Kerajaan Wanawa yang sebagian dipindahkan sementara ke Girimba tampak tenang.
Kehidupan berjalan dalam kesibukan seperti biasa. Rakyat jelata, pedagang, prajurit, seniman, tabib, bangsawan; semua menempati pekerjaan masing-masing. Milind memang tertunda kembali ke Girimba sebab banyak hal harus diselesaikannya di Gangika. Ia tak punya waktu lebih lama beristirahat, Yami dan Nisha segera menemuinya.
Milind dapat melihat ketegangan dan kecemasan di wajah kedua putri. Di sisi keduanya, Hulubalang Janur dan Hulubalang Jawar mengiringi.
"Jawar?" Milind tersenyum memandangnya. Ia menyerahkan seluruh tugas Giriwana kepada salah satu hulubalang andalannya.
Memandang Janur dan Jawar bersisian, Milind berharap Wanawa memiliki banyak lagi hulubalang seperti mereka.
"Mengapa kau tinggalkan Giriwana? Kau harus mengawal Raja Vanantara," tegur Milind, setelah sejenak merasa senang mendapati Jawar bertanggung jawab terhadap tugasnya.
"Hamba tinggalkan Paduka bersama Pandhita Garanggati," jelas Jawar. "Baginda memohon pandhita tidak kembali ke Kawah Gambiralaya, sebab membutuhkan banyak masukan dari beliau."
Milind mengangguk, teringat ucapan Rakash betapa Raja Vanantara sangat dekat dengan Garanggati sejak beliau masih menjadi panglima hingga menjadi pandhita yang mengawal pusaka kerajaan Wanawa.
"Panglima Milind," Jawar berujar cemas, "apakah sesuatu menimpa Baginda saat di Gangika?"
Milind menatapnya tajam.
"Kenapa dengan Baginda?" tanyanya segera.
"Baginda Vanantara sepertinya kurang sehat," Jawar menjelaskan. "Hamba tidak tahu kenapa."
"Paduka mengeluh sakit?" tanya Milind.
"Sama sekali tidak," Jawar menggeleng. "Namun hamba dapat melihat jika terkadang Baginda saat berjalan, tiba-tiba berdiri mematung, seolah menahan rasa sakit. Atau ketika memimpin rapat dengan para petinggi kerajaan, Baginda mengeluarkan pedang dan bertelekan di atasnya. Seolah menopang tubuh beliau yang akan ambruk."
"Kau berkunjung ke bilik peraduan Baginda?"
"Beliau tidak mengizinkan," Jawar menukas cemas.
"Bagaimana dengan Paduka Garanggati?" Milind mencecar. "Beliau tahu Baginda sakit?"
"Atas saran beliaulah, hamba datang ke Girimba," Jawar menjelaskan.
Milind menahan napas. Memejamkan mata sejenak.
"Bila kau membangkang, kau akan melihat rajamu kesakitan," ucapan Tala terngiang.
Ancaman Tala terasa semakin nyata sekarang, walau belum tentu itu disebabkan oleh Tala. Tapi Raja Vanantara sempat berembug berdua dengan Raja Tala, malam ketika Nistalit bercakar menampakkan diri di hutan tepian Loh Dhamarga. Milind jelas mengingat, bagaimana Vanantara menghamparkan jubah rajanya demi melindungi Milind dan meminta Tala lebih baik menyiksanya daripada menyiksa panglima Wanawa. Semua serba kebetulan dan terhubung.
"Jawar," Milind memerintahkan. "Kau dan Janur tetap di sini. Aku akan ke Giriwana secepatnya. Aku perlu membahas sesuatu dengan kedua putri. Kirim segera tabib terbaik dan pandhita tersakti untuk mendampingi Baginda."
❄️💫❄️
Yami dan Nisha menatap Milind cemas.
"Apakah ada sesuatu yang kami tidak tahu?" tanya Yami.
"Baginda sempat menemui Raja Tala di Gangika, tapi tentu kita tak dapat menuduh Raja Tala," Milind menjelaskan. "Baginda cukup lama berkabung atas Ratu Varesha. Serangan Mandhakarma dan banyak lagi persoalan kerajaan, dapat memengaruhi beliau."
"Apakah ada obat bagi Ayahanda?" Nisha bertanya cemas, menatap Yami dan Milind bergantian.
"Pasti ada," Yami berkata pasti. "Aku akan mengirim utusan ke Aswa untuk meminta kristal-kristal pengobatan. Kristal Aswa adalah obat dan mantra terbaik. Aku akan segera mengutus prajurit menemui Gosha, ia pasti punya simpanan yang paling istimewa."
Milind menatap Yami.
Ia mengenalnya lebih dari seorang putri. Telah lama Milind menganggapnya sebagai penasihat dan seorang kakak. Apa yang ada dalam suaranya? Geletar rindukah? Mengapa Yami tampak demikian bersinar ketika menyebut nama Gosha? Apakah ia tidak tahu, apa yang sedang dilalui Gosha?
"Ya," Milind mengangguk, tak ingin berkata jujur, "Alangkah baiknya bila Putri Yami juga mengirim pesan untuk Gosha."
Gosha pasti akan mengirimkan kristal Aswa, Milind membatin diam. Walau ia membutuhkan bagi dirinya sendiri, ia pasti akan memberikannya pada Milind. Pada Yami, apalagi bila harus dibagi untuk Raja Vanantara. Gosha akan memikirkan dirinya sendiri di urutan ke seribu!
"Baik, aku akan mengirim pesan padanya," Yami tersenyum.
Milind membalas senyumnya dengan rasa hambar.
Ia menyumpahi dirinya sendiri, mengapa harus berdiam diri dan membiarkan Yami menyemai impian sedalam ini. Apa yang akan terjadi bila Yami tahu, Gosha tak memiliki umur panjang? Seluruh diri Milind terasa sakit, lebih nyeri dari siksaan Tala. Jika bukan karena urusan penting yang demikian banyak, ingin rasanya Milind berangkat ke Aswa mengantarkan Yami menemui Gosha.
"Putri Nisha," Milind berkata lembut, mengeluarkan sesuatu dari lipatan sabuknya. "Bisakah Tuan Putri menjahit jubah hamba?"
Nisha memandang keheranan.
"Bagaimana bisa sobek, Milind?" ia bertanya dengan takjub. "Jubahmu bukan pakaian sembarangan."
"Panjang ceritanya, Tuan Putri" Milind merenung. "Lain kali, bila kita punya kesempatan lebih lapang, akan hamba kisahkan. Hamba harap, jubah ini dapat segera utuh kembali."
Nisha termenung cukup lama, "Jubahmu adalah pakaian istimewa. Mantra Ibunda Ratu Varesha, Putri Yami dan juga mantraku ada di dalamnya. Perlu waktu untuk merekatkannya kembali."
"Hamba sangat berharap dapat diselesaikan cepat," Milind memohon.
"Ya, tentu," Nisha tersenyum. "Kau tentu membutuhkannya."
Milind menggeleng.
"Raja Vanantara lebih membutuhkannya, Putri Nisha," Milind menjelaskan. "Paduka butuh dua jubah hijau saat ini untuk melindunginya dari malapetaka."
Alis indah Nisha naik, dua bola matanya berkubang kepedihan.
Milind memandang sobekan kain hijau jubahnya.
Tampak serat lembut di sekeliling sisi robekannya. Sulaman keemasan indah masih terhias di sana, tak ada yang rusak. Kesaktian ratu dan putri Wanawa tak diragukan. Tanda tanya masih memenuhi benak mengapa jubah kuat, lentur dan tak mudah rusak itu dapat ditarik oleh seorang Nistalit. Milind menyentuhnya hati-hati, membolak baliknya. Benar, tak ada lubang sedikitpun. Walau tampaknya telah disimpan cukup lama dan digunakan entah untuk apa saja. Terakhir yang dilihatnya, sebagai pelindung pisau yang digunakan untuk melawan Hulubalang Daga.
Milind menarik napas panjang.
Ia terpaksa meminta sobekan jubah ini kembali, sebab jubah utuh sangat berarti. Entah mengapa, firasatnya mengatakan, jubahnya akan dibutuhkan untuk peristiwa penting. Sakitnya Vanantara memberikan jawaban bahwa sang raja memang membutuhkan perlindungan lebih.
Ahya, Vanantara sakit. Raja sakti yang memiliki usia panjang hingga ribuan tahun itu sakit. Pertanda apakah? Apakah wangsa Wanawa akan berada di jurang kepunahan? Milind merasakan sesuatu menghimpit dadanya demikian keras. Bila, ada sesuatu yang harus dilakukannya untuk menyelamatkan Vanantara –apapun itu– akan dilakukannya. Ia akan menimbang ulang jika keselamatan Ratu Varesha dan Ratu Laira yang menjadi taruhan. Tapi ia tak akan berpikir dua kali jika Raja Vanantara yang menjadi taruhan keselamatan dan keberlangsungan Wanawa.
Ya, apapun akan dilakukan.
Termasuk mengorbankan Nistalit.
"Milind…kenapa?" Nisha mengkerutkan kening, mendesah tak mengerti.
Milind mengangkat kepalanya.
"Kau memandang kain sobekmu lama sekali," Nisha tersenyum simpul, "aku akan menjahitnya bersama Ayunda Yami."
Milind terkesima sesaat, menunduk galau. Menyerahkannya kepada Putri Nisha dengan hormat yang dalam. Ketika menyerahkan secarik kain hijau itu Milind telah meneguhkan diri, ia akan menjadikan Wanawa dan Raja Vanantara sebagai tujuan utama di atas segalanya.
❄️💫❄️