Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 205 - ●Madu Wanawa

Chapter 205 - ●Madu Wanawa

Sebagai pemimpin, ia harus mampu menyembunyikan prahara di dasar hati atau yang membadai di pusaran benak. Sesiapa yang menemui hanya akan mendapatkan tutur tenang dan sudut pandang jernih. Walau sesungguhnya, ledakan amarah ingin terlampiaskan.

Perasaan gagal menghantui.

Tak pernah dibayangkan perjalanan sebagai panglima Wanawa akan menemui jalan kesulitan serupa ini. Mandhakarma dan pengkhianatan Vasuki menghancurkan sebagian besar kekuatan wangsa. Hatinya dipenuhi keraguan : apakah sekutu Wanawa adalah pihak yang benar-benar kuat dan dapat diajak kerjasama?

Kavra harus segera kembali ke Gangika, tak ada alasan baginya untuk berlama-lama di Girimba. Ada yang terasa canggung ketika Milind tak dapat bersikap akrab pada panglima Gangika sementara ia merasa membutuhkan teman saat ini. Gosha terluka parah. Haga sibuk berjaga di Paksi, Guni panglima Mina belum seberapa dikenalnya. Bahar pun menjaga Jaladhi. Rakash jelas-jelas bukan sekutu Wanawa, satu-satunya yang ada di hadapannya adalah Kavra.

Bisakah aku mempercayainya? Milind merasa galau.

Melihat Kavra mengenakan selendangnya kembali, benak Milind muram bertanya-tanya. Apakah selendang kuning itu memiliki makna tertentu bagi Kavra, terutama setelah ia tanpa sadar melindungi Nami walau tak sepenuhnya berhasil?

"Apakah Nistalit masih memiliki tempat di Wanawa?" Kavra bertanya.

"Kenapa?" Milind balik melempar pertanyaan.

"Aku hanya bertanya," Kavra berkata perlahan. "Sepekan setelah Mandhakarma berhasil kau robohkan, kondisi semakin tak menentu. Pasukan Hitam sepertinya berkeliaran di wilayah Wanawa dan Gangika. Wujud tak kelihatan mereka telah banyak membunuh dan menimbulkan keresahan rakyat kita."

"Kau menyalahkanku atas peristiwa itu?" Milind menyelidik.

Kavra menatapnya tajam, "Apakah kau sangat perasa seperti ini, Milind? Mudah tersinggung?"

Milind membuang pandangan, berusaha menahan diri dari kekacauan pikiran.

"Kalau kau masih memiliki wilayah bagi Nistalit, aku bisa mengantarkan Nistalit berpengalaman untuk menjadi prajurit tambahan bagimu. Nistalit bisa mengenali Pasukan Hitam dengan mata mereka. Rahasia ini belum terpecahkan," ujar Kavra.

"Aku tak menyangka kau berkenan membantu Wanawa," Milind berkata jujur.

"Apa kau berpikir aku sangat jahat, Milind?" tanya Kavra. "Hanya karena Gangika bersekutu dengan Vasuki, bukan berarti kami sama seperti mereka dalam banyak hal."

"Kau bisa dikenali dari teman-temanmu," Milind berpendapat.

Kavra mengangguk, "Aku setuju. Tapi menyamaratakan setiap Akasha dan Pasyu, itu tak bijak."

Milind terdiam. Apakah ia salah mengenali Kavra selama ini? Ataukah, panglima Gangika telah berubah?

"Kau akan mengirimkan sejumlah Nistalit ke Wanawa?" tanya Milind, menegaskan.

"Ya, jika kau membutuhkan. Aku bisa mengaturnya," jawab Kavra.

"Apakah Nistalit perempuan itu akan kembali ke Gangika, atau tetap di sini?" tanya Milind.

Kavra menatap dalam sepasang mata gelap panglima di depannya, "Maksudmu, Nami?"

Milind tak menjawab, hanya balas menatap dengan pandangan teguh.

"Aku rasa lebih baik dia di sini," Kavra bergumam, menarik napas panjang. "Dia lebih aman di benteng Wanawa. Apalagi, di bawah pengawasanmu."

Milind terdiam.

Inilah masa-masa paling kelam Akasha dan Pasyu. Bahkan pertemuan panglima tinggi seperti ini tak ada jamuan, nyanyian, apalagi pesta perayaan. Semua terasa hening dan sepi dalam kebisuan mencekam. Setiap prajurit bergegas, rakyat masuk ke persembunyian.

Kavra tertahan sejenak di bilik Kahayun. Ia membalikkan badan, tegak berdiri berhadap-hadapan berdua dengan Milind.

"Jagalah baik-baik Nami," Kavra mengingatkan. "Ia berharga bagi Akasha dan Pasyu. Aku rasa, mantra hitam Mandhakarma membuatnya tersiksa dan beberapa bagian dari ingatannya ikut terampas. Tapi kurasa, kau akan bisa membantunya pulih."

Kavra terdiam sesaat.

"Mungkin, kalau ia berada di aula Kahayun yang berlapis mantra, akan jauh lebih baik daripada di bilik pengobatan," Kavra memberikan masukan.

Milind menggangguk hormat.

"Sampaikan salamku pada Paduka Nadisu dan Ratu Mihika," Milind mencoba ramah, "…juga Putri Padmani."

Kavra tersenyum, berpamitan.

Apakah Milind salah menebak ketika melihat sepasang mata Kavra tampak berkabut ketika ia mengucapkan nama yang terakhir?

❄️💫❄️

Apa yang diucapkan Kavra benar.

Milind terpaksa membawa Nami ke bilik kerjanya, setelah merasa gadis itu terlihat lebih membaik. Berbicara dengan Kavra sudah menegangkan, berbicara dengan gadis Nistalit itu lebih-lebih lagi. Terlebih karena ia tampaknya mencoba menghindari Milind.

"Mengapa Hulubalang Janur di luar?"

"Karena ada yang ingin kusampaikan."

Nami mengangkat tangannya, meminta Milind berhenti. Ia berusaha menahan rasa sakit yang mulai menjalari tubuhnya.

"Tidak bisakah Tuan bicara lewat Hulubalang Janur…atau mungkin, bicara lebih pelan lagi?"

Milind menarik napas, memandang gadis di depannya yang memejamkan mata kuat-kuat, tampak menahan nyeri sembari menggenggam kedua tangannya sepenuh tenaga. Sang panglima mempersilakan Nami duduk di depannya, pada meja jati besar yang dikelilingi bermacam bangku potongan kayu berkilap.

Sebuah cawan kosong dihidangkan.

Milind menuangkan minuman. Sengaja, mulut kendi dari tanah liat berukir diletakkan tinggi hingga suara gemericik air terdengar jelas. Ia menggeser cawan mendekati Nami, memerintahkannya dengan isyarat untuk meminumnya. Perlahan, cairan bening kekuningan mengaliri tenggorokan.

Manis.

Dingin.

Meluncur cepat menuju lambung.

Nami memegangi perutnya yang tetiba dipenuhi sentakan nyeri setajam ribuan jarum.

"Apa yang Tuan…?!"

"Nistalit, dengarkan aku!" Milind berkata pelan, nyaris berbisik.

"Diam!"

"Kau harus melawan sesuatu dalam dirimu!"

Nami merintih, mengumpat.

"Kuatlah! Minuman yang kusuguhkan akan membantumu, tapi kau akan merasakan kesakitan sangat. Kau sanggup?"

Nami berteriak, menutup telinga.

"Percayalah padaku," bisik Milind perlahan. "Kau tidak mengingatku, tapi kau pernah percaya padaku. Sekarang lakukan itu lagi. Minumlah cairan madu lebah Wanawa."

Nami memeluk dirinya yang terasa berasap. Berkeringat, basah kuyup. Tubuhnya melengkung, menahan rasa sakit.

"Minumlah," bisik Milind. "Kau harus berani dan kuat melawan hal buruk dalam dirimu. Mandhakarma sengaja merasukimu."

Mata Nami nyalang menatap cawan kosong di hadapannya.

Milind menuangkan kembali. Gemericik air terasa bisikan mimpi-mimpi gelap yang mengancam, menjanjikan kebohongan dan pemberitaan dusta. Kalimat-kalimat masuk ke telinga Nami yang mengatakan agar ia tak mempercayai sosok berbaju hijau di hadapannya.

"Lawanlah dirimu, Nistalit," Milind berbisik meneguhkan.

"…dia berbohong dengan racunnya…"

Nami memandang cawan yang disodorkan ke arahnya. Kepala terasa terhimpit, dada sesak. Aroma cairan bagai sengatan di penciuman. Tanpa sadar, tangan Nami menepis cawan itu hingga terbanting ke lantai.

Milind menatapnya tajam, Nami balas menatapnya nyalang. Tersenyum lebar, merasakan kepuasan, ketika melihat Milind setengah mati berusaha menahan diri untuk tak marah dan tetap tenang.

"…bagus! Buang saja racun di kendi itu…"

"Kau harus melawan dirimu."

"…omong kosong!..."

"Kuatkan dirimu."

"…dia berbohong padamu. Dia hanya penipu…"

Nami menatap Milind dengan tajam dan berani.

"Kau ingat siapa dirimu, Nistalit?" Milind mengeluarkan suatu benda dari balik lengan bajunya. "Kau pemberani. Kau kuat! Kau juga memiliki hati yang baik."

Sebuah boneka jerami, dengan baju daun hijau ditunjukkan Milind.

Mata Nami nanar menatapnya, kebingungan melihat benda di tangan Milind. Seperti pernah melihatnya, entah kapan dan di mana.

"Kau kehilangan dua gelang manikmu?" Milind memperlihatkan dua gelang di tangannya. "Aji dan Usha menyimpannya untukmu."

Milind memakaikan gelang itu ke pergelangan tangan Nami, menunjukkannya ke hadapan wajahnya, "kau ingat ini?!"

Nami memejamkan mata. Memohon sangat.

"Jangan membentak!" parau suara Nami, terdengar tercekik dan asing.

Milind menurunkan suara.

"Kau ingat dua gelang ini?" Milind berbisik. "Kata Aji dan Usha, itu gelang milikmu dan milik abangmu, Jalma."

Jalma, Nami mengingat. Seperti pernah mendengarnya.

"…dia berbohong. Jangan dengarkan…"

"Kuatkan dirimu. Minumlah cairan lebah madu Wanawa!"

"…buang saja cairannya! Racun itu hanya merusak kepalamu…"

Nami menatap boneka di tangan Milind. Merasakan gelang manik di pergelangan terasa mengikat kencang tangannya. Ia menyeringai. mengambil kendi minuman dengan kasar, membuka tutupnya.

Mata Milind terlihat tegang.

Nami mengangkat kendi tinggi. Menuangkan cairan ke lantai.

"…bagus! Buang saja racun itu…"

Milind terlihat menahan marah. Tangannya berniat merampas kembali kendi di tangan Nami, tapi kalah cepat.

Gadis itu membuka bibirnya lebar. Meneguk kuat-kuat dari mulut kendi, membiarkan cairan dingin itu membasahi kerongkongan hingga memenuhi seisi perutnya yang terasa tersayat-sayat.

Milind tertegun.

Tubuh Nami kejang, lalu layu, tersungkur di kakinya.

"…dasar bodoh!…"

"Kau kuat!"

"Kau hebat!"

"Aku bangga padamu!"

Suara-suara lembut menyapa telinga. Membisikkan kata-kata damai yang membuat jiwanya tenang kembali.

❄️💫❄️