Candina mengawali kisahnya.
"Dunia sedang dilanda perang panjang. Kelaparan, kematian, pembunuhan. Tapi bukan hanya perang yang mengintai nasib buruk manusia. Sebagian orang-orang amat kaya memburu harta karun dan benda-benda purbakala yang ternilai harganya. Di Indonesia pun demikian, terlebih di tanah Jawa. Benda-benda purbakala diambil, bahkan dihadiahkan bagi raja-raja yang bersekutu dengan Belanda saat itu. Tak terhitung banyaknya arca, manuskrip dan artefak yang lari ke luar Jawa."
Candina menghela napas.
"Selain sebagai hadiah, benda-benda itu juga dijual di pasar gelap dengan harga sangat mahal. Walau situasi dunia saat itu sedang tak menentu, ternyata penjualan benda-benda purbakala sangat laku di pasaran. Itulah sebabnya, kakekku dan ayahku bekerja pada Meneer* Belanda, seorang pengusaha dan juga peneliti."
Candina terpekur.
"Aku gadis yang nakal. Saat usiaku sepuluh tahun, aku seperti anak laki-laki yang suka naik-naik pohon, mengejar ayam-ayam, main perang-perangan. Kami diharuskan belajar memasak dan merawat adik-adik yang kecil, supaya kelak siap berumahtangga; tapi aku justru menolak. Aku tidak suka semua itu. Aku lebih suka mengintip para Meneer, serdadu Belanda, termasuk kakek ayahku menggali tanah."
Silva menahan senyum.
Sulit membayangkan Candina sangat tomboy, ketika sekarang penampakannya justru demikian anggun dan lemah lembut.
Candina melanjutkan.
"Aku sempat bersekolah di sekolah khusus pribumi. Aku mahir membaca, menulis dan matematika. Cita-citaku ingin jadi guru, tapi aku menghabiskan waktu di lahan-lahan penggalian milik kakekku, yang sebetulnya milik para Meneer. Suatu saat, aku mendengar cerita kakek dan ayah, tentang kerajaan-kerajaan di Jawa yang dipenuhi misteri. Banyak kerajaan megah yang hilang tak tentu rimba. Banyak raja, mahapatih dan bangsawan yang moksa** ; mereka dianggap menghilang atau memiliki kekuatan dewa."
Silva menyimak.
"Desas desus tentang artefak atau mantra dalam manuskrip yang mampu membuat usia panjang bermunculan. Aku tidak tahu datangnya dari mana cerita itu, tapi penggalian semakin banyak, walau perang di Nusantara semakin berkecamuk juga. Jika tanah-tanah galian tidak ditemukan artefak atau jejak apapun; tanah itu menjadi lubang kuburan massal. Entah bagi serdadu Belanda atau bagi rakyat Indonesia."
Candina tersenyum getir.
"Kakek atau ayahku tidak pernah mendaftar sebagai tentara republik. Mungkin, karena kedekatan keluarga kami dengan para Meneer, seringkali dianggap pembelot. Atau justru pengkhianat. Meski dianggap demikian, aku tahu dengan pasti, kakekku dan ayahku sama sekali tak pernah berkhianat. Kami justru, membagi harta untuk anak-anak yang orangtuanya mati di medan perang. Menyantuni janda-janda yang ditinggalkan para tentara republik."
Silva merekam baik-baik semua dalam catatan benak.
"Diam-diam, desas desus tentang istana yang terkubur, manuskrip atau artefak yang mampu memperpanjang umur itu tersebar dari mulut ke mulut. Walau tembakan terdengar di sana sini, penggalian tak pernah berhenti. Kecuali jika memang benar-benar ada yang mati dari para penggali dan tim purbakala."
"Apakah kamu pernah melihat barang-barang yang ditemukan kakekmu?" tanya Silva.
Candina menoleh ke arahnya, "Bolehkah aku selesaikan ceritaku dulu? Aku takut ada yang hilang dari penjelasanku."
Silva menutup mulutnya, "ups, sorry!"
Candina tersenyum.
"Tapi baiklah, kujawab sedikit pertanyaanmu. Barang-barang yang pernah kulihat? Banyak sekali. Senjata, alat rumah tangga, perhiasan, alas kaki, pakaian; semua alat-alat kecil atau barang yang bisa diangkut; pernah kulihat. Lalu barang-barang yang besar seperti arca, altar pemujaan, gapura, sampai kolam-kolam pemandian. Aku pernah melihat semua. Sayangnya saat itu, tak ada alat untuk merekam semuanya. Kalaupun ada foto-foto, sangat terbatas. Tak seperti saat ini. Itulah kenapa aku ingin sekali menuangkan segala yang kuingat ke dalam gambar-gambar dan lukisan."
Silva membuang napas, mulai mengerti. Mengapa Candina memaksakan diri untuk memenuhi permintaan bu Santi demi menggambar berbagai macam pemandangan dan bangunan untuk pameran Javadiva. Bu Santi melihat Candina memiliki bakat dan minat yang tinggi di bidang kesenian serta sejarah, tanpa tahu bahwa Candina adalah sosok ajaib yang menjadi saksi sejarah panjang.
Ada bagian yang sangat ingin Silva tanyakan, bagian yang menyangkut Salaka. Namun, ia menahan diri untuk tak mengeluarkan suara. Khawatir Candina akan kehilangan minat bercerita.
"Suatu saat, usiaku enambelas tahun. Mungkin saat itu sekitar tahun 1926. Aku dianggap sudah terlalu tua, aku harusnya sudah punya satu atau dua anak."
Silva membelalakkan mata, menatap Candina yang tertawa kecil tak percaya.
"Ya," Candina terkekeh pelan. "Usia enambelas tahun saat itu aku sudah dianggap anak perawan yang harus segera menikah."
Silva dan Candina berpandangan, saling melempar senyum yang aneh betapa dunia dapat jungkir balik dalam waktu beberapa generasi.
"Aku harus segera menikah, tapi para pemuda republik sedang sibuk berperang. Tak banyak juga yang melirik padaku yang dianggap sebagai keluarga pengabdi penjajah. Satu-satunya yang meminang ke ayahku adalah seorang Meneer, usianya lebih tua dari ayah. Ia seusia pakdeku! Mungkin sekitar limapuluh tahunan. Sebagian masyarakat saat itu beranggapan, menjadi Nyai*** atau istri tuan Belanda adalah keberuntungan. Hidup terjamin. Perhiasan, pakaian, kereta kuda bahkan saat itu sudah ada mobil; semuanya ada."
Candina menerawan jauh ke depan. Silva menatapnya sendu.
"Tapi aku tidak mau. Aku merasa, hidup sangat terbelenggu. Aku masih suka mengikuti kakek dan ayah, menggali benda-benda purbakala. Betapa mengasyikkan hidup di era ribuan tahun lalu, bahkan membayangkan istana dan para naga terasa menggairahkan! Bertemu para pangeran dan melihat para putri…sungguh kehidupan yang indah menawan dibandingkan duniaku yang dipenuhi peperangan."
Candina memeluk dirinya sendiri.
"Kehidupan begitu sulit saat itu. Buruh tak digaji. Para guru bergabung menjadi tentara. Rakyat kelaparan. Penjarahan dan pemenjaraan setiap hari terjadi. Walau takut pada serdadu Belanda, pemberontakan juga mulai menjalar ke mana-mana. Keluargaku hidup berdasar belas kasihan Meneer dan bisa kau tebak, apa yang harus kulakukan?"
Silva mengangguk tanpa sadar.
"Ya," bisik Silva. "Kau pasti harus menikah."
Candina mengangguk.
"Suatu senja, aku melarikan diri. Kakekku, yang sangat menyayangiku, tahu bila aku tak ingin berakhir seperti ibuku yang sakit-sakitan dan punya anak banyak. Aku ingin belajar, aku ingin jadi peneliti. Ia memberiku sebuah kenang-kenangan, barang langka yang jarang dimiliki pribumi."
Silva dapat menebak barang itu.
"Kakek menunjukkan sebuah tempat padaku : Sumur Wiswa. Kau pernah dengar, Silva?"
Silva menggeleng.
"Kau harus baca buku sejarah terutama yang berkaitan dengan beberapa legenda rakyat," Candina berujar. "Carilah makna Sumur Wiswa."
Silva menarik napas, merasa bergairah.
"Sumur Wiswa adalah sebuah lubang, yang tampaknya hanya seperti sebuah gua di akar pohon. Tapi di dalamnya, terdapat sepuluh lorong yang menuju ke berbagai tempat. Aku melompat ke dalamnya, berbekal hadiah kakekku. Saat itu, sinar matahari masih dapat menerangi tempatku berdiri. Pada sebuah titik pusat, sebelum Sumur Wiswa memecah menjadi sepuluh lorong; ada seseorang berdiri di sana. Ia tampak tengah merenung, menunggu."
Candina menatap ke arah Silva. Tanpa perlu bertanya dan menjawab, mata keduanya telah berbicara.
🔅🔆🔅
__________
*Meneer (bhs. Belanda) : tuan
**Moksa (bhs. Hindu) : menghilang, biasanya dalam konteks keajaiban. Seperti menghilang naik ke surga
***Nyai (bhs. istilah) : istilah zaman dulu untuk menyebut perempuan pribumi yang diperistri tuan Belanda