Pada hulu pagi dan hilir senja, ia tersenyum dan berharap saat matahari bersemi. Lalu menangis ketika cahaya surut. Begitulah impiannya ketika pertama menginjakkan Gangika, hingga lari dari ancaman kilatan pedang Kavra yang murka. Kebahagiaan bertunas sesaat di Girimba, dan senja ini, harus secepatnya menghapus debu-debu hasrat.
Nami mencuci muka, mengenakan kembali pakaian biru tua bersulam yang telah koyak di beberapa bagian akibat sabetan pedang. Ia merapikan rambut. Ketika membuka pintu bilik dan melangkah tegak nan anggun, Dupa nyaris tak dapat mengalihkan pandangan.
Senja dan warna biru tua, tampak serasi dengan warna coklat kulit Nami. Matanya yang selalu berkabut dan senyumnya yang sayu. Di bilik Kahayun, Nami termenung sejenak, mengumpulkan kekuatan. Prajurit membuka pintu, mempersilakan Dupa dan Nami bergabung.
Milind dan Kavra telah menunggu di sana, bersama Putri Yami dan Wulung. Senyum dan kehangatan tidak mendapatkan tempat dalam pertemuan ini. Ketika Nami melangkah masuk, sama seperti sebelumnya, ia oleng sesaat hingga Dupa meraih tubuhnya.
"Kau kenapa?" bisik Dupa.
Nami menoleh sesaat, menatap ke arah Dupa. Tersenyum, memastikan semua baik-baik saja. Tanpa sadar, Milind membuang pandangan ke arah Kavra yang juga tengah mengalihkan tatapan ke arahnya.
❄️💫❄️
Milind mempersilakan Wulung memberikan laporan. Apa yang disampaikannya sama sekali tak berbeda dengan yang telah dialami Nami. Hingga kehadiran Panglima Kavra dan Nistalit terlatih yang dipimpin Dupa datang tepat waktu.
"Nistalit Nami, menemukan celah dari bobolnya benteng Girimba," Wulung berkata, menoleh ke arah Nami. "Ia akan menjelaskannya."
Semua memusatkan perhatian ke arah Nami, yang lebih banyak menunduk saat memberikan penjelasan.
"Dari mantra yang dijelaskan Hulubalang Wulung, hamba merasa benteng Girimba tak dapat ditembus wangsa Akasha dan Pasyu, namun ada yang masih bisa menembusnya," jelas Nami.
"Maksudmu, ada yang lebih kuat dari Akasha dan Pasyu?" Yami menaikkan alis. "Mandhakarma?"
Nami mengangkat kepala, merasa senang mendengar suara Yami, "hamba rasa bukan Mandhakarma, Yang Mulia. Tapi yang tidak disebutkan oleh mantra Girimba."
"Apa itu?" Yami ingin tahu.
"Hamba belum melihatnya sendiri," Nami menarik napas ragu, "ini hanya perkiraan."
"Katakan saja."
Nami melirik sekilas ke arah Kavra yang menatapnya penuh pertimbangan.
"Nistalit bercakar pernah memasuki hutan Wanawa dan Gangika," Nami berkata.
"Nistalit?" alis indah Yami naik, nyaris tak percaya. "Pertahanan Girimba yang tak dapat ditembus Akasha dan Pasyu dapat ditembus…Nistalit?"
Kali ini Nami mengangkat wajah, menatap wajah Kavra yang tampak datar. Tak memperkenankan, ataupun melarang.
"Ini bukan sembarang Nistalit, Yang Mulia," Nami menjelaskan. "Sebagian mereka telah mati, atau separuh mati. Lalu…tubuh halus Akasha merasukinya, sebagian jiwa Pasyu juga."
Yami menarik napas, tegak dalam duduknya.
"Akasha adalah wangsa terhormat, Nistalit Nami," Yami menolak tanpa bermaksud merendahkan.
Nami menatap Kavra sekali lagi, merasa khawatir ucapannya keliru.
"Menuduh Akasha seperti itu adalah sebuah penghinaan," tegur Yami.
Hening sesaat. Dupa menatap Nami khawatir. Apa yang ada dalam benak gadis itu?
"Apa yang dikatakan Nami adalah benar," Kavra buka suara pada akhirnya. "Hulubalang Janur pun pernah melihat mereka ketika memasuki Girimba."
Nami mengangkat wajah, tersenyum samar, merasa sangat berterima kasih.
"Hamba sendiri pernah melihatnya, Putri Yami," Kavra mengaku, setelah lama menimbang. "Nistalit yang mati atau setengah mati, menjadi inang bagi jiwa halus Akasha."
Yami tampak tak percaya dan gusar, "Akasha siapa?"
Kavra tak menjawab. Ia balas menatap Nami dengan tajam.
"Pasukan Hitam Mandhakarma adalah wujud lain dari Akasha," Nami melengkapi, berusaha melindungi pendapat Kavra yang masih menyembunyikan jatidiri Giriya. "Hamba melihat mereka ketika bertarung. Menurut hamba, Akasha Mandhakarma inilah yang menumpang pada tubuh Nistalit dan dapat menembus gerbang Girimba. Itulah sebabnya satu pilar gerbang kapuk randu menghitam. Nistalit harus melewati jalan setapak antara gerbang kembar kapuk randu untuk bisa memasuki Girimba."
Yami menatap penuh selidik ke arah Nami. Gadis sederhana yang tampak istimewa di tengah balutan pakaian biru tua. Tak ada kebohongan di sana. Hanya kejujuran dan kesungguhan. Entah mengapa, Yami justru mengamati dirinya. Paras yang berbeda dengan kecantikan Akasha ataupun Pasyu. Ia lebih sering menunduk, tanda perasaan rendah seorang budak. Namun ketika berbicara, keunggulan dirinya terlihat. Dan, apakah cuma ia yang mengamati? Jika sedikit tersenyum, gadis itu memiliki ceruk kecil di pipinya? Diam-diam Yami melirik sesekai ke arah Milind dan Kavra, tetiba merasa sedikit marah. Apakah Nami mendapatkan perlakuan yang baik?
"Kau tahu, Nistalit Nami," Yami berkata sembari tersenyum, "kau seorang pengamat yang luarbiasa. Apakah Milind pernah memuji kehebatanmu?"
Wajah Nami memerah. Milind tersenyum kaku.
"Gangika beruntung memiliki sosok terlatih sepertimu," Yami kembali memuji, ganti memandang Kavra. "Kau harus menjaganya agar tetap setia padamu, Panglima Kavra."
Mata Kavra terkejut sesaat, lalu tampak redup kemudian. Mengangguk hormat ke arah Yami.
"Jika apa yang ia katakan benar," Milind menyimpulkan khawatir, "Girimba dan Giriwana bukan wilayah yang aman bagi ketiga putri. Yang Mulia harus berpindah tempat."
"Ke mana, Milind?" Yami menahan senyum dengan sedih.
"Hamba akan menghubungi Raja Ame dan Raja Jaladri…"
"Milind!" tegur Yami. "Tempatku adalah di Wanawa. Apapun yang terjadi aku akan bertahan di sini!"
"Tapi Putri Nisha pun bisa terluka oleh serangan Pasukan Hitam."
"Itu karena aku tak mempercayai Nistalit Nami," Yami berkata menyesal. "Aku minta maaf sungguh padamu."
Nami membungkukkan badan dalam-dalam.
"Yang Mulia tidak bersalah. Hamba yang masuk tiba-tiba ke bilik," Nami sungguh merasa tak enak hati.
Yami menatap Kavra.
"Panglima Kavra, apakah kau keberatan jika Nistalit Nami aku minta menjadi penjaga bilik putri?" Yami memohon. "Kudengar Gangika memilik banyak Nistalit berbakat dan terlatih."
Wajah Milind terkejut. Kavra pun demikian. Nami tak kurang terhenyak.
"Putri Yami," Kavra berkata sopan, "semua tergantung pada Nistalit Nami sendiri. Namun, ada yang hamba ingin sampaikan terkait kedatangan hamba hari ini."
Seluruh mata tertuju ke Kavra.
Sang panglima Gangika berkata perlahan, "Hamba ingin mengajak Dupa dan Nami sejenak kembali ke Gangika."
"Malam ini?" Yami tertegun. "Dalam keadan genting seperti ini?"
Wajah Kavra terlihat muram, "Hamba hanya menyampaikan keinginan Sin."
Nami mendongak, menatap lurus ke arah Kavra.
"Tidak lama, Yang Mulia," Kavra berjanji. "Senja ini, dan sebelum tengah malam, Dupa dan Nami akan tiba kembali ke mari."
Milind menatap Kavra tajam. Apa-apaan semua ini? Yami memohon bantuan Kavra terkait Nami dan para Nistalit, Kavra justru meminta mereka kembali? Senja hingga malam ini memang waktu yang terlihat singkat, tapi tidak untuk sebuah pertempuran! Apalagi penyusup telah memasuki Girimba!
"Kami tak akan lama, Milind," Kavra memohon. Suaranya terdengar bergetar ketika berkata kemudian, "Sin tengah sekarat."
Air mata Nami meluncur begitu saja tanpa sadar.
Cepat ia mengusapnya.
"Hamba telah membawa sepasukan Nistalit terlatih untuk membantu Wanawa," Kavra menjelaskan sepenuh permohonan kepada Yami. "Mereka dapat menjaga Girimba dengan baik, tentu dibantu pasukan Wanawa dan sosok seperti Hulubalang Wulung."
Nami menoleh ke arah Dupa yang menunduk. Mengapa Dupa tak menceritakan apapun kepadanya? Yami menarik napas panjang sepenuh dada. Milind pun tampak dilanda kebimbangan.
"Jika kau butuh bantuanku, Milind," Kavra menawarkan diri, "aku berkenan berada di sini. Biarkan Dupa dan Nami diantarkan Hulubalang Wulung. Hanya memenuhi permintaan Sin, itulah keinginanku."
Milind menatap Kavra dalam.
"Sin bagiku," Kavra memandang penuh permohonan ke arah Milind, "sama seperti Janur bagimu."
Nami memejamkan mata.
Menarik napas panjang.
"Putri Yami," desis Nami, membungkukkan badan dalam, mengatupkan kedua belah tangan di depan dada. "Hamba akan menjaga bilik putri sekuat kemampuan hamba. Namun izinkan kali ini, sejenak hamba ke Gangika."
Yami dan Milind berpandangan.
"Aku rasa, kita semua harus berjaga-jaga malam ini," ujar Yami. "Jadi tak mengapa, Panglima Kavra pun ke Gangika asalkan sebelum tengah malam Nami telah sampai ke Girimba."
Milind mengangguk.
Hatinya bertanya-tanya, apakah Sin ataukah Kavra yang membuat Nami ingin sejenak ke Gangika?
❄️💫❄️