Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 190 - Bayangan Salaka (5) : Bisa

Chapter 190 - Bayangan Salaka (5) : Bisa

Penjaga asrama terlihat panik.

"Kita harus ke rumah sakit terdekat. Kamu lihat seperti apa ularnya?"

Sonna membelalak. Mana sempat memperhatikan?

"Antibisa ular harus disesuaikan dengan ularnya!" bentak penjaga asrama. "Gimana bisa nolong kalau kita gak tau jenis apa ularnya?!"

Silva terduduk lemas.

Bhumi dan Rasi bergegas ke luar dari kamarnya dan bergabung.

"Ambil penggaris-penggarismu, Ras, yang enampuluh senti," perintah Bhumi. "Aku pernah liat kayak gini di youtube. Kita harus jaga tangan Silva jangan sampai banyak bergerak. Racun gak menjalar lewat pembuluh darah, tapi lewat kelenjah getah bening. Semakin banyak dia bergerak, semakin cepat bisanya menjalar."

Sonna memeluk Silva yang gemetar. Rasi belarian mengambil barang, sementara anak-anak asrama berpelukan menatap Silva dengan ketakutan.

"Ambil kainmu, Son!" bentak Bhumi.

Mereka bergerak tergesa, membebat tangan Silva. Penjaga asrama mengeluarkan mobil, memerintahkan sebagian siswa membantu Silva masuk ke dalam. Penuh kepanikan, mereka menggas mobil ke luar Javadiva. Hampir saja mobil menubruk seseorang yang mengendarai motor dengan terburu. Supir dan pengendara motor sama-sama berteriak menyumpah.

"Mbak Najma?!" teriak Sonna.

Najma melepas penutup muka, menatap Sonna terkejut, "Ngapain kamu?"

"Silva, Mbak!"

"Kenapa dia?"

"Digigit ular!"

Najma meminggirkan sepeda motor, tanpa permisi ikut naik ke mobil dan menyuruh Bhumi untuk membawa motornya.

"Mbak ngapain malam-malam ke Javadiva?" tanya Sonna, sedikit lega.

"Feeling aja," gumam Najma, melihat ke arah Silva yang memucat dan menyandarkan kepala. Ia bertanya pada supir. "Rumah sakit terdekat mana, Pak?"

"Kabupaten!" supir tampak marah kepada Najma.

Najma tegang. Terlalu jauh, pikirnya.

"Mbak pernah nanganin korban gigitan ular?" tanya Sonna.

"Beberapa daerah penggalian rawan hewan berbahaya, ular salah satunya," Najma berkata. "Kamu liat ularnya kayak apa?"

Sonna menggeleng.

"Tau-tau aja ularnya ada di depan kamar mandi…Silva nolongin aku," Sonna sedikit terisak. "Tapi dia jadi korban."

Najma mengamati Sonna dan Rasi.

"Udah betul kalian kayak gini, jaga tangan Silva tetap lurus. Jangan bergerak!"

Najma menelepon seseorang.

"Mas Ragil," Najma menyebut nama, 'Silva digigit ular."

Terdengar helaan napas di seberang.

"Kamu di mana?"

"Javadiva," jawab Najma. "Lagi otw ke rumah sakit."

"Gimana kondisi Silva?"

"Menggigil, pucat, lemas."

Ragil terdiam, "ya…kita sama-sama berdoa, Naj. Semoga dia baik-baik aja."

Najma tampak tegang, tak puas dengan jawaban itu.

"Mas Ragil…" bisik Najma sedikit ragu, ia menghela naps panjang.

"Ya?"

Najma berpikir sejenak, menatap Silva yang tampak makin melemah ia menguatkan hati, "aku bawa artefaknya."

Suara teriakan di seberang membuat Najma menjauhkan telepon.

"Gila kamu! Kamu pernah ngamuk karena Silva mencuri sesuatu! Sekarang kamu lakukan hal yang sama??"

"Aku khawatir ini peristiwa yang gak biasa," gumam Najma.

"Apa yang mau kamu lakukan?"

Najma memangku ranselnya, membuka resleting. Telepon terjepit antara bahu dan pipi.

"Aku bawa potongan mahkotanya," bisik Najma.

"Naj! Kita belum selesai menganalisa manuskrip dan barang temuan! Kamu ngawur!"

"Setidaknya aku berusaha sebelum sampai ke rumah sakit."

"Najma! Jangan gila kamu!"

Najma mengeluarkan benda dari dalam tas ranselnya. Sonna dan Rasi memandang keheranan. Supir mobil melaju dengan kecepatan gila menembus udara malam.

"Apa itu, Mbak?" gumam Sonna.

"Kalian berdoa saja semoga alat ini bisa membantu Silva," perintah Najma.

Benda itu berbentuk aneh.

Seperti bongkahan batu, atau logam. Dengan guratan-guratan simbol yang tak dimengerti oleh mata biasa. Bagi sebagian orang, apa yang dilakukan Najma tak masuk akal. Tapi Najma mengalami banyak hal di luar nalar ketika bekerja di kantor cagar budaya. Masuksrip yang hilang tetiba, ruangan yang seolah berpindah dimensi, mimpi-mimpi yang melemparkan ke masa lalu. Sosok-sosok samar yang seakan berbicara dan menitipkan pesan tertentu.

Sesuatu terjadi padanya, pada beberapa orang yang terhubung dengan penggalian tim delapan hektar sejak mereka menemukan beberapa benda. Bongkahan benda logam yang entah berbentuk apa, satu telah diselundupkan Silva untuk diberikan pada Vlad dan Cristoph. Sebuah dinding panjang yang masih digali, patung seorang pangeran yang mahkotanya yang terbelah. Beberapa artefak aneh yang belum diketahui apakah itu senjata, perabotan, atau perhiasan.

Najma menemukan keanehan pada potongan mahkota yang semula disangka makara.

Saat membersihkannya dengan kape, entah karena melamunkan sesuatu atau pikirannya terbang mengembara, tanpa sengaja ujung tajam kape menembus telapak tangannya. Darah menetes. Walau ia terbiasa membawa perlengkapan langkah pertama pengobatan kecelakan seperti plester, luka yang cukup dalam itu meninggalkan jejak nyeri. Darah yang menetes di bongkahan mahkota itu menyusuri parit-parit kecil, pahatan halus yang masih tertutup lapisan lumpur. Warna merah melesat masuk, meninggalkan pola tertentu yang rapi. Luka di telapak tangan Najma masih terbuka, tapi nyerinya menghilang dan tampak sobekannya sembuh lebih cepat. Untuk memenuhi jalan logika, Najma tetap menempel bekas luka itu dengan plester.

Ketika mendengar Silva meminta maaf lewat pesan pribadi kepadanya, Najma merasa ada sesuatu yang tak beres.

Belum sempat ia mengontak siapapun, pesan dari Rendra masuk.

"Apakah Silva mengirimi kamu pesan aneh?" tanya Rendra.

"Ya, seperti permintaan maaf," Najma menjawab.

"Aku sedang di Jepang. Apakah kamu bisa mengawasi adikku, Najma? Aku khawatir."

Sebetulnya, sungguh malas berhadapan dengan si Samurai X yang menyebalkan. Tapi membaca kata 'adikku' ; ada yang meleleh di dada. Mengingat rentetan kejadian-kejadian aneh yang terjadi semenjak ditemukannya benda-benda purbakala di lubang penggalian resor; Najma tak bisa mengenyahkan begitu saja apapun yang terjadi pada teman-temannya. Pada Ragil, Bara, Mawar dan juga Silva.

Di sinilah ia sekarang, berjongkok di sela kesempitan mobil.

"Buka bebatannya, Sonna."

"Eh?" raut wajah Rasi seolah menolak. "Bahaya, Mbak!"

"Asal tangannya gak banyak bergerak. Ayo, cepatlah!"

Rasi dan Sonna melepas bebatan kain dan penggaris di lengan Silva.

Wajah gadis itu mulai memucat, berkeringat dan kedinginan. Bibirnya bergetar.

Najma mendekatkan bongkahan mahkota ke luka Silva. Gadis itu kebingungan sendiri. Saat ia terluka, darah menetes dan semuanya berjalan begitu saja. Sekarang, apa yang harus dilakukannya? Menempelkan bongkahan mahkota? Bagaimana jika justru semakin infeksi, mengingat artefak itu sudah berusia ratusan atau bahkan ribuan tahun?

"Ketika kita berhadapan dengan sejarah lampau," teringat kata-kata Ragil, "banyak hal tak masuk akal. Kenapa Borobudur bisa dibangun tanpa semen? Bagaimana candi-candi berdiri? Tempat apakah gerbang-gerbang batu yang ada di banyak candi dan bekas bangunan kerajaan? Seperti lift, seperti menuju ke dimensi lain.

Apakah zaman purba demikian primitif, atau sebetulnya akal kita, manusia modern yang sangat terbatas untuk memahami kejadian demi kejadian di masa lampau?"

Najma meneguhkan hati. Bagaimanapun, mereka masih lama tiba di rumah sakit kabupten. Berdoa dalam hati, ia mendekatkan sekali lagi bongkahan mahkota ke dua titik hitam yang membiru di lengan bawah Silva.

Silva melolong keras. Tubuhnya kejang.

"Hei? Hei?! Kenapa??" supir berteriak. "Jangan bikin panik! Aku bisa nabrak nih!"

Sesuatu yang tampak hitam, pekat dan bergelombang keluar dari kedua lubang gigitan ular. Memasuki parit-parit kecil bongkahan mahkota, mengiluti galurnya yang rapi dan membentuk pola. Beberapa lapisan tanah merekah dan luluh, jatuh mengotori lantai mobil.

"Silva, bertahanlah!" bisik Najma. "Bisikkan di telinganya doa-doa."

"Dia kejang!" Rasi berkata panik. "Apa racunnya mulai merusak saraf dan tubuhnya??"

"Sonna! Bantu Silva untuk terus terjaga!"

Dahi Najma berkeringat.

Uap hitam merambat keluar dari lengan Silva, tertarik ke bongkahan mahkota, namun begitu liat untuk dilepaskan. Silva menarik tubuhnya melengkung ke belakang, menahan sakit hingga ia sesak napas dan terengah-engah. Sonna berbisik di telinganya, menguatkan sahabatnya untuk bersabar dan bertahan. Mimpi buruk itu bagai tak berkesudahan ketika pada akhirnya Najma menyelesaikan urusannya.

🔅🔆🔅

Perawat bilang bisanya tak terlalu berbahaya, ketika tiba di rumah sakit kabupaten. Hanya ular biasa dan tak merusak organ tubuh ataupun saraf. Najma dan Sonna berpandangan, merasa lega, walau tak sepenuhnya percaya. Setidaknya Silva telah mendapatkan perawatan seperlunya.

Rasi dan Bhumi yang ikut berjaga tiba-tiba berseru.

"Teman-teman banyak membuat story! Beberapa kamar asrama di Javadiva diserang ular!"

🔅🔆🔅