Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 179 - ●Perayaan Gangika (11) : Melawan Daga

Chapter 179 - ●Perayaan Gangika (11) : Melawan Daga

Daga menghilang tetiba. Menggunakan kesaktian Akasha. Hilang lenyap, berganti wujud halus yang tak tampak.

Tubuh Nami terhuyung, terjerembab. Terguling. Pukulan, tendangan, tamparan menghunjam. Tanpa wujud kelihatan, Nami benar-benar kerepotan.

Bwahahahaha.

Sebuah suara keras di telinga.

"Mari kemari kau, Keparat Sialan! Berani-beraninya mempermalukanku di hadapan tamu-tamu Akasya dan Pasyu, heh??!"

Angin berhembus.

Angin melilit tubuh.

Angin menerjang hingga Nami limbung

Di depannya, Rakash tersenyum senang.

Daga benar-benar menikmati usahanya menyakiti Nami. Di hadapannya, para panglima dan prajurit menatap perkelahian di depan dengan tegang. Kavra dan Sin tak dapat berbuat banyak. Nami dapat melihat sekilas Sin tampak geram melihat perkelahian yang berat sebelah itu, terlihat ia meraba pisau di pinggangnya, namun Kavra menggenggam lengannya. Berusaha menahan dan tampak berpikir keras mencari jalan ke luar.

Berada di sisi yang lain, Janur tampak mengepalkan tangan, di sisi Milind yang menatap perkelahian itu dengan kemarahan yang tak dapat disembunyikan.

Rakash benar-benar ingin permasalahan selesai saat itu juga. Bila Nistalit menang, mereka boleh meminta hadiah.

Satu tendangan di kaki membuat Nami terjerembab. Pukulan di pinggang membuatnya menjerit tertahan, tamparan di pipi membuat kepalanya berputar. Disusul rambutnya yang terlepas dari ikatan ditarik paksa hingga terasa seluruh kulit kepala panas. Satu pukulan lagi terlepas ke mukanya hingga terasa bibirnya robek. Darah mengucur dari hidungnya yang terasa nyeri luar biasa.

Mata Nami berkunang.

Di lihatnya dalam kekaburan, Aji dan Usha berpelukan sembari menangis.

Nami merangkak, mencoba bertahan dan bangkit berlutut.

Menarik napas, memejamkan mata.

Angin lembut mempermainkan anak-anak rambutnya.

Daga sepertinya ingin memberinya kesempatan bernapas sejenak, agar permainan lebih bertenaga.

"Kau sakit? Di medan tempur tak ada kesempatan menyingkir," suara Janur terngiang, saat membentaknya di Girimba. "Kau bahkan tak bisa menjerit dan bernapas! Kalau tak bisa menyerang balik, kau harus menghindar!"

"Tahan sakitmu sekuat mungkin, bertahanlah dan terus berpikir!" Sin berkata. "Walau otakmu tumpul, tapi cobalah berpikir. Itu akan membuatmu tetap hidup!"

Sembari berlutut, Nami mulai menekuk kaki kanan, mencoba bertumpu separuh badan. Matanya terpejam, berusaha menjaga keseimbangan. Wujud tanpa materi tak akan dapat dilihat dengan mata telanjang. Ia harus mengerahkan kepekaan telinga dan kulitnya, bahkan rangsang di permukaan rambutnya untuk mengetahui pergerakan Daga.

Ia meraba pisau di pinggang kiri. Pisau itu tak akan berguna menghadapi tubuh lembut Akasha yang berubah wujud seperti angin. Tapi tak mungkin menghadapi dengan tangan kosong. Pisaunya hanya akan melawan angin dan salah-salah, berbalik menyerang dirinya sendiri.

Nami meraba kantung yang tergantung di sebelah kanan.

"Sin?" Kavra berbisik cemas.

Sin menarik napas, menahan panglima Gangika yang tampak ingin maju.

"Sebentar lagi, Tuan," bisik Sin, entah mengapa ia yakin dengan kemampuan Nami, walau tadi sempat merasa cemas.

Milind dan Janur tampak ingin segera merangsak masuk, walau keduanya berusaha keras menahan amarah. Berharap Kavra sebagai tuan rumah berani segera mengambil keputusan.

Di hadapan mereka, Nami tampak tenang, setengah menunduk.

Para pengunjung yang menonton pertarungan tak imbang itu menahan napas, menunggu detik-detik menentukan.

Napas Nami pendek-pendek, masih merasakan sakit di sekujur tubuh.

"Mengapa ia memejamkan mata?" Soma berbisik khawatir. "Dengan mata terbuka saja dia kewalahan."

"Dia justru ingin memusatkan pikiran pada gerakan lawan," Dupa menggumam. "Gerakan Akasha lembut seperti angin."

Sebuah gerakan angin melesat, menuju ke arahnya. Seperti sebuah kepalan tangan besar yang berisi tenaga penuh menuju ke dada. Nami meloloskan pisau, membungkusnya dengan kain hijau. Tubuhnya berkelit menghindar tenaga angin, tak kena. Walau dapat dirasakan tenaga kuat bersiut di permukaan kulit. Gadis itu dapat merasakan serangan kedua yang tampak semakin kuat, namun kehilangan kecepatan karena amarah.

"Mampus kau!" suara bentakan. "Kau itu hanya budak! Sampah! Jangan pernah berpikir naik kasta hanya karena kau belajar memegang senjata!"

Nami mengabaikan hinaan.

Telinganya menyimak setiap gerakan halus.

Indera perasanya terpusat pada senjata di tangan. Sebilah pisau telah terbebat kain hijau sobekan jubah panglima Wanawa, menjadi pelindung dari serangan membabi buta Daga.

Clap.

Clap.

Clap!!

Arrrgh.

Tubuh lembut Akasha Daga, segera beralih ke wujud kasar. Tusukan Nami mengenai paha dan lengannya. Robekan terbuka mengucurkan cairan pekat, membuat Daga menjerit tertahan menahan sakit sembari menekan luka.

Daga mencoba bangkit kembali, dengan tertatih, menyerang Nami. Tapi kekuatannya menyusut cepat hingga pukulannya mengenai udara kosong. Dampak tusukan itu lebih dari yang diperkirakan, hingga tubuhnya gemetar. Ketika Daga mencoba menyerang sekali lagi, Nami tidak menghindar. Sebaliknya, balas menangkis dan bertahan. Luka di tubuh Daga terkena serangan Nami tanpa sadar, hingga Daga menjerit tertahan. Ia terhuyung. Nami menubruknya, menekan tubuhnya jatuh ke tanah. Lengan gadis itu menekan dagu Daga sementara pisau gadis itu terarah ke lehernya.

"Cukuppp!!!" Kavra berteriak, menghentikan.

Kavra menarik keras lengan Nami agar menjauh dari tubuh Daga, matanya nyalang menatap gadis itu, menyuruhnya menjauh. Ia membantu Daga bangkit berdiri.

Merasa mendapat pertolongan, Daga bertelekan sejenak pada lengan Kavra. Bersandar mencari kekuatan, untuk kemudian berniat menyerang Nami kembali.

"Hentikan!" bisik Kavra. "Perhatikan lukamu, Hulubalang! Jangan buat Giriya malu!"

Daga meludah ke arah Nami.

Mengenai sedikit mukanya, hingga gadis itu gemetar, menahan malu dan marah atas hinaan. Ia mengusap dengan ujung lengan.

Kavra menekan tubuh Daga, merapat ke dirinya.

"Kubilang, hentikan!" Kavra berbisik marah. "Aku tak ingin ada kekacauan di sini!"

Rakash memburu ke arahnya.

"Daga! Kau baik-baik saja?" tanya Rakash.

"Hamba...," Daga terengah, "...hamba baik..."

"Hajar Nistalit pasukanmu itu!" Rakash berbisik penuh kebencian di muka Kavra. "Dia telah mempermalukan Giriya di muka umum!"

Kavra menahan napasnya.

"Kau tahu, Kavra?" Rakash menatapnya murka. "Aku ingin dengar berita kematiannya dengan tanganmu. Kalau tidak, akan kucari cara untuk membunuhnya dengan kedua tanganku. Kupastikan kali ini, aku tak akan gagal seperti Daga!"

Kerumunan itu bubar kemudian.

Bisik-bisik, gumaman. Bagi sebagian, peristiwa itu hanya keributan kecil biasa. Bagi sebagian, ada yang merasa sebagai ancaman dan penghinaan.

Rakash dan Daga segera berlalu, menjauhi bukit bebatuan tempat para Nistalit bekerja. Dibantu prajurit Giriya, Daga tertatih kembali ke kesatuannya sementara Rakash kembali menikmati jamuan perayaan bersama panglima dan tamu yang lain.

Hulubalang Sin, bagaimana pun merasa bingung menghadapi semua. Tapi jelas, ia cukup bangga melihat Nami mampu melawan Daga.

Aji dan Usha memeluk Nami, sementara tangan gadis itu mendekap keduanya. Mereka berlutut bertiga, berpelukan

"Hei...jangan menangis," bisik Nami. "Aku akan melindungi kalian selalu."

Aji dan Usha berlindung di balik tubuh dan rambut Nami yang terurai acak-acakan. Di hadapan mereka, Kavra dan Sin memandang Nami dengan seribu satu pikiran. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, Milind dan Janur pun demikian.

Nami memeluk Aji dan Usha lebih erat. Matanya mebatap Kavra dan Milind sekilas, menunduk hormat pada mereka, sebelum mengajak Aji dan Usha menjauh. Kembali bekerja.

"Panglima Kavra!" Sin berseru, antara kacau dan senang. "Nistalit kita berhasil menampar Daga dengan telak. Setelah ini Panglima Rakash..."

"Diam, Sin!"

Kavra berbalik dengan marah, meninggalkannya.

"Panglima Milind!" Janur berbisik senang. "Nami menemukan cara mengalahkan pasukan Akasha. Jangan-jangan itu caranya mengalahkan...Nistalit bercakar? Ia bilang kalau..."

"Diam, Janur!"

Milind berbisik marah, berbalik meninggalkan, menyusul Kavra.

Sin dan Janur tertinggal. Saling bertatapan dalam heran. Ada apa dengan kedua panglima mereka?

❄️💫❄️