Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 211 - ●Malam Terakhir (1)

Chapter 211 - ●Malam Terakhir (1)

Sebagian kenyataan yang terjadi adalah impian panjang hari-hari masa lalu. Sebagian mimpi, masih tetap tersimpan sebagai rahasia langit yang terbungkus rapi dalam ikatan harap.

Nami berdiri di atas benteng yang juga merupakan Bendungan Gangika, bangunan yang sekian lama dibuatnya bersama para Nistalit. Dulu, dari tenda di tepian sungai Loh Dhamarga, ia selalu memandang kemegahannya dengan harapan suatu saat bisa menaikinya. Seperti apa keindahan dilihat dari atas sana? Kehijauan hutan di kejauhan, jernih aliran sungai wilayah Gangika, malam hari kunang-kunang yang terperangkap dalam wadah kristal di sepanjang kerajaan Gangika bagai kerlip bintang.

Ia dan Dupa berdiri di sini.

Para dayang Gangika menghamparkan alas menawan di salah satu sudut benteng. Sebuah meja kecil dengan beberapa bangku indah berkeliling. Nami dan Dupa tentu tak mendudukinya, tempat istimewa bagi Kavra dan hulubalangnya.

***

Di bawah naungan Aswa

Berlindung di hutan Wanawa

Bersama aliran Gangika

Kau akan merasa tenang

Terbang dalam sayap perak

Berselimut dedaunan hijau

Meneguk air yang jernih

Hidupmu sudahlah cukup

***

"Aku sering mendengarkanmu menyanyikannya," Dupa tersenyum.

Nami merenung, bergumam, "Suaraku tak bagus. Tapi lumayan dapat menidurkan Aji dan Usha."

"Kalau mereka tertidur, berarti suaramu enak didengar."

"Atau, mereka tersiksa dan tak mau mendengar lebih lama. Jadi lebih baik tidur."

Dupa terbahak, tawa yang menulari Nami.

"Kau masih belum berubah sejak pertama kali aku mengenalmu," Dupa berkata.

"Benarkah?"

"Ya," Dupa memandangnya. "Hanya saja, dulu kau lebih banyak tertawa."

Nami mendongakkan kepala. Memandang langit jernih dipenuhi bintang. Senja telah berlalu. Mantra Kavra membuat mereka cepat tiba di Gangika, demi memenuhi permintaan Sin.

"Aku banyak tertawa bersama Jalma," Nami berbisik. "Seharusnya aku mensyukuri hai-hari itu. Bukan bermimpi untuk lari darinya."

"Jadi menurutmu, hari-hari kita di Giriya lebih indah dari saat ini?" Dupa bertanya.

Nami menoleh ke arah Dupa, "Apakah hari-harimu lebih baik di Gangika dan Girimba?"

Dupa ingin berkata-kata lebih banyak, berkisah tentang hal-hal terdalam yang belum sempat diungkapkan. Saat seperti ini tak banyak dimiliki. Belum sempat membuka mulut, langkah Kavra hadir bersama satu sosok yang begitu ingin dijumpai Nami.

Kavra telah menanggalkan baju panglimanya, berpakaian lebih sederhana. Rambut lebatnya yang biasa terikat ke atas seperti bangsawan Gangika pada umumnya, hanya diikat ke belakang, seperti para Nistalit. Nami dan Dupa memberikan hormat yang dalam. Di sisi Kavra, berdiri Sin yang juga tak berpakaian hulubalang.

Nami tersenyum lebar, mendekat ke arah Sin yang tampak berdiri dengan pandangan aneh.

"Dupa," panggil Sin. "Seperti apakah Nami?"

"Ia mengenakan baju biru tua, dengan sulaman indah Wanawa."

"Bagaimana ia tampaknya?"

"Ia tampak…anggun," Dupa berkata malu, "kalau tersenyum. Kalau tidak, Tuan tahu sendiri."

"Mengerikan. Menyebalkan," Sin tertawa.

Nami merasa lucu walau tak mengerti. Dupa membimbing Sin untuk duduk.

Kavra mempersilakan mereka berkeliling di bangku yang telah disiapkan. Nami benar-benar canggung harus berada dalam meja kecil seperti ini. Di Girimba, ia memiliki batas cukup jauh dengan Milind. Sedekat ini dengan para bangsawan Gangika, membuatnya tak bisa bernapas.

Kavra menuangkan minuman ke cawan masing-masing. Sebuah penghormatan yang tak diberikan pada sembarang pihak.

"Minuman air madu lebah pohon ara," Kavra menjelaskan. "Memiliki khasiat yang sama dengan madu lebah Wanawa."

Nami terdiam, tak tahu apakah itu sebuah sindiran atau apa. Ia mengamati Sin dengan dada berkecamuk

Kavra meneguk habis minumannya lebih dahulu. Sin tak bergerak. Nami dan Dupa tentu tak mendahului mengambil cawan. Sebaliknya, Dupa justru mengambil milik Sin dan membantunya meminum. Setengah marah Sin merebut cawan dan membentak Dupa.

"Aku bisa melakukannya sendiri!"

Dupa terhenyak. Cawan itu tersenggol, tumpah, membasahi tubuh dan pakaian Sin. Kavra menuangkan minuman ke cawan miliknya sendiri, menyodorkannya ke tangan Sin. Membantunya mendekat ke arah mulut.

"Ini aku, Sin, Panglimamu."

Sin meraba lengan Kavra, menyentuh cawan dan meminumnya. Keseimbangannya tak terlalu baik, hingga beberapa tetes tertumpah dan berceceran. Nami membuang muka, kedua matanya seketika dipenuhi anak sungai. Sin meneguk habis minuman, tergetar kedua tangannya ketika terulur meletakkan cawan ke depan. Sigap Dupa menyambut, kali ini Sin tak menolak.

Nami merasakan pusaran angin di dalam dadanya bagai badai yang mencabut akar-akar pohon. Ia mulai memahami sesuatu walau tak ingin mempercayainya. Sin duduk di sana, raut mukanya demikian datar, pandangannya lurus ke depan. Jemarinya dan wajahnya ditumpahi cairan minuman. Nami menarik napas panjang, tak peduli apa yang akan terjadi. Ia bangkit dari duduk, menghampiri Sin. Membersihkan jemari sang hulubalang. Lembut dan penuh perasaan kasih, ia mengeringkan wajah Sin dengan ujung lengannya. Sin terpejam, sebutir air meluncur dari ujung mata. Nami mengusapnya.

"Aku tak bisa lagi melindungi Gangika, Nami."

❄️💫❄️

Tak ingin tenggelam dalam suasana duka, Sin berkata.

"Ambilkan alat musikku, Dupa," pinta Sin. "Milik Panglima Kavra juga."

Dupa mematuhi.

Sin memetik dawai. Alat musik kayu panjang dengan sejumlah tali lentur yang menimbulkan alunan indah. Kavra mengikutinya. Nami dan Dupa terhanyut dalam permainan yang belum pernah mereka dengar sebelumnya.

Nada Wanawa mengikuti suara angin dan dedaunan. Irama Gangika seolah air mengalir yang membelai pendengaran. Cuaca malam yang berkabut tipis di ketinggian benteng, membawa petikan dawai Sin menjauh dan menguap.

"Hamba…tidak tahu Hulubalang Sin mahir bermusik," Nami berkata.

"Banyak yang kau masih belum tahu tentang kami," Sin menukas.

Permainan musik terhenti. Sin menoleh ke arah Nami, walau tak bisa melihatnya.

"Kudengar kau menyanyi tadi," ujar Sin.

Nami tertawa gugup, merasa celaka!

"Nyanyikanlah, aku akan mengiringimu," pinta Sin.

Ketika menoleh ke arah Dupa, pemuda itu memberikan isyarat mendukung permintaan Sin.

***

Di bawah naungan Aswa

Berlindung di hutan Wanawa

Bersama aliran Gangika

Kau akan merasa tenang

***

Nami merasa suaranya tak bagus-bagus amat, namun petikan dawai Sin membuat alunan syahdu yang tampak melengkapi kekurangannya. Ketika Nami usai bernyanyi, Sin mengatakan ingin mendengarnya lagi.

"Aku tak terlalu mendengar suaramu, Nami."

Nami kebingungan.

"Ulangilah lagi," pinta Sin.

Saat menoleh ke arah Kavra, sang panglima memberikan isyarat untuk menurut. Saat Nami bernyanyi dan merasakan suaranya sumbang, ia tertawa gugup. Sin menghentikan petikannya, ikut tertawa.

"Kau tahu, Nistalit," ujar Sin. "Aku tak terlalu mendengar nyanyianmu. Tapi suara tawamu bisa kudengar dengan jelas."

Nami tertawa lebih keras lagi, hingga airmatanya bercucuran. Kavra dan Dupa menatap Nami aneh. Ketika tawanya terhenti, Sin meletakkan alat musiknya ke bawah. Menarik napas. Ia menengadahkan kepala, mencoba menangkap suara-suara yang ada di sekitarnya.

Tak ada yang dapat menghapus sesak di dada. Sang hulubalang yang telah banyak menolongnya, apakah telah kehilangan penglihatan dan pendengaran? Sedahsyat itukah mantra hitam Mandhakarma menyiksa musuh? Sosok tangguh yang sangat mahir memainkan senjata itu sekarang kehilangan seluruh kemampuannya.

Pada akhirnya Nami berlutut, mendekati Sin, memeluk kedua kakinya. Airmatanya tumpah. Canggung, Sin menepuk-nepuk pundak gadis itu.

"Kau tahu kenapa aku ingin menemuimu?"

Nami tergugu. Wajahnya basah.

Sin melepaskan tali pengikat pedang di pinggangnya.

"Aku ingin memberikan pedang ini langsung padamu," bisik Sin pada Nami.

"Hamba akan mencarikan obat bagi Hulubalang Sin!" Nami menolak keras. "Akan hamba cari walau harus ke negeri Vasuki!"

"Jangan mudah berjanji!" tegur Sin. "Apa kau mau hidup dengan beban berat harus menunaikan janji dan tak mampu memenuhinya?"

Nami terdiam, berkata pelan,"Hamba tak bisa menerima pedang Hulubalang."

"Esok, aku sudah bukan hulubalang," Sin menjelaskan. "Aku telah meminta izin pada Panglima Kavra untuk menjadi pandhita."

Nami terisak.

"Nistalit!" bentak Sin garang. "Aku tak mengajarimu untuk menjadi rapuh dan cengeng!"

Nami menahan sedu sedan sekuat tenaga.

Kavra bangkit, berdiri menjauh. Ia pun tampaknya tak tahan harus menghadapi Sin yang seperti itu. Sin memberi isyarat pada Nami untuk mendekat.

"Berjanjilah padaku, Nami."

"Apa yang harus hamba lakukan?"

"Berjanjilah kau akan mendampingi Panglima Kavra seperti aku menjaganya."

Nami tertegun.

"Mungkin tidak harus saat-saat ini," Sin meralat ucapannya. "Namun suatu saat nanti, akan tiba masa kau harus membantunya."

Nami mengusap hidungnya.

"Panglima Kavra memilik hati yang baik dan teguh," Sin berkata pelan. "Sayang, ia tak seberuntung Panglima Milind yang dikelilingi sosok-sosok yang baik. Banyak pihak yang ingin memanfaatkannya."

Nami menatap Sin dalam-dalam.

"Waktuku tak banyak, Nami," Sin tersenyum. "Aku telah kehilangan penglihatanku. Pendengaranku mulai kabur. Hari-hari akan kuhabiskan dengan banyak berdoa dan bersemedi bersama para pandhita di bawah aliran sungai Gangika."

❄️💫❄️