Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 185 - Bayangan Salaka (1) : Gambar Candina

Chapter 185 - Bayangan Salaka (1) : Gambar Candina

"Kau kelihatan pucat," Salaka berujar prihatin.

"Aku baik-baik saja," Candina berkata. "Waktu kita tinggal berapa lama?"

"Aku kehilangan perhitunganku," jawab Salaka pelan. "Jujur, aku bahkan sudah tidak berhitung lagi. Aku hanya berpikir harus melakukan apa yang kubisa, secepat mungkin."

"Silva?" tanya Candina

Salaka terdiam, menggeleng kemudian, "Aku tak berharap banyak."

"Sonna?" tanya Candina lagi.

"Aku tidak tahu," Salaka menggumam. "Mengapa kurasakan Silva lebih mampu dari Sonna?"

"Kalau begitu, kau harus lebih meyakinkannya."

Salaka menarik napas panjang, "Bagaimana caranya?"

"Bahwa yang kau perjuangkan adalah kebaikan," Candina berkata.

"Itu sudah pernah kukatakan," Salaka menukas.

"Perlu kau katakan lagi, Salaka," Candina meneguhkan. "Tak cukup sekali kita harus meyakinkan orang-orang, tentang langkah kebaikan yang harus dilakukan. Kadang, sebuah nasihat atau peringatan, butuh puluhan sampai ribuan kali untuk dilontarkan agar orang mawas diri."

Salaka termenung.

🔅🔆🔅

Silva muncul di Dahayu.

Wajahnya tampak tegang dan ragu, namun matanya menyala.

"Candina, aku mau bicara," pintanya.

Candina, tengah melukis di ruang Dahayu.

Silva memandang lukisan Candina yang masih berupa sketsa, namun terlihat rumit dan rapi. Ia termenung, mengurunkan niat untuk langsung ke inti permasalahan.

"Kamu lagi apa?" Silva bertanya, menarik bangku.

"Menggambar," Candina menggumam.

"Kamu nggak ikut pelajaran?"

"Tidak."

"Kamu nggak dimarahi?" Silva penasaran.

Walaupun Javadiva sekolah bakat minat, kedisiplinan menjadi salah satu slogan utama selain memelajari hal-hal yang dicintai siswa.

"Tidak," jawab Candina.

"Kamu harusnya nolak kalau nggak suka mengerjakannya," saran Silva.

"Aku baik-baik saja," Candina tersenyum.

Aneh sekali, sekarang Silva merasa dirinya sudah mulai bisa melakukan percakapan-percakapan cukup panjang. Dulu ia hanya menjadi pendengar yang baik, atau pendengar penderita yang menjadi sasaran amukan dan tuduhan. Hanya saja, kadang ia tak dapat meneruskan kalimat-kalimat panjang karena harus banyak berpikir untuk merumuskan apa yang akan dikatakannya.

Bukan hanya merumuskan, seringkali ia merasa takut apa anggapan orang terhadap kata-katanya. Apa pikiran orang bila kalimatnya salah. Bagaimana bila orang marah ketika menangkap makna ucapannya, atau bahkan merasa tak senang hanya karena mendengar intonasi suaranya. Yang lebih membuatnya tertekan, ia merasa khawatir orang tak suka bertemu dengannya. Bukankah selama ini kehadirannya tak pernah diharapkan? Ia bahkan tak diinginkan hadir ke dunia sejak masih di perut ibu.

Bila, kehadirannya tak diharapnya oleh kedua orangtuanya sendiri, bagaimana ia bisa menghadapi kerasnya dunia?

Namun, jalan hidup demikian berliku dan penuh anugerah. Di sinilah ia, menjalani hari-hari di Javadiva, bertemu dengan teman-teman aneh yang membuatnya bisa bicara.

"Gambaranmu bagus," Silva memuji tulus. "Itu gambar istanakah?"

"Ya," gumam Candina.

"Khayalan atau kenyataan?"

"Entah, kadang terbersit saja di benakku."

Silva mengamati goresan halus dan tajam jemari Candina.

"Kamu memang sengaja mau gambar istana?" Silva ingin tahu.

"Bu Santi yang menyuruhku," gumam Candina.

"Hah?" Silva mengerutkan kening. "Buat apa?"

"Pameran."

"Pameran apa?"

"Ada pameran sekolah."

"Kapan?"

"Pekan depan."

"Kamu bisa?"

"Mungkin."

"Candina, kita punya tugas besar."

"Ya."

"Dan kamu masih mau menggambar?"

"Aku diminta bu Santi."

"Kamu nggak nolak?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Karena aku bisa."

Silva menarik napas panjang, "Kamu bisa ngerjakan ini semua seminggu?"

"Ya."

"Ya Tuhan…," gumam Silva. "Mustahil."

"Tidak," gumam Candina, terus menggambar.

Silva mengamati gerakan jemari Candina yang begitu luwes dan lincah, cepat menggunakan pensil dan kertas gambar besar yang terbentang di penyangga kayu. Apa yang dikatakan Candina sepertinya bukan hal mustahil. Ia lincah dan cepat menyelesaikan gambar.

Sebuah pendopo luas, dengan pilar-pilar tinggi menopang atap bangunan. Pendopo itu seperti sebuah ruangan yang terhubung dengan dunia luar. Selasar pendopo itu panjang, tampak dapat menampung orang-orang. Pendopo itu menjadi tempat pembuka sebelum mata tertumbuk pada pintu gapura berbentuk sayap kupu raksasa yang akan menjadi penghubung dengan ruang di belakangnya.

Silva merasa, gambar tempat yang digoreskan oleh Candina bukan berasal dari masa sekarang. Kemegahan, keanggunan, keindahan, keelokan yang seolah melemparkan semua yang ada di masa kini melebur masuk ke dalam sebuah era kejayaan lampau.

"Indah sekali," gumam Silva.

"Terima kasih."

"Imajinasimu hebat banget," puji Silva.

"Terima kasih."

"Sepertinya kamu buat beberapa yang kayak gini. Betul, kan?" Silva mengingat-ingat.

"Iya. Itu sebabnya bu Santi minta aku buat beberapa untuk pameran."

Silva menarik napas panjang. Merenung menatap gambar yang dikerjakan Candina. Jelas itu bukan gambar rumah biasa. Mungkin saja rumah mewah yang banyak ditemuai di real estate mahal. Rumah bu Candra dan papa pun megah , memiliki banyak adaptasi dari kastil mewah Eropa juga ornamen-ornamen unik Maroko. Tapi terasa sekali milik Candina bukan seperti itu. Kerumitan gambar yang dihasilkan seperti berasal dari sebuah ketekunan orang-orang yang mengabdikan diri untuk memahat kesenian yang indah dan halus.

"Candina…"

"Ya?"

"Tentang Salaka…"

"Ya?"

"Seberapa jauh kamu mengenalnya?"

Candina terdiam.

"Kamu kenal Salaka dengan baik?"

Candina terdiam, mengangguk tegas sembari berkata, "Ya."

"Berapa lama?" Silva menyelidik.

Candina menoleh ke arah Silva, menatap tajam.

"Cukup lama –yang pasti lebih lama darimu –untuk yakin bahwa Salaka berjuang untuk sebuah kebaikan."

"Kamu tahu siapa dia?"

Candina menarik napas, wajahnya tampak pasi. Silva cemas melihatnya.

"Candina, aku dengar kamu sakit," bisik Silva. "Kenapa maksain diri seperti ini?"

"Aku…," Candina kembali menarik napas, "…aku harus selesaikan gambar-gambar dan lukisanku."

"Iya, tapi nggak harus sekarang kan?"

"Harus secepatnya," bisik Candina,"…kadang aku merasa waktuku tak lama lagi."

"Kamu jangan nakutin aku, dong."

Candina mencoba tersenyum.

"Kenapa kamu bertanya tentang Salaka?" Candina meminum air putih dari botol, kembali berkubang dengan gambarnya.

Silva terdiam. Berperang dengan pikirannya sendiri. Matanya mengawasi gurat-gurat gambar yang dihasilkan Candina. Apakah ia harus berterus terang tentang Salaka? Apakah Candina berpihak pada Salaka ataukah mau mendengarkannya? Apakah Salaka membawa kabar baik, ataukah sebetulnya bencana bagi mereka semua?

"Candina, aku ingin sekali mendengar cerita tentang kamu," bisik Silva. "Seutuhnya."

"Buat apa?"

"Aku ingin bantu kamu. Aku sedang melakukan banyak hal…ada kejadian-kejadian aneh yang aku nggak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku…"

Jemari Candina terhenti.

"Apa kamu percaya aku, Candina?"

Candina duduk dengan anggun, jemarinya yang memegang pensil, terdiam di pangkuan.

"Aku percaya kamu, Silva."

"Kalau gitu, aku pingin dengar cerita tentang dirimu. Gimana kamu bisa sampai ke sini," bisik Silva.

Candina tak menjawab, matanya lurus menatap ke gambarnya.

"Aku juga ingin tahu tentang Salaka," Silva berujar pelan. "Habis ini, aku akan ceritakan sama kamu apa aja informasi yang sudah aku dapatkan sepanjang aku nggak bersama kalian."

🔅🔆🔅