Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 207 - ●Impian Retak

Chapter 207 - ●Impian Retak

"Apalagi yang kau ingat?"

Nami menundukkan kepala, memainkan cawan di tangan. Sesuatu berputar-putar di kepala, bayangan berkelebat. Ingatan tumpang tindih.

Milind menarik napas panjang.

Ia bangkit berdiri, meminta cawan di tangan Nami. Menuangkan minuman dari arah tinggi, menjentikkan mantra agar alirannya berjalan pelan.

"Coba pusatkan pikiranmu. Ingatlah kejadian-kejadian sebelum pagi ini, Nistalit."

Nami mengamati tetesan air yang jatuh perlahan.

"Aku...," Nami lamat menemukan ingatan terang, "…hamba...bertarung sebelumnya dengan Pasukan Hitam. Ada Hulubalang Janur. Hulubalang Sin. Lalu...hamba terlempar. Berbaring sakit entah berapa lama."

Nami gemetar dan pening. Menatap tetesan air.

Tiks.

Tiks.

Tiks.

"Ada...Panglima Kavra?" gumam Nami, memejamkan mata. "Ia...ia memberikan hamba...selendang kuning."

Milind tak terlalu suka mendengar bagian ini.

"Lalu?"

Nami menarik napas.

Tiks.

Tiks

Tiks.

"Ada Hulubalang Janur. Hulubalang Sin," Nami mengulang bagian ini. "Ada Aji dan Usha juga. Mereka ...bertemu hamba di bilik pengobatan. Panglima Kavra juga ada di sana."

Cawan Nami kembali terisi.

Hanya beberapa kalimat terucap, namun dahaga menguras seluruh cairan tubuh. Gadis itu meneguk cepat minuman yang dituangkan.

Hening.

Bilik Kahayun seakan menyimpan rahasia. Angin tertahan di delapan penjuru, tak ada suara apapun masuk kecuali gerakan dua sosok di dalamnya.

"Apakah...apakah hamba sekarang harus berlatih bersama Hulubalang Janur dan Hulubalang Sin?" tanya Nami gelisah.

Membongkar ingatannya seperti menguras tenaga. Terasa tak menyenangkan pula.

Milind menatapnya sembari menarik napas berat.

"Nistalit," ujarnya hati-hati. "Ada yang ingin kusampaikan."

❄️💫❄️

Milind memulai.

"Hari-hari ini, seluruh wilayah Akasha dan Pasyu dalam keadaan genting. Pertempuran terakhir membuat Mandhakarma terhenti sejenak di angkasa.

Aswa nyaris runtuh. Kerusakan di Gangika semakin melebar. Di Jaladhi dan Mina pun demikian. Wanawa sedang menghadapi kemarau panjang penderitaan.

Kau bertarung gagah berani, Nistalit.

Kau melindungi Sin dan menumbangkan banyak prajurit musuh. Banyak yang melihatmu merangsak masuk ke Mandhakarma, sesuatu yang tak dapat kami lakukan. Sin berkata, kau bertemu sosok mirip Janur yang kau sebut dengan Janur Hitam. Dengan bantuan Sin, kalian berdua bisa membunuh Janur Hitam. Tapi kekuatan dahsyat mantra hitam melemparkanmu dan Sin ke luar."

Nami tertegun. Lamat merasa mengingat bagian itu walau sangat samar.

Milind melanjutkan.

"Kau terluka parah. Sin pun demikian. Kavra langsung membawa Sin ke Gangika, untuk mendapatkan perawatan terbaik. Kavra menolak bantuan Wanawa karena ia merasa harus melindungi Gangika dan merawat banyak hulubalang, prajurit, sekaligus yang terluka. Sejak pertempuran kalian berdua di bibir Mandhakarma, keadaan Sin belum membaik."

Nami menelan ludah. Jari jemari saling meremas.

"Hulubalang ...Janur?"

Milind berdiam diri beberapa waktu, menunduk. Kemarahan dan kepedihan bergantian membayang di wajahnya.

"Janur sama sekali belum terjaga. Tombak kristal Aswa dan racun Mandhakarma, memperparah lukanya. Ia masih selamat hingga saat ini, tapi tak tahu hingga kapan."

Nami terbelalak. Tak percaya, "Hulubalang Janur…?"

"Janur sekarat, Nistalit. Gosha pun demikian," Milind tampak berusaha keras menguasai dirinya sendiri. "Mereka berdua bersama para prajurit lain yang masih bisa sembuh berada di Giriwana, jauh dari sini."

"Tapi…," Nami mencoba menolak, "…Hulubalang Janur ada di bilik pengobatan itu. Ia juga ada di…"

Milind memperhatikan seksama.

"…ia ada di bilik hamba …semalam. Bersama…Hulubalang Sin…," Nami mulai meragukan diri sendiri.

Suara di tepi mimpi yang didengarnya, bentakan Janur dan Sin terasa demikian nyata. Ketika membuka mata, tak ada sesiapa di sana. Yang hadir pagi ini adalah dua orang dayang.

"Racun Mandhakarma merusak ingatannmu," Milind berkata perlahan, sangat hati-hati, menatap teliti gadis di hadapannya yang pucat pasi.

Bibir Nami bergetar.

"Selendang kuning...?"

Milind tersenyum lembut, "Satu-satunya ingatanmu yang benar adalah tentang Kavra. Ia memang menolongmu di bilik pengobatan."

Nami menggigit bibir kuat-kuat. Tangan kanannya gemetar mempermainkan manik jali di pergelangan kiri.

"Apa kau mengingatku di bilik pengobatan?" Milind bertanya.

Nami tertunduk. Ujung matanya basah. Hulubalang Janur. Hulubalang Sin? Apakah kehadiran kalian saat itu hanya bayangan saja atau sesungguhnya kalian ada? Jerit hati Nami.

"Apakah kau mengingatku hadir di sana?" Milind mengulang tanya.

Tubuh Nami makin bergetar, berbisik, "Tidak, Tuan."

Milind mengangguk pelan, mencoba mengerti.

"Apakah ingatan hamba...salah?" Nami berbisik.

Milind tak ingin menjawabnya, tapi berujar, "Tak semuanya. Aji dan Usha sesuai ingatanmu."

Nami tetiba tertegak, berdiri.

"Dimanakah mereka?" tanyanya gusar.

"Mereka bersama dayang-dayang," Milind menenangkan.

"Hamba ingin menemui Aji dan Usha!"

"Mereka aman. Kau tak perlu khawatir."

"Apakah yang Tuan coba katakan tentang Hulubalang Janur dan Sin?" Nami merasa curiga. "Apakah Tuan berbohong agar hamba tak bisa menemui mereka lagi?"

Milind membelalakkan mata, tak mengerti maksud kalimat itu, lalu cepat menggelengkan kepala.

"Nistalit, dengarkan!"

"Untuk inikah Tuan memberikan hamba pakaian mewah dan pengobatan terbaik?"

"Apa maksudmu?"

Nami mengusap kasar wajahnya yang basah.

"Tuan pasti tahu, hamba dan dua Nistalit kecil itu melarikan diri ke Girimba."

"Ya. Kavra telah berkata jujur tentang kalian dan..."

"Tuan tak ingin menerima kami di sini," suara Nami parau, tak mempercayai ucapannya sendiri.

Milind tegang, menatap Nami tajam.

"Yang bersikap baik pada hamba hanyalah Hulubalang Janur dan Hulubalang Sin," suara Nami berbisik menghilang. "Tuan berkata bahwa mereka sekarang hanyalah bayangan semu?!"

"Aku berkata yang sebenarnya," Milind menegaskan.

"Kalau Wanawa memang tak dapat menerima Nistalit seperti Giriya dan Gangika, Tuan katakan saja. Tak perlu menyusun cerita yang mustahil."

"Nistalit! Jaga sopan santunmu!" Milind tersinggung oleh tuduhan itu.

Untuk pertama kali, dalam keadaan sadar, Nami menatap teguh panglima Wanawa di hadapannya.

"Hamba ingin bertemu Aji dan Usha," Nami memaksa.

Milind menarik napas.

"Nistalit, racun Mandhakarma merusak caramu memandang kami, Akasha Wanawa. Merusak caramu memandang orang-orang yang kau percayai."

Nami mengabaikan kata-kata itu. Pikirannya dipenuhi bayangan Aji dan Usha, juga Janur dan Sin yang bercakap-cakap dengannya.

Panglima Wanawa itu telah membohonginya!

Gadis itu membalikkan tubuh, meninggalkan Milind.

"Nami! Berhenti, kataku!"

Angin yang kuat bagai dinding di hadapan Nami, menahannya dari bergerak lebih jauh.

"Hulubalang Janur dan Hulubalang Sin hanyalah bayangan semu," Nami membalikkan badan, berbisik marah. "Apakah Aji dan Usha demikian?"

"Tidak. Aji dan Usha aman di sini, aku sudah mengatakan kepadamu!"

"Apakah hanya panglima Kavra yang bisa hamba percayai, walau ia sudah mengusir kami?"

Milind membenci betapa Nami demikian menaruh harapan pada panglima Gangika. Mata Nami digenangi air.

"Apakah Nistalit bisa berlindung di Wanawa, Panglima?" tanya Nami penuh keraguan. "Apakah…kami bisa percaya padamu?"

Milind menarik napas sepenuh dada.

Mengapa Kavra bisa mendapatkan kepercayannya sementara ia tidak?

Sejatinya, hingga hari ini ia justru semakin menyeret Nami dalam bahaya besar.

Milind tak dapat menjawab pertanyaan tersebut selain membuang pandangan. Ia telah berjanji mementingkan Raja Vanantara dan Wanawa di atas segalanya.

❄️💫❄️

"Panglima Milind!" terdengar hulubalang berteriak. "Ada penyusup masuk ke Girimba!"

Milind terhenyak.

"Dua dayang di bilik bawah tewas!"

Nami dan Milind berpandangan tegang, melupakan perdebatan sebelumnya. Keduanya berlari ke luar. Nami meraba pedang di pinggangnya, merasakan nyeri tetiba hadir mengingat Janur dan Sin.

"Kami tak melihatnya! Beberapa prajurit terbunuh!"

"Dia di tingkap dua dari bawah!" teriak Nami marah dan panik.

"Kau melihatnya?" tanya Milind cepat.

"Ya!" Nami berkata. Tapi ia hanya Nistalit yang butuh waktu untuk berlari ke sana.

Milind menarik lengan Nami, membantunya menunggang angin, walau gadis itu limbung dan harus bertelekan pada pegangan Milind.

"Katakan padaku mereka di mana, aku akan melemparmu ke sana!"

"Baik, Panglima!"

Tunggangan angin cepat membawa dua sosok di atasnya turun ke bawah.

"Lemparkan hamba di sini," Nami berbisik.

Milind melepaskan Nami ke jembatan terdekat, berteriak pada prajurit dan hulubalang yang bergegas datang.

"Beri tempat baginya!" teriak Milind tegas.

Nami melihat lima penyusup. Tempat ini dikenalnya sangat baik. Jembatan, pilar, bilik, pepohonan. Dua Pasukan Hitam tumbang di tangan Nami. Satu lagi berhasil dirobohkan. Yang kedua lolos cepat.

"Namiiii!" terdengar suara Aji.

Seorang dayang tampak kebingungan. Di belakangnya, sosok hitam tak tampak berdiri mengacungkan senjata.

❄️💫❄️