Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 189 - Bayangan Salaka (5) : Ancaman

Chapter 189 - Bayangan Salaka (5) : Ancaman

Elang jawa itu menatap tajam.

Cookies menggeliat manja dalam dekapan Silva. Ada yang seolah memberati langkah untuk tak meninggalkan Salaka. Ya, mengapa harus marah padanya? Toh, ia hanya menyampaikan pendapat. Ketika Silva mencoba menenangkan diri sembari mengelus Cookies, ia membalikkan badan perlahan. Tampak olehnya Salaka tengah berkutat dengan perahu rakitannya.

Gadis itu menarik napas.

Apa tadi yang dikatakan Salaka?

Kalau pikirannya sedang cemas dan buntu. Jadi, pikirannya sedang tak menentu saat ini.

Sonna membantunya, karena Sonna tahu bagaimana Bhumi menghadapi masa-masa sulit menjadi kakak dan kepala keluarga. Sonna bisa memberikan jalan ke luar bagi Salaka, sementara dirinya justru marah hanya karena mendengarkan beberapa kalimat. Apakah selama ini ia menyulitkan keluarga besarnya termasuk bu Candra dan Rendra, lalu kemudian, Najma?

Salaka tampak termenung menatap separuh buritan kapal. Walau terlihat ingin menyelesaikan, jelas beberapa kali ia tertunduk melamun. Silva membayangkan, dirinya masih bisa mengunjungi banyak tempat. Bertemu bu Candra, mama yang terkadang membuatnya rindu dan kecewa sekaligus. Bertemu Rendra, kakak yang membuatnya berharap dan menangis di waktu yang sama. Sementara Salaka terpenjara dalam sebuah kehidupan selama ribuan tahun tanpa kepastian, entah di mana ibu dan kakaknya. Atau, entah apakah ia punya sanak saudara. Tubuhnya tak bisa melangkah lebih jauh ke luar dari Javadiva.

"Aku minta maaf."

Suara terdengar sengau dan aneh di telinga sendiri.

"Aku minta maaf, ya."

Kalimat kedua meluncur.

Dan tahukah kau, bahwa permintaan maaf itu seperti sungai mengaliri sumber-sumber kebahagiaan yang mengering? Masa yang demikian rusak pun dapat diperbaiki oleh perkataan tulus.

Silva seolah mendengar puisi berbait di kepala, mendengar seseorang berkata kepadanya, saat melihat Salaka menengadahkan kepala dan tersenyum samar kepadanya.

🔅🔆🔅

Silva mengucap maaf pada Sonna, yang tampak kebingungan.

Entah apa yang ada di kepala Silva hingga ia merasa lebih baik meminta maaf pada beberapa orang untuk memperbaiki hubungan, termasuk pada Najma dan Rendra.

"Kamu nggak papa 'kan?" telisik Najma, melalui pesan singkat, ketika Silva mengirim permintaan maaf.

Hal yang sama terjadi pada Rendra. Merasa aneh ketika Silva meminta maaf.

Dewasa ini, tetiba meminta maaf pada orang-orang di sekitar terdengar aneh, terkadang bukan ditanggapi secara positif. Seringkali kesadaran diri itu tidak dianggap sebagai moment introspeksi namun lebih kepada keinginan untuk…meninggalkan pesan sebelum pergi.

Walau Sonna merasa takjub dengan perilaku Silva yang sering tak tertebak, hubungan mereka malam itu terasa sedikit membaik. Setidaknya, percakapan hangat muncul. Cerita-cerita kecil tentang pelajaran hari itu, guru yang menyebalkan, gossip seputar siswa cewek yang pick-me-girl dan siswa cowok yang menjadi pusat perhatian. Salaka salah satunya.

"Kamu ngasih hadiah yang tepat buat Salaka," Silva memuji tulus.

"Hmh," Sonna menguap. "Itu karena aku sering ngeliat mas Bhumi sama Rasi ngutak-atik barang. Mereka suka banget benda-benda rakitan. Kalau Rasi koleksi gunpla gampang. Mas Bhumi harus nabung lama biar bisa beli satu."

"Jadi, kakakmu suka gunpla? Berapa sih harganya?"

"Lumayan sih. Bisa buat uang saku sebulan."

Silva tersenyum mendengarnya, kalau Bhumi ulang tahun, ia ingin membelikannya satu. Tak mungkin ia memberikan Bhumi cincin perak.

"Trus, karena gunpla mahal, kamu belikan Bhumi puzzle kayu bentuk pesawat?" Silva ingin tahu.

"He-eh. Aku patungan sama Rasi, pas ulangtahun Bhumi. Sebetulnya Rasi mau belikan sendiri, tapi aku bilang mau nebeng. Biar kelihatan aku urunan hahaha."

"Kamu adik yang baik, Son," bisik Silva.

"Ah, nggak juga," Sonna menolak, terkekeh. "Malah aku yang sering ngabisin uang jatah kakakku. Makanya pas ulang tahun pingin dikit-dikit nebus dosa."

Silva membalikkan tubuh, mengganti posisi. Sonna ada di seberang, menarik selimut hingga ke separuh muka.

"Aku pingin belikan hadiah berharga buat Mas Rendra," gumam Silva. "Kemarin udah kubelikan cincin perak. Tapi kayaknya barang segitu kemurahan buat dia. Hadiah apa ya yang cocok buat kakakku? Dia sih bisa beli apa aja."

"Hadiah itu menjalin ikatan rasa, Sil," Sonna berfilosofi. "Walau nilainya murah, aura cintanya sampai."

Silva tersenyum lebar, merasakan kantuk. Percakapan keduanya mulai ngawur, tak jelas ujung pangkal dan tanya jawabnya. Kalau sudah begitu, salah satu pasti akan jatuh tertidur disusul yang lain.

Salaka berkata ada tugas khusus untuk mereka, walau bukan malam ini. Sekarang waktu beristirahat dan mengumpulkan kekuatan. Mata Silva hampir terpejam ketika didengarnya Sonna bergumam kesal.

"Hadeeeh, sebel banget! Udah mau bobo, malah kebelet pipis!" gerutunya.

Salah sendiri, pikir Silva. Aku kalau mau tidur membiasakan bebersih diri, cuci muka, gosok gigi dan membuang hajat walau tak kebelet.

Alam mimpi hampir merebut semua kesadaran ketika didengarnya suara setengah berbisik dalam teriakan.

"Sil…?"

Silva menarik selimut, menutupi kepala.

"Silva…"

Silva menarik bantal, menutupi telinga.

"Silva…tolong, Sil…"

Ya Tuhan? Apa yang ketinggalan? Handuk? Celana di gantungan jatuh, sehingga butuh orang di luar kamar mandi untuk mengambilkan dan mengulurkan pakaian dalam? Atau tetiba datang bulan sehingga butuh pembalut?

"Silva…?"

Silva berpura tertidur. Kantuk luarbiasa menyerang. Lagipula, jika ia tertidur, Sonna bisa bebas berkeliling. Tak ada yang mengintip. Ia bisa mengambil handuk, pembalut atau pakaian dalam. Suara Sonna lirih memanggil namanya.

"Apa kamu perlu alasan untuk menolong seseorang?" suara Salaka tengiang.

Kelopak mata Silva membuka, berat. Kenapa juga nasihat Salaka harus teringat sekarang, batin Silva kesal. Gontai Silva duduk, kantuknya menggelayut dan ia berusaha menepis rasa kesal pada Sonna dan Salaka.

"Silva, hati-hati…" bisik Sonna memperingatkan.

Silva tetiba menarik kesadarannya. Berusaha memusatkan perhatian dan pandangan ke sekeliling. Didapatinya Sonna berdiri kaku di depan pintu kamar mandi. Tangannya gemetar. Tubuhnya menggigil. Kakinya juga. Matanya tertuju ke satu titik di depan.

🔅🔆🔅

Ular hitam itu tampak waspada.

Menunggu dengan tenang, seolah bergantian memperhatikan Sonna dan Silva. Secara teori, janganlah panik menghadapi hewan berbahaya. Secara naluriah, teriakan Sonna melesat kemudian, sembari ia melemparkan barang apapun. Melihat ular itu tampak agresif menghadapi Sonna, tanpa pikir panjang Silva mencari sesuatu sebagai pemukul.

Penggaris!

Hanya itu yang terlihat!

Ia berusaha memukul dengan penggaris besi sepanjang lima puluh senti yang hasilnya, ular itu berbalik menatap Silva marah dan melompat ke arah lengannya yang terbuka.

Clap!

Silva menjerit, merasakan nyeri luarbiasa merajam dua titik di lengan atas pergelangan, sekuat tenaga ia mencengkram kepala hitam itu. Mencekiknya. Memaksanya lepas dan membantingnya, sebelum Sonna berhasil mengambil akuarium kecil berbentuk bola kaca. Menghantam tubuh gilig hitam yang kejang sesaat lalu tetiba berlari cepat menghilang.

Akuarium bola pecah berkeping, menimbulkan bunyi retak yang ribut ke seantero asrama putri.

Sonna kebingungan, melihat lantai yang dipenuhi kaca sementara Silva terhuyung memegangi lengannya. Cepat Sonna mengambil selimut tebalnya, menghamparkan ke lantai, hingga aman baginya dan Silva berpijak.

"Sil? Silva?!"

Wajah Silva dipenuhi air mata, menahan sakit yang membuatnya sesak napas.

Dua titik merah kehitaman meninggalkan jejak dalam di lengan bawah bagian dalam.

Sonna memeluknya. Mengajaknya berlari ke luar, mencari pertolongan.

🔅🔆🔅