Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 188 - Bayangan Salaka (4) : Pertengkaran Kecil 

Chapter 188 - Bayangan Salaka (4) : Pertengkaran Kecil 

Silva belum sempat menyampaikan kepada Candina informasi yang ingin disampaikannya terkait Salaka. Mendengar cerita tentang kejadian seratus tahun lalu dan ribuan tahun silam sudah membuat kepala pening. Demi melihat wajah pasi Candina yang harus mengerjakan beberapa gambar sebelum pameran, Silva merasa harus meredakan rasa ingin tahunya.

"Kalau kau siap, Salaka ingin menemuimu segera," ujar Candina.

Silva terdiam, merasa ini bukan waktu yang tepat untuk menyampaikan kecurigaannya terkait Salaka.

🔅🔆🔅

Jam istirahat makan siang dilalui anak-anak dengan menuju kafetaria, menyantap menu catering sembari berdiskusi banyak hal. Atau bagi yang menolak menu, kantin sekolah menyediakan berbagai penambah stamina otak untuk berjuang hingga sore hari. Favorit siswa : gorengan. Bakwan, tempe mendoan, tahu isi, tahu tempe bacem, risoles, lumpia. Selain sederet bakso dan olahannya mulai yang direbus hingga dipanaskan dengan minyak.

Jarang menjumpai Salaka berada di kafetaria atau kantin sekolah. Ia lebih suka menghindari gossip dan celetukan nakal para gadis.

Silva bergegas menuju tempat yang ditunjukkan Candina.

Di sana, di pohon kapuk randu, seseorang telah menunggu. Berbeda dari yang dibayangkan Silva bahwa pertemuan itu akan tegang, Salaka justru duduk di bawah pohon. Tangannya tengah merakit sesuatu. Dengan isyarat mata, Salaka meminta Candina meninggalkan mereka berdua.

Rok panjang sekolah, untunglah dilengkapi celana panjang di dalamnya. Kalau tidak, Silva kebingungan bagaimana harus duduk di bawah, berhadap-hadapan seperti ini. Walaupun berjarak, tetap saja merasa sungkan berduaan dengan lawan jenis yang diam-diam menimbulkan banyak rasa di dadanya.

Salaka mengeluarkan pisau kecil dari tempat pensil, mengikir potongan benda.

Silva mengikuti gerakan tangannya. Seperti sebuah puzzle rumit, yang dikaitkan dan dirakit membentuk benda tertentu.

"Sonna membelikanku," Salaka berujar. "Kubilang bahwa pikiranku sedang cemas dan buntu. Ia bilang, kakaknya sering merakit sesuatu kalau pikirannya tak menentu. Kurasa, ini cukup membantu."

Silva terdiam.

Salaka melanjutkan.

"Sonna menawarkan bentuk pesawat, gramofon, bola dunia, burung," Salaka menggumam.

Silva menyimak.

"Aku memilih bentuk perahu," Salaka berujar.

Silva mendengarkan, merasa aneh, lalu tetiba tawanya terlepas begitu saja. Salaka menatapnya curiga sembari melempar tanya, "Kenapa?

Ketika Silva berhenti tertawa, matanya lurus menatap benda rakitan Salaka.

"Itu sama saja ketika kamu ditraktir teman mau makan tahu bacem atau tempe mendoan atau bakwan sayur. Lalu dengan sopan kamu bilang 'Ohya terimakasih atas tawarannya. Saya lebih memilih bakso'. Artinya, kamu itu pinginnya sopan, tapi sebetulnya malah merepotkan," Silva berkata.

Salaka terdiam, angkat bahu kemudian.

Klak. Klik.

Klak. Klik.

Suara benda tajam mengasah tepian potongan puzzle yang masih harus dirapikan dengan amplas atau gigir pisau.

"Kamu bilang…butuh bantuan," pelan suara Silva.

Klak. Klik.

Klak. Klik.

"Aku…aku nggak tahu harus bantu kamu apa," suara Silva semakin samar.

Krrk.

Krrk.

Klik. Klik.

"Salaka?" tanya Silva.

Salaka menyelesaikan satu urutan badan perahu hingga membentu setengah dinding buritan kapal.

"Apa kamu percaya aku, Silva?" gumam Salaka.

Mata Silva membundar.

"Karena, kalau kamu tidak percaya padaku, sia-sia aku meminta tolong padamu. Sia-sia kamu mengerahkan tenaga untuk menolongku. Semua tak akan berhasil," Salaka menatapnya tajam.

Angin berhembus, menerbangkan dedaunan kering.

"Aku tidak tahu siapa kamu," jujur Silva berkata. "Aku juga nggak banyak tahu tentang Candina."

"Apa penting bagimu untuk mengetahui latar belakang seseorang, sebelum menolongnya? Tidakkah cukup alasan bagimu untuk membantu seseorang, ketika dia memohon dengan sangat?" tajam sindiran Salaka.

Silva menunduk, mempermainkan kuku di jari.

Bayangan lubang-lubang galian, berbagai benda yang diduga talud dan makara, namun belum pasti juga. Potongan benda serupa mahkota yang terbelah, sebuah patung yang sangat elok dengan senyum misterius. Bagaimana ia bisa mengolah semua informasi itu di dunia nyata, ketika saat ini setiap hal didasarkan pada logika? Bila segala sesuatu tampak tak masuk akal, tak memenuhi persyaratan sebab akibat, tidakkah sebaiknya ditolak saja? Walau di kelas seni seringkali ditekankan, terlalu mendewakan akal tanpa menyertakan nurani hanya akan membawa kegersangan pada dunia.

"Di masa lalu," Salaka mencoba berkisah,"…seseorang mudah membantu pihak lain, hanya dengan sekali permintaan. Bahkan, tak ada kesepakatan janji apapun. Kita mudah memberi, kita mudah berterima kasih. Kita mudah menolong, kita mudah memaafkan. Itu yang kukhawatirkan ketika perak benar-benar telah menghilang dari dunia."

Silva menelan ludah.

"Kamu sangat mudah curiga," Salaka menebak. "Kamu mudah berprasangka buruk pada orang. Kamu mudah mengira orang akan jahat padamu, padahal semua hanya bayangan hitam yang berkabut di kepalamu sendiri."

Silva merasakan ujung matanya panas.

"Kamu sudah pernah ketemu orang jahat, Salaka?" tanya Silva bergetar.

"Seumur hidupku kuhabiskan melawan Pasukan Hitam," gumam Salaka. "Mereka adalah perwakilan kejahatan paling mumpuni* di atas muka bumi. Kejahatan apa lagi yang kamu harapkan?"

Silva tak punya alasan untuk menyangkal, tapi ia merasa sangat marah dengan kata-kata Salaka. Entah bagian yang mana. Seolah Salaka merasa bahwa ia yang paling berpengalaman menghadapi orang-orang paling buruk. Seakan meragukan mengapa Silva memiliki sifat sensitif dan mudah curiga. Apakah pengalaman hidupnya dianggap terlalu remeh dibandingkan pengalaman hidup Salaka sendiri? Merasa tak punya argumentasi untuk melawan, Silva berdiri, membalikkan badan.

"Kau membatalkan bantuanmua?" Salaka mengingatkannya.

Langkah Silva terhenti. Dadanya sesak.

"Kalau kamu berpikir aku bisa membantu banyak, hanya karena namaku Silva, kamu sepertinya salah. Kamu bisa mencari bantuan yang lain," sentak Silva.

"Jadi, kamu membatalkan menolongku hanya karena marah? Hanya karena kamu berbeda pendapat denganku?" Salaka menegur lembut. "Rapuh sekali niatmu, ya."

Silva membalikkan badan, menatap Salaka yang masih sibuk dengan perahu rakitannya. Ingin rasanya ia melempar sesuatu ke arah Salaka, tapi tak mungkin dilakukan. Lagipula, apa yang akan terjadi padanya kalau ia berani bertindak kekerasan pada salah satu prajurit perak sekelas Salaka? Lebih baik menutup mulut, berdiam diri, dan nanti di kamar membanting barang-barang. Merusak sesuatu untuk melampiaskan emosi.

Gadis itu meninggalkan Salaka dengan cepat.

Baru beberapa langkah, seekor kucing mengeong lembut. Berlari ke arahnya, mengendus rok panjangnya. Mengelus-eluskan kepala di kakinya hingga kemarahan batu di dada Silva mencair seketika. Ia tersenyum kecil, mengusap ujung matanya yang masah dan hidungnya yang berair. Menggendong Cookies yang tampak manja. Teringat banyak meme para pecinta kucing yang tersebar di media sosial : hanya kucing yang dapat meredam marah di saat emosi sudah di ubun-ubun.

Silva mendekap Cookies, memeluknya. Walau ia Nimar atau siapapun, makhluk kecil berbulu ciptaan Tuhan ini ditakdirkan hangat dan lembut. Terdengar detak jantung Cookies, seiring detak jantung Silva sendiri.

Sebuah burung elang melayang diam, kepaknya mengembang senyap.

Ia berdiri di dekat perdu, tak jauh dari Silva berdiri. Matanya tajam menatap gadis di depannya.

🔅🔆🔅