Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 182 - ●Perayaan Gangika (14) : Perintah Panglima Giriya

Chapter 182 - ●Perayaan Gangika (14) : Perintah Panglima Giriya

Bukan hanya Milind yang ingin menuntaskan permasalahannya sebelum kembali ke Wanawa. Rakash juga melakukannya. Bagaimanapun, Gangika pernah memiliki kesalahan terhadap Giriya terkait pembajakan para budak. Bila Giriya tak mengungkitnya, salah mengira mereka berbesar hati akan melupakan semua.

"Singkirkan Nistalit perempuan itu, Kavra," Rakash memberikan saran. "Raja Tala sangat menginginkannya."

"Mengapa?"

"Kau berlagak tak tahu?" Rakash berkata sinis. "Apa Milind tak memberitahumu? Nistalitmu membunuh putra Raja Tala, salah satu adik Pangeran Shaka, putra Ratu Gayi. Kau pasti akan mendapatkan banyak hadiah bila menyerahkannya."

Kavra terdiam, berpikir keras.

"Mengapa Raja Tala tak membunuhnya sendiri, dengan cepat? Ia mampu melakukannya," gumam Kavra, pikiran yang sama berkelebat di benak Milind.

"Mudah bagi Raja Tala melakukannya," Rakash mengangguk. "Tapi ia ingin melihat lebih jauh : adakah yang diam-diam tak menyetujui pendapatnya, bahkan untuk perkara kecil? Apakah setiap kejadian dapat digunakannya sebagai senjata untuk menyerang lawan, sekaligus mengukur kesetiaan sekutu?"

Kavra menatap Rakash.

Membayangkan kedekatan Milind dan Gosha, yang tak bisa didapatkannya. Sulit sekali baginya mempercayai Rakash, apalagi setelah kejadian Nistalit bercakar yang membelah diri menjadi Akasha Giriya. Mayat-mayat mereka masih tersimpan rahasia di bilik bawah kamarnya.

"Dulu, aku tak peduli siapa saja Nistalit yang kau ambil," Rakash berujar dingin. "Gua-gua kami menyimpan banyak Nistalit. Selama pembangunan Gerbang Batu selesai, apa ruginya kehilangan Nistalit yang sebagian juga kami buru?"

Kavra mengatupkan mulut. Bayangan Nami menyelamatkan Aji dan Usha berkelebat.

"Tapi setelah Nistalitmu mempermalukan hulubalangku, kupikir aku cukup puas mengantarkan kematiannya di tangan Nistalit bercakar. Kirimkan dia seorang diri ke tempat Nistalit bercakar muncul, atau kalau kau cukup tega, bunuhlah dia dan kabari aku."

Kavra menatap Rakash tajam.

Bagaimana Rakash tahu tentang Nistalit bercakar? Ahya, ia pasti tahu! Bukankah mayat-mayat di bawah biliknya membuktikan itu semua? Bagaimana cara melepaskan diri dari Giriya dan Vasuki yang menjadi sekutu kuat Raja Nadisu dan Ratu Mihika? Walau hati Kavra mulai mencurigai niat buruk Rakash terhadap Gangika, sulit menolak permintaannya kali ini. Rakash seorang panglima. Nistalit hanya buruh, budak, merangkap pelarian.

❄️💫❄️

Kavra berhadapan dengan Nami dan Sin yang mengantarkannya. Entah kali ke berapa Nami harus memenuhi panggilan Kavra untuk menerima penghakiman dan dakwaan. Wajah Kavra dipenuhi jejak kelelahan, justru usai hari-hari megah perayaan Gangika dan perjodohannya.

"Kau tahu apa kesalahanmu?" Kavra bertanya lugas.

Nami menggeleng.

"Kau akan dihukum atas banyak kesalahan!" sentak Kavra.

Mata Nami terbelalak, berkilat dalam kemarahan dan ketakutan.

"Hamba…hamba hanya berusaha melindungi … Nistalit," gemetar gundah suara Nami.

"Kau banyak membantah Hulubalang Sin. Kau banyak merepotkannya. Kau juga tak mematuhi perintahnya dan perintahku. Itu contoh sangat buruk bagi Nistalit yang hidup di bawah perlindungan Gangika. Kau juga membuat hubungan Gangika dan Giriya semakin runyam! Aku tak punya pilihan lain selain menghukummu dan itu janjiku pada Panglima Rakash."

Sin terkesiap. Nami terhenyak.

"Sin mungkin terlalu lemah kepadamu, tapi aku tidak! Sin mungkin terima kau membantahnya, tapi aku tidak! Sin mungkin tak tega karena ia yang melatihmu! Tapi kutekankan sekali lagi, hatiku tidak rapuh seperti Sin!"

Kavra mengucap mantra. Akar bahar hitam dan kuat mengikat kedua lengan Nami dan menjadi kalung di lehernya.

"Bawa dia ke hutan tempat Nistalit bercakar muncul, Sin! Kau boleh membunuhnya segera, atau meninggalkannya di sana! Kau boleh menghukum juga sesiapa yang berpihak padanya!"

Tak ada yang dapat membantah seorang panglima, jika ia telah menitahkan perintah. Walau Sin sangat ingin menolaknya, walau Sin sangat ingin menjelaskan bahwa Akasha dapat melakukan kesalahan dan Nistalit dapat berada di posisi yang benar.

Mungkin benar, Sin telah merasakan kedekatan dengan Nistalit semenjak mereka bekerja sebagai buruh yang membangun bendungan Gangika. Terlebih kepada Nistalit yang menjadi prajurit cadangan. Perintah Panglima Kavra tampak tak masuk akal bagi Sin, tapi ia bisa apa? Tak ada yang dapat dilakukan kecuali menggiring Nami, bersama Aji dan Usha yang tak ingin lepas darinya. Lagipula, siapa bisa menjamin keselamaan kedua bocah Nistalit itu jika suatu saat Daga menemukannya?

Tak ada jalan lain kecuali memenuhi perintah Kavra dan melihat Nami memasuki hutan tempat Nistalit bercakar muncul saat perayaan Gangika. Hati Sin sungguh ingin berontak, tapi yang dilakukannya justru sebaliknya. Ia tak memberitahu Dupa dan Soma, meminta Nami bergegas, menjadikan perintah Kavra sebagai rahasia tertutup antara dirinya dan gadis itu.

Sin membekali Nami dengan beberapa alat, termasuk pisau bermantra miliknya. Pisau kecil dengan sarung indah yang terbuat dari jalinan akar bahar hitam.

"Kau bertahanlah!" Sin tampak gusar. "Panglima Kavra akan membunuhku jika tahu. Larilah sejauh-jauhnya. Carilah pertolongan ke Wanawa!"

"Hulubalang Sin…"

"Cepatlah! Jangan pernah menoleh ke belakang, Nistalit!"

Mata Nami berair.

"Hamba tak akan pernah melupakan budi baik Hulubalang Sin," Nami berbisik. "Hamba akan membalasnya suatu saat nanti."

Tak ada yang perlu tahu bagaimana nasib akhir Nistalit yang terpaksa melarikan diri –untuk ke sekian kali –dari kekejaman Akasha dan Pasyu yang tak menginginkan mereka menjadi wangsa ketiga. Lagipula, tanpa bekal kesaktian Akasha dan keperkasaan Pasyu, bagaimana wangsa lemah seperti Nistalit bisa bertahan?

Kavra menduga telah menyingkirkan seorang Nistalit sejauh-jauhnya.

Membuangnya ke sudut antah berantah.

Ia mungkin akan mati dalam kesulitan, atau dalam serangan Vasuki.

Siapa peduli?

Malam itu, Kavra berdiri di tepi pilar-pilar biliknya. Memandang aliran sungai luas, tempat kerajaan Gangika bersemayam. Menatap kilau permukaan Loh Dhamarga, tempatnya melayari perahu beberapa waktu lalu bersama Padmani. Semakin memikirkan Padmani, semakin muncul wajah Nami yang berdebu.

Ia telah melenyapkannya.

Ia tak akan pernah melihatnya lagi.

Sin mungkin telah membunuhnya, atau ia diterkam kebuasan Vasuki buas. Anak buah Tala, atau Galba atau Wuha.

Hingga larut Kavra tak dapat tidur. Berbagai pertanyaan bertalu menggodam benak.

Apakah ia sudah mati?

Bagaimana cara ia mati?

Apakah kesakitan, atau saat ini masih sekarat?

Kavra mengambil tombak dan pedangnya.

Menuruni tangga bilik kamar, menuju ruang berlatih miliknya yang berada di bawah permukaan Gangika. Mantra dilepaskan. Tiang-tiang kuat bermunculan. Batang-batang bakau bagai tumbuh serentak dari lapisan tanah Gangika. Ia memainkan pedang, menghajar habis-habisan batang bakau hingga batang itu remuk redam. Air kehidupan dalam pohon bakau mengering cepat, menyerap kemarahan Kavra.

Pohon bakau yang lain bermunculan.

Kavra melepaskan dua mata tombaknya, menghancurkan pucuk-pucuk hingga pangkal akar, melepaskan kemarahan dan kegusaran dalam dirinya.

❄️💫❄️

Keesokan hari, Kavra ingin memastikan kehidupannya berjalan sebagaimana seharusnya.

"Sin, cari mayat Nistalit itu."

Sang hulubalang menatapnya resah, menyimpan sejuta rahasia yang tak mungkin selamanya tersembunyi.

"Sin?!"

Sin berlutut. Memohon ampun pada Kavra.

"Hamba…memohon maaf," bibirnya bergetar. Bersimpuh, mengatupkan kedua belah telapak tangan di atas kepala, tanda permohonan ampun yang dalam. "Selama ini hamba mentaati perintah Panglima. Namun untuk membunuh Nistalit…hamba tak sanggup melakukannya."

Sin bahkan membelokkan arah Nami, tidak menuju hutan yang dimaksudkan!

Pedang Kavra terhunus ke leher Sin.

"Kenapa, Sin? Kau hulubalang kepercayaanku!'

"Nistalit bukan penjahat, Paduka," Sin suara lirih. "Mereka hanya budak yang setia."

Kavra menatapnya nyalang.

"Nistalit perempuan itu…ia menyelamatkan hamba dari Pasukan Hitam. Hamba harus membalas budi baiknya. Bila tidak, kutukan Kebaikan Abadi akan mengiringi hamba," Sin mencoba menjelaskan.

Kavra menarik pedangnya dari leher Sin.

"Bawa aku kepadanya."

"…Tuan?"

"Bawa aku kepadanya!"

"…tapi…"

"Kalau kau tak bisa menyelesaikannya, aku yang akan melakukannya sendiri!"

"Panglima…," Sin membungkuk, memohon.

"Sin! Aku tak mengulangi perintahku!"

❄️💫❄️