Sebagian kenangan dan mimpi memang menyakitkan. Namun mengingatnya dapat memberikan kekuatan. Setidaknya, sejenak berjalan ke masa lalu membawa diri berpikir bahwa kehidupan pernah menjadi hak milik.
Ia memeluk Jalma, yang sering membuatkannya boneka jerami. Gelang manik jali-jali. Menyisiri rambut ikalnya yang lebat dan susah diatur. Ayah yang sesekali membawa buah kersen dari tepian hutan. Ibu sering membawa bunga kana yang di petik di tepian sungai. Pangkal sari buah kana demikian manis untuk disesap.
Jalma yang tampan dan cerdas.
Mengajarinya mengasah batuan tipis sebagai mata panah, pisau atau kapak. Bila bukan batu, tanduk dan kayu pun bisa. Setiap kali mengelus gelang manik jali-jali, Nami merasakan pelukan Jalma yang hangat dan jemari kasarnya menyisiri rambutnya yang panjang.
Bayang Jalma terbenam di sungai.
"Hei, ulangi!" suara Sin memekakkan telinga. Hulubalang Gangika, yang muncul dari arus deras sungai mencelupkan kepalanya ke air hingga kehabisan napas.
"Pemalas!" bentakan suara dari balik batang-batang raksasa hutan. Suara jernih yang dikenalnya sebagai Janur.
Selendang kuning.
Cawan madu Wanawa.
Angin kencang yang membelit tubuhnya dan melemparkannya ke negeri antah berantah.
***
Satu hari dalam hidupmu
saat harapan memudar
jangan surut atau ragu
cahayamu akan berpendar
Satu hari dalam hidupmu
saat derita menyiksa
jangan ikuti bayang semu
dirimu akan bersinar
***
Ia berada di Wanawa.
Syair-syair hutan ini selalu memiliki makna dalam yang mengobati lelahnya jiwa.
Nami terjaga di gelap malam.
Tubuhnya terasa demikian penat dan sakit di beberapa bagian. Walau demikian, pikiran terasa ringan dan hati lebih lapang. Disibakkannya selimut. Di jendela, boneka jerami dalam pakaian daun hijau bersandar menghadap ke luar.
Ia mengenal baik tempat ini. Bilik tempatnya istirahat ketika berada di bawah asuhan Hulubalang Janur dan Hulubalang Sin. Jadi, di sinilah ia berada.
Girimba. Wanawa.
Baguslah, pikir Nami.
Gelang manik jali warna hitam dan putih - biru keunguan melingkar di tangan. Telinganya menangkap suara-suara di luar. Rasa ingin tahu hampir membuatnya membuka jendela dan pintu, namun sepasang kaki terasa demikian berat. Matanya juga.
Lebih baik beristirahat, pikir Nami. Esok, ia harus berlatih. Bila tak bangun pagi, kedua hulubalang itu akan menghajarnya tanpa ampun.
❄️💫❄️
Nami terbangun lebih segar.
Terkejut mendapati dua dayang cantik telah berada di biliknya. Mereka memberikan hormat, mempersiapkan hidangan dan meramu obat-obat.
"Nona Nami, makanlah terlebih dahulu. Lalu minumlah obat ini. Nona perlu memulihkan diri."
Terheran-heran, Nami mendekati keduanya. Berlutut bersama, saling memberi hormat.
"Apakah Hulubalang Janur yang memerintahkan?" Nami bertanya sopan.
Dayang tersenyum, menjawab tidak, menjelaskan lebih lanjut, "Panglima Milind yang langsung memerintahkan kami."
Nyaris tersedak mendengarnya.
Nami cepat menghabiskan makanan, meneguk obat. Merasa canggung ketika kedua dayang masih menemaninya sembari mempersiapkan sesuatu. Seperangkat pakaian yang tampak sangat mewah di mata Nistalit. Ia biasa mengenakan pakaian sewarna tanah atau sewarna batang pohon tua yang lapuk, dengan serat kasar yang akan berbunyi tiap kali menggerakkan lengan atau kaki.
"Silakan Nona bertukar pakaian dengan baju ini setelah bebersih diri."
Kikuk Nami mengenakannya. Bukan pakaian putri, lebih mirip baju prajurit. Sewarna manik jali biru tua yang gelap, dengan sedikit sulaman sederhana di ujung lengan dan leher baju. Ikat pinggang dari jalinan akar pohon yang indah dan lentur. Kedua dayang menyisir rambutnya yang terlihat kacau, membuatnya tampak lebih rapi dengan jalinan di belakang.
"Nona terlihat cantik," puji kedua dayang.
"Aku akan berlatih," Nami merasa lucu. "Baju ini akan terkoyak dan kotor nantinya."
Dayang memberikan hormat.
"Apakah sekarang aku bisa menemui Hulubalang Janur?" tanya Nami.
"Nona diminta menghadap Panglima Milind terlebih dahulu."
Ketegangan merayapi sekujur tubuh mendengar perintah itu. Dagu Nami tertegak. Ia menelan ludah yang terasa menggumpal. Ada apakah hingga harus berhadapan dengannya?
❄️💫❄️
Nami merasakan seluruh mata prajurit Wanawa seolah tak henti memandangnya sepanjang ia berjalan menyusuri lorong jembatan kayu dari bilik terbawah. Ia bukan Akasha yang dapat menunggang angin, hingga dibutuhkan waktu meniti tangga dan jembatan untuk sampai ke bilik Kahayun tempat Milind berada.
Pagi hari yang sibuk itu terlihat hening. Banyak sosok ditemuinya tampak bersungguh-sungguh dan sedikit menyungging senyum, tidak seperti yang biasa ditemuinya. Di depan pintu bilik Kahayun, dua hulubalang yang tidak dikenal menyambutnya dengan ramah. Mempersilakan masuk.
Nami hampir tersandung, walau tak tampak tangga tinggi di sekelilingnya. Rasa gugup dan takut menyelubungi diri, hingga ia perlu memegang gelang manik jali. Menarik napas panjang berkali-kali.
Milind berdiri di sana, tengah bercakap dengan satu sosok berbaju megah.
Keduanya terhenti mendengar langkah Nami mendekat, menoleh ke arah sumber suara. Milind terlihat membuang pandangan, sementara sosok di sebelahnya hanya sejenak terkejut. Nami merasa lebih baik tenggelam ke dasar bumi, merasa malu dengan pakaiannya dan juga harus berhadapan dengan dua panglima. Ia gugup bukan kepalang, hanya bisa memberikan hormat yang dalam.
Satu sosok bisa menguasai diri dengan cepat.
Tersenyum ramah mendekat.
"Kau pasti…Nistalit Nami," ucapnya. "Aku Jagra. Panglima Gosha sering bercerita tentangmu."
"Senang bertemu Tuan Paduka…," Nami bingung menyebut pangkat lelaki muda di depannya.
"Panglima Jagra," Milind menyela, setelah dapat menguasai diri. "Ia Panglima Aswa yang sekarang."
"Panglima Gosha…?" mata Nami terbelalak.
"Ia masih dalam perawatan terbaik di Wanawa," Jagra berakata muram. "Aku harus segera pergi, Nami."
Nami mengangguk perlahan, merasa sayang mengapa Jagra tak menemaninya menghadapi Milind.
"Panglima Milind," Jagra menoleh ke arah di sebelahnya, "hamba undur diri."
"Kau belum terbiasa hanyamenyebut nama, Jagra," tegur Milind. "Kau tak menganggapku temanmu?"
Jagra tertawa pelan. Merasa hangat ketika Milind memeluk dan menepuk punggungnya. Dapat ia mengerti mengapa Gosha selalu memikirkan kesalamatan Milind atas sikapnya yang rendah hati dan tulus seperti itu.
Ketika Jagra beranjak, Nami hanya berdiri kaku, berdiri dalam keheningan yang terasa menghimpit. Milind pun tampak termenung, mempertimbangkan berbagai hal ketika akan memulai perbincangan dengan gadis di depannya.
"Duduklah, Nistalit," ujarnya, mempersilakan Nami mengambil tempat di depan meja jati.
Milind menuangkan minuman dalam cawan, menyodorkannya, memberikan isyarat pada Nami untuk meneguknya.
Gugup, Nami mencicip, meneguk cepat hingga habis. Lumayan haus menempuh jalan panjang dari bilik terbawah hingga naik ke bilik teratas aula Kahayun.
Milind tersenyum, menuangkan lagi, "Kau suka, Nistalit?"
Nami mengangguk canggung. Menarik cawan itu lebih dekat ke tubuhnya, tapi enggan meminum karena malu.
"Minumlah," ujar Milind. "Itu baik bagi kesehatanmu : madu lebah Wanawa."
Nami meneguknya lagi. Cawan itu kosong seketika. Ketika Milind akan menuangkannya lagi, Nami menutup cawan dengan jemari, menggelengkan kepala.
"Minumlah satu lagi," ujar Milind. "Cawan kesatu adalah ramah tamah. Yang kedua adalah perkenalan. Yang ketiga adalah persahabatan."
Persahabatan, benak Nami kacau mendengarnya. Nistalit adalah budak Akasha dan Pasyu. Adakah hubungan persahabatan di antara mereka? Walau ingin menganggap Janur dan Sin sebagai sahabat, benak kedua hulubalang belum tentu demikian. Ketika cawan ketiga kosong, Milind sengaja membiarkannya. Nami mempermainkan cawan kosong itu dengan resah. Bertanya-tanya, mengapa Janur dan Sin tak segera bergabung.
Milind duduk di hadapan Nami. Tak tepat di depannya, tapi bergeser lebih ke kanan, sengaja tak ingin berhadap-hadapan dengannya. Bagaimanapun, baru kali ini seumur hidup Nami duduk sejajar dengan bangsawan Akasha. Bahkan, tak pernah dibayangkan ia akan semeja dengan panglima Wanawa.
"Apa yang kau ingat ketika bangun tadi pagi?" Milind bertanya lembut ke arahnya.
Nami mengangkat kepala.
Matanya bersirobok pandang dengan mata kelam Milind.
Nami menggigit kuat bibir bagian dalamnya. Ia merasa harus segera pergi dari tempat itu sebelum melakukan hal-hal bodoh.
"Nistalit," Milind menyebut dirinya. "Aku bertanya padamu."
Nami menelan ludah.
"Hamba…hamba bangun tengah malam. Berjalan ke jendela. Ada boneka jerami di sana. Lalu hamba tidur lagi…dan pagi tadi ada dua dayang di bilik hamba."
"Hanya itu?"
Nami memejamkan mata sejenak.
Janur! Sin! Kalian di mana?
❄️💫❄️