Hutan panjang yang berada di tepian Loh Dhamarga merupakan jalur panjang Gangika, Giriya dan Girimba milik Wanawa. Sin memberi tahu Nami, bahwa bila ia bisa menghindari wilayah Gangika dan Giriya, kecil kemungkinan bertemu Nistalit bercakar. Mereka tak mungkin memasuki wilayah Girimba yang juga dilindungi mantra Wanawa. Walau Nami meragukannya; pertemuan pertama dengan Nistalit bercakar ketika melarikan diri dari Vasuki dahulu, justru terjadi di hutan Girimba.
Malam itu, Nami meminta Aji dan Usha sama-sama berjaga di ketinggian pohon. Walau kantuk menyerang sangat, mereka harus berpelukan kuat untuk saling melindungi. Dalam ketegangan dan remang cahaya bulan, satu masa dilalui dengan selamat hingga pagi.
Turun dari pepohonan, Nami merasa beberapa mata mengintai.
"Aji, Usha, gunakan selalu akal kalian," Nami memerintahkan. "Jika aku tak ada, kalian harus saling menjaga!"
Nami mengamati sekeliling cepat.
"Kita akan berlari sekuat tenaga menuju hutan Girimba. Kau lihat? Dari atas pepohonan tadi, warna Girimba jauh lebih hijau dari warna hutan milik Gangika dan Giriya. Saat ini kita di perbatasan, jadi cepatlah!"
Nami menyuruh Aji dan Usha berlari cepat.
Beberapa gerakan gontai namun kuat muncul dari balik pepohonan. Nami meraba kapak bertalinya, melemparkan ke arah lawan. Mencabutnya kembali. Saat roboh, pisau mantra Sin digunakan untuk menikam dada hingga Nistalit bercakar itu benar-benar tak bangkit lagi dengan tubuh membelah diri. Tak banyak yang harus dilumpuhkan, membuat Nami sesaat mempercayai Sin, bahwa mereka cukup jauh dari bahaya dan bergerak aman menuju Wanawa.
Baru satu tarikan napas lega, terdengar teriakan tertahan.
Kaki Aji terluka, saat ia menyelamatkan Usha. Seorang prajurit berbaju hitam dengan wajah bengis berusaha melukainya.
"Vasuki?" benak Nami berseru.
Nami mengambil pedang di pinggangnya, berusaha melindungi Aji dan Usha.
"Kalian naik pohon! Cepat!"
Suara pedang beradu.
Tendangan dan pukulan.
Sumpah serapah dan caci maki.
"Nistalit sampah! Kucincang kau sekarang! "
Nami tak menghiraukan ejekan.
Ia memusatkan perhatian pada gerakan lawan. Mengapa mereka tak bercakar? Mengapa mereka lebih memilih menggunakan senjata?
"Kalau kau mati di tanganku, aku akan mendapatkan hadiah dari para ratu! Kau dan dua Nistalit sampah itu, menggenapi tigaratus Nistalit yang kubunuh!"
"Biar aku! Aku ingin mendapatkan sepuluh permata, bila menambah jumlah mayat Nistalit sampai seratus!"
Musuh tak imbang.
Apalagi, Nami kelelahan sepanjang malam tak istirahat.
Satu tendangan bersarang di pinggang, disusul satu pukulan di bahu. Gadis itu terhuyung.
Hampir terjatuh, bertelekan pada pedangnya.
"Kau! Urus Nistalit kecil di pohon. Aku urus yang ini!"
Nami menegakkan tubuh, geram.
Berlari ke titik yang dituju, bertarung dengan hati-hati mengingat tenaganya berkurang. Pedang-pedang Vasuki masih dapat ditangkis. Jumlah mereka yang berlipat membuat Nami kewalahan. Jika harus seorang diri, ia sanggup. Tapi perhatiannya terbagi melindungi Usha dan Aji yang terluka.
"Keterlaluan!" bentak Nami. "Vasuki dan Giriya hanya berani menyerang anak kecil?!"
"Tak usah banyak cakap! Kalah berarti mati!" bentak prajurit Vasuki.
Nami memukul batang pohon, berteriak ke arah Aji dan Usha.
"Kalian dengar perintahku?!"
Matipun tak mengapa, pikir Nami. Tapi Aji dan Usha harus selamat.
Nami berusaha mengosongkan satu jalur, pedangnya bergerak kuat dan tepat. Walau pertarungan berat sebelah, prajurit Vasuki tampaknya tak berani meremehkan. Satu sisi yang berhasil dilumpuhkan, menjadi celah bagi Nami untuk mendorong Aji dan Usha pergi.
"Nami?!"
"Lari!" Nami berteriak tegas. Memerintahkan keduanya memanfaatkan kesempatan.
Vasuki tentu tak melepas, mereka mengejar Aji dan Usha. Sebagian menghalangi Nami.
Hati Nami berteriak keras, "Penguasa Langit! Selamatkan Aji dan Usha!"
Satu tamparan membuat goyah. Nami membentur pohon keras, membuat prajurit Vasuki terbahak bersama dan bergerak mengeroyoknya.
Gadis itu terjatuh.
Melihat dua pasang kaki kecil berlari menjemput takdir, dalam kejaran langkah prajurit bengis.
Samar, benturan bilah pedang terdengar sengit.
Dua sosok cepat membelah kerumunan. Pedang-pedang Vasuki bagai ranting kering yang tak bertenaga.
"Panglima Kavra?" sentak seorang prajurit, terkejut.
"Aku tak suka perkelahian melawan budak atau anak!" desis Sin geram.
Kavra hanya menggunakan satu tangan, bergerak anggun dan cepat, menerobos pasukan Vasuki. Mencegah mereka merobohkan Nami yang berdiri gemetar.
Kavra melihat bagaimana Nami berjuang mati-matian menyelamatkan Aji dan Usha, merasa geram melihat pergerakan Vasuki.
"Biarkan aku yang menyelesaikannya, Vasuki!" Kavra berujar.
"Kami harus membawanya ke istana," ujar pemimpin pasukan, memberi hormat.
"Kukatakan sekali lagi : biar aku yang menyelesaikannya!" sentak Kavra, membubarkan pasukan Vasuki yang kebingungan.
❄️💫❄️
"…terimakasih atas …bantuan …," terbata suara Nami.
Kava berujar dingin menyela, "Aku telah berjanji pada Vasuki dan Giriya untuk menghabisi Nistalit pembangkang."
Sinar mata Nami redup.
"Raja Tala sangat membenci hamba. Bila hamba mati, itu akan membuatnya senang," suara Nami bergetar dalam permohonan dalam."Hamba rasa …Raja Tala tak akan mempermasalahkan Nistalit lain."
Kavra tersenyum sinis, "Kematianmu kurasa cukup."
"Panglima!"
"Diam, Sin! Kau ingin aku melemparkan pedang ini padamu juga?"
Nami menoleh ke arah Sin, melemparkan senyum kepadanya.
Aji dan Usha, menjauhi Nami, menahan tangis dan merapat ke arah Sin.
Wajah gadis itu menunduk, walau dagunya mencoba tegak.
Kavra menghunuskan pedang. Tepian tajamnya mengarah ke leher Nami. Menekan dengan ujungnya yang runcing, hingga tetesan darah mengalir cepat membasahi pakaian.
Nami merasa, ini adalah akhir hidupnya. Tidak! Tak ingin dihadapinya dengan ketakutan. Telah dilalui seluruh hidup penuh keberanian. Mengapa di depan Kavra harus tunduk, pada sebuah kesalahan kecil yang terlalu diagungkan oleh sebuah kekuatan yang menganggap kastanya paling tinggi?
Nami mengangkat wajah.
Matanya tegak menatap Kavra yang tengah menatap tajam ke arahnya. Segurat garis tipis di bibir Nami naik, mencoba tersenyum dan mempersilakan Kavra meneruskan keinginannya.
Mata Kavra melihat darah mengalir dari tepian leher Nami.
Suara Pandhita Akara terngiang.
"Berhati-hatilah terhadap mereka yang kau injak dan kau tindas. Mereka bisa mengalahkanmu dengan telak, dengan kekuatan yang tak bisa kau tepis."
Kavra melepaskan hunusan pedangnya.
Membalikkan badan.
Amat marah pada dirinya sendiri.
Nami gemetar, merasakan separuh nyawanya telah menghilang. Kepalanya pening, dadanya sesak.
"Antarkan mereka ke Wanawa, Sin! Jangan pernah kembali ke Gangika!"
❄️💫❄️
Di biliknya, Kavra menyandarkan kepala ke pilar.
Bagaimana mungkin tak sanggup menebaskan pedang?
Sepasang mata tenang Nami menatapnya. Ia dapat mendengar gemuruh di dadanya sendiri, yang selalu dipenuhi ledakan kemarahan, bagai takluk lumat di depan kelembutan dan keberanian gadis itu.
Kavra mengepalkan tangan. Memukul keras pilar di biliknya.
Didengarnya suara Nami bercakap-cakap dengan Sin dan para Nistalit yang lain. Ia melihat bagaimana gadis itu merawat luka para Nistalit, menghibur mereka yang menangis. Membagi makanannya dengan para Nistalit, walau ia seharian tak mendapatkan makanan layak.
Kavra mengepalkan tangan. Memukul keras pilar di biliknya.
Seharusnya mereka tak diizinkannya datang ke Gangika!
"Panglima Kavra, biarkan Nistalit kecil lolos," ujar Nami.
Suaranya penuh permohonan.
"Cukuplah kematian hamba," Nami berbisik.
Suaranya yang tulus.
Kavra memejamkan mata. Ingin bersemedi, namun hatinya yang kacau tak dapat memandu. Tubuhnya begitu lelah hingga ia terhempas di peraduan. Sepasang matanya terbuka. Letih menyergap, anehnya tak ingin terpejam. Setiap kali kelopak terkatup, bayang wajah seseorang memenuhi ruang-ruang di benak.
Kavra menggertakkan gigi.
Apakah ini yang dirasakan Milind ketika berhadapan dengan Nistalit perempuan itu?
Ia mengalami keguncangan…dan juga, nyala kehidupan yang belum pernah dialaminya? Merasakan debar aneh yang membuat napasnya bergerak lebih cepat, debur tak menentu yang memenuhi dada dan kepala. Sebuah gelombang yang disangkanya sebagai amarah, ternyata letupan rasa bagai anak kecil melihat bintang terjatuh.
Mengapa ia tak merasakan ini ketika berhadapan dengan Padmani, putri Raja Wuha?
Ia sangat marah kepada Nami sejak pertama kali bertemu. Apalagi ia berpihak pada Wanawa dan menghabiskan waktu di Girimba. Gadis itu selalu mampu memicu kemarahan, walau Kavra tak tahu mengapa harus melampiaskan kemurkaan pada kesalahan kecil yang dilakukanya.
Apakah ia tengah menyembunyikan perasaannya sendiri?
Kavra bangkit dari pembaringan. Melipat kaki. Bersemedi.
Ia adalah panglima kebanggaan Gangika, kesayangan Raja Nadisu dan Ratu Mihika. Tak akan dibiarkan dirinya berlarut dalam pikiran tak menentu. Kavra menarik napas panjang, mengatur udara yang lalu lalang di dada. Dapat dirasakan ketenangan luarbiasa mengaliri diri. Matanya tertumbuk pada pedang dan tombak. Andaikan Nistalit itu mati di tangannya, seperti apa penyesalan yang akan dialami seumur hidup? Muncul segurat rasa sakit berdenyut yang buru-buru ditepisnya.
Tugas sebagai panglima masih banyak menanti.
Mandhakarma dan segala ancamannya harus mendapat perhatian penuh.
❄️💫❄️