyi.

"Paling tua?" Salaka meragukan itu.

"Turuti saja kata teman-temanmu," kata Najma ringan. "Aku yang paling tua. Atau yang kelihatan paling tua. Meski kenyataannya nggak begitu. Iya gak, Salaka?"

Salaka terdiam.

Apakah Najma tahu bahwa ia bukanlah manusia kebanyakan seperti teman-temannya saat ini? Pikir Salaka. Usianya lebih panjang dari Candina, namun ketahanan tubuhnya tak sama dengan mereka yang normal. Mengingat Silva sangat dekat dengan Najma dan sangat mempercayainya, boleh jadi kisah hidupnya telah diketahui Najma dengan baik.

Ada sesuatu dalam diri Najma yang ingin diketahui Salaka.

Baginya, segala yang terhubung memiliki makna : manusia, alam, waktu dan kejadian. Mereka tidak dipertemukan begitu saja. Rangkaian pesan rumit, pertanyaan yang tak dimengerti dan jawaban yang menanti untuk diurai; tengah menunggu titik didihnya.

"Kenapa Mbak Najma angkat-angkat batu?" tanya Salaka sopan.

Najma menatapnya aneh.

"Yaaa, gak murni angkat-angkat batu sih. Itu cuma kebiasaan aja karena aku suka bantu bantu Mas Ragil di penggalian. Aslinya aku kerja di kantor cagar budaya. Melestarikan arsip-arsip. Manuksrip kuno salah satunya. Makanya aku bisa mengetahui bahasa lama yang mungkin sudah gak dikenali lagi. Atau sudah musnah."

Salaka menyimak.

"Kenapa kamu nanya-nanya. Ada yang aneh?" Najma melontarkan kalimat.

Salaka terlihat gugup. Tersenyum kemudian.

"Tidak. Tidak ada yang aneh. Mbak Najma mengingatkanku pada seseorang."

Najma tersenyum, "Siapa?"

Salaka termenung. Wajahnya menunduk dengan gurat sendu.

"Bila ada waktu cukup, nanti aku ceritakan semua," bisik Salaka.

Najma mengamatinya.

Pemuda kuno yang aneh.

Ahya, pemuda purbakala yang ganjil. Bahasanya demikian baku. Logatnya asing. Pengetahuannya tentang dunia modern nyaris nol, tapi ia banyak paham hal-hal yang irrasional.

"Apa yang terjadi kalau kamu ke luar lebih dari enamribu hasta?" tanya Najma ingin tahu.

Salaka menarik napas panjang.

"Tubuhnya akan hancur," kata Candina. "Kekuatannya melemah bila jauh dari Javadiva."

"Kamu...sudah pernah mencoba?" Najma tampak ragu.

Salaka dan Candina mengerutkan kening.

"Mana berani, Mbak?" Silva menukas. "Itu bahaya banget."

"Darimana kamu dapat informasi itu?"

"Para tetua kami yang menyampaikannya."

"Kamu...percaya?"

"Ya."

"Gimana kalau berita itu gak benar?"

"Maksud, Mbak, para tetua kami berdusta?"

Salaka dan Candina tampak tegang. Silva pun demikian. Najma menarik napas panjang sementara Rasi diam mengamati.

"Kami bertahan lama di Javadiva karena mematuhi petunjuk," Salaka berkata tajam. "Jangan pikir Mbak Najma benar hanya karena merasa tahu lebih banyak."

Merasa tahu lebih banyak. Sepertinya, premis itu terdengar familiar, bukan? Najma merenung.

"Aku nggak merasa benar. Aku nggak merasa tahu lebih banyak," Najma berkata pelan. "Aku justru mau menggali lebih banyak dari kalian."

Mereka terdiam.

Suasana kaku menguar di antara mereka. Rasi mencari cari lubang stop kontak listrik untuk melemaskan ketegangan.

"Dulu, ada legenda seorang ratu yang tinggal di pantai selatan laut jawa," Najma berkisah. Berusaha mencairkan. "Siapa berbaju hijau yang berjalan di tepi pantai, akan tergulung ombak dan terbawa masuk ke istananya di dasar laut. Sebagian orang percaya, sebagiannya lagi tidak."

Najma memainkan cangkirnya.

"Belakangan ilmuwan menemukan, itu cara orang zaman dahulu menakut nakuti penduduk agar tak bermain dekat pantai yang arusnya deras. Banyak yang tewas tergulung ombak."

Najma menatap Salaka.

"Itu yang ada di benakku, Salaka," jelas Najma.

Salaka menahan napas, menatap Silva sejenak dan beralih ke arah Candina.

"Bolehkah aku beristirahat?" Tanyanya.

Candina sedikit terperanjat, tapi berkata perlahan, "Ya. Kamu pasti lelah sekali, Salaka."

Salaka menuju satu kamar.

Najma menatap ke arah Rasi, memintanya menemani pemuda itu. Bagaimana pun, setelah sejauh ini mereka tak boleh lagi terpisah-pisah. Ada hal yang perlu diluruskan dari pemikiran Salaka. Walaupun ia berusia ratusan atau ribuan tahun, memiliki kekuatan dan kemampuan yang tak dimiliki sembarang orang; adakah makhluk yang dapat bertahan seorang diri di atas muka bumi ini?

Setiap yang bernyawa terhubung dengan dunia di luar dirinya.

Salaka tak boleh berpikir ia harus menyelamatkan dunia sendirian.

๐Ÿ”…๐Ÿ”†๐Ÿ”