Perayaan itu berakhir dengan kemeriahan dan kegembiraan bagi sebagian besar rakyat Gangika. Para pangeran dan putri bersukacita, bangsawan-bangsawan menghabiskan waktu dengan kegemaran yang jarang didapatkan di hari-hari biasa. Tamu undangan pulang membawa bingkisan hadiah yang dipersiapkan Ratu Mihika.
Bagi sebagian pihak, perayaan itu meninggalkan jejak tanda tanya dan keraguan yang menakutkan. Apakah persekutuan wangsa benar-benar telah retak? Apakah kedudukan para raja tak lagi setara?
Sebelum Milind benar-benar meninggalkan Gangika, ia ingin menuntaskan beberapa hal.
"Kaulah tamu yang paling banyak berkunjung ke bilikku," Kavra berucap, entah pujian atau sindiran.
"Maafkan aku, Kavra," Milind merasa bersalah. "Aku banyak mengganggumu di hari perjodohanmu."
"Jangan khawatirkan perjodohanku," Kavra menepis. "Setiap kali bertemu denganmu, aku merasa usiaku terpangkas ratusan tahun lebih cepat!"
Milind menunduk, merasa lucu dan tertawa pelan mendengarnya.
"Untung aku tak bersahabat denganmu, Milind," Kavra menggumam, menggelengkan kepala. "Entah apa jadinya aku bila punya sahabat sepertimu. Mungkin sekujur kulitku keriput seperti kutukan Kuncup Bunga."
Milind tak tersinggung mendengarnya.
"Aku ingin bertemu Nistalitmu. Tapi aku tak ingin bersembunyi di belakang punggungmu," Milind hati-hati berucap. "Itulah sebabnya, aku minta izinmu dan berharap kita bisa mengorek keterangan bersama."
Kavra menatapnya teliti.
"Aku telah menyerahkan semuanya pada Sin," Kavra menekankan. "Kau juga, Milind, kita punya urusan jauh lebih besar daripada hanya mengurusi Nistalit."
Milind terdiam.
Kavra berdiri dari duduknya, berjalan mendekati jendela, dua kali mondar mandir sebelum menghadap ke arah Milind.
"Ketika pembangunan benteng dan bendungan, hubungan kami dengan Giriya memburuk. Tapi kami terpaksa terus membajak Nistalit, sebab serangan Mandhakarma membuat kami harus menguatkan pertahanan," Kavra menjelaskan dengan tajam. "Hubungan buruk sedikit mereda karena kami menerima perjodohan dengan Vasuki, sementara Giriya sangat menghormati Raja Tala. Sekarang, hubungan dengan Giriya terancam lagi setelah kejadian Nistalit mempermalukan hulubalang Giriya. Menurutmu, aku harus bagaimana?!"
Milind menatap Kavra yang tampak menyembunyikan ledakan perasaan.
"Bagimu, aku tidak punya belas kasihan," Kavra berkata. "Aku mungkin keras pada Nistalit, tapi kami tidak membunuh dan menindas mereka seperti Giriya. Nistalit mendapatkan pakaian, makanan, tenda dan kehidupan yang lebih layak di sini. Bagi mereka yang punya keahlian, kami beri tambahan upah."
Milind menyimak.
Kavra mendengus, membuang pandangan jauh.
"Aku tidak tahu untuk apa menjelaskan panjang lebar seperti ini," Kavra menarik napas. "Aku...mungkin kesal dan terlalu lelah."
Milind menganggguk tanda mengerti.
"Kita mungkin berseberangan pendapat, Milind, walau aku tak ingin kita bermusuhan," Kavra menjelaskan.
Milind menatapnya dalam.
"Kau panglima yang luarbiasa," puji Milind tulus. "Kau salah satu Akasha paling terhormat yang pernah kukenal. Tak heran, Raja Wuha mempercayakan putri paling bersinar di Vasuki kepadamu. Setiap raja akan merasa bangga menjadikanmu menantu dan aku yakin, banyak putri bangsawan yang patah hati."
Kavra tersenyum tipis, setengah mengejek.
"Pujianmu kurasa makin membenamkanku dalam kenyataan yang berseberangan," Kavra berucap agak sinis.
"Kau tahu, aku tak suka berbohong," Milind menegaskan.
"Kau tak berbohong," Kavra mengangguk. "Tapi memujiku setinggi langit. Untuk apa? Apa yang kau inginkan dariku?"
"Kavra, sejujurnya aku ingin membantumu dengan apa yang aku bisa lakukan," Milind menjelaskan. "Aku tak ingin menghancurkanmu. Bagiku, masalah yang melibatkan Nistalit tak sederhana. Ini karena aku mengenal Raja Tala makin baik dari hari ke hari. Dia suka menyakiti pihak lain, mudah baginya menghabisi Nistalit dan bersenang-senang menyiksanya."
Kavra menatap Milind dengan pandangan tak yakin.
"Segala sesuatu tentang Nistalit, termasuk Nistalit bercakar, harus kita bongkar. Aku merasa Nistalitmu masih menyimpan rahasia.," jelas Milind.
Kavra mengalihkan tatapan.
Gangika bersekutu dengan Giriya. Melihat Akasha Giriya yang terbelah dari tubuh Nistalit bercakar, menimbulkan kegeraman dalam diri Kavra sekaligus tanda tanya. Apakah Giriya ingin memberikan Gangika pelajaran berharga karena telah membajak budak-budak mereka? Milind belum tahu kenyataan yang sesungguhnya, dan Kavra tak ingin memberitahu. Tapi mendengar alasan-alasan Milind, Kavra meragukan hubungan Gangika dan Giriya dapat terus berjalan dalam keharmonisan. Apalagi, Vasuki sangat ingin menjadi penguasa tunggal yang memaksakan segala hal. Apakah membuka diri terhadap Wanawa adalah keputusan bijak?
"Bagaimana, Kavra?"
"Milind," Kavra menghela napas. "Kami harus memperbaiki hubungan dengan Giriya. Kalau itu berarti mengorbankan Nistalit, jalan itu mungkin harus kulalui."
Milind menatapnya lurus.
"Kau akan menyerahkan Nistalit pada Panglima Rakash?" tanya Milind.
Kavra tak mengangguk, tak menggeleng.
"Aku akan lihat bagaimana perkembangan ke depan," Kavra berujar.
"Apa kau akan percaya pada Rakash seutuhnya? Apa yang keuntungan yang didapatnya dari membunuh Nistalit??"
"Demi Jagad Gangika! Tak semua pertanyaanmu bisa kujawab dan harus kujawab!" Kavra menukas keras.
Milind membuang muka, sejenak tak ingin menatap Kavra. Pikirannya memahami bagaimana cara benak Kavra bekerja. Nistalit hanya budak, tak sepadan dengan harga seorang hulubalang. Apalagi, bila hubungan kedua kerajaan dipertaruhkan. Gangika tentu ingin menjaga keharmonisan dengan Vasuki dan Giriya. Tapi mengorbankan Nistalit demi memperbaiki hubungan, sepertinya terlalu mengada-ada. Apalagi, tak ada yang mengungkit permasalahan Daga ke muka umum. Mungkin saja, banyak pihak sudah lupa peristiwa Nami mengalahkan Daga.
Kavra tampak tengah berpikir keras. Di tengah perayaan Gangika yang seharunya membuatnya bahagia, ia justru terlihat lelah dan banyak masalah. Milind tak tega melihatnya.
"Maafkan aku, Kavra," ujar Milind lembut. "Aku mungkin terlalu mendesakmu. Ratu Mihika benar, seharusnya aku tak banyak mengganggumu di hari-hari bahagia ini."
Kavra menatapnya kesal. Jauh di lubuk hati, ia mengerti mengapa Gosha sangat akrab dengannya. Apakah ia dan Rakash pernah sedemikian dekat? Berkali-kali didapatinya, Milind dan Gosha saling bertukar pikiran. Bercanda. Saling menggoda. Ia dan Rakash tak pernah sedekat itu. Bila tertawa bersama Rakash, terasa basa basi. Percakapan mereka sebatas kerjasama kerajaan dan apa yang menjadi pesanan raja serta ratu masing-masing.
Persahabatan para panglima menunjukkan kedekatan kerajaan. Apakah Gangika dan Giriya benar-benar sahabat akrab, Kavra tak dapat menjawabnya. Bahkan, perjodohannya dengan Padmani pun tak menjadikan dirinya merasa demikian dekat dengan Vasuki. Ia menghargai Raja Wuha dan Padmani, tapi terasa ada yang sangat mengganjal bila terkait Tala dan mereka di sekelilingnya.
"Kalau kau tak mengizinkanku bertemu Nistalitmu, aku akan minta Janur menemui Sin. Biarlah Janur yang menyelesaikan beberapa pertanyaanku," Milind mengalah pada akhirnya.
Kavra mendengus.
Wanawa berbaik hati menghadiri undangan Gangika. Raja Nadisu dan Ratu Mihika mendapatkan hadiah istimewa. Ia pun mendapatkan hadiah khusus dari Putri Yami dan Putri Nisha berupa jubah kuning yang disulam dengan keindahan dalam balutan mantra panjang. Apa susahnya menerima permintaan Milind?
❄️💫❄️
Nami baru saja selesai mencuci muka, ketika Hulubalang Sin menyampaikan perintah untuk menghadap. Dupa memaksa ikut, walau tentu ia tak dapat membersamai Nami masuk ke pertemuan khusus. Nami disidang di bilik luar Kavra, tempatnya biasa menerima tamu khusus. Kedua panglima telah menunggu di sana, sementara Sin tak dapat masuk ke dalam lingkaran.
Berdiri di hadapan satu panglima sudah membuat kaki gemetar, apalagi kali ini berdua. Tak ada sosok lain yang akan menguatkannya seperti Hulubalang Sin atau Janur, sesama Nistalit seperti Dupa ataukah Soma. Pikiran Nami yang kacau justru melompat-lompat aneh : betapa bagusnya selendang Kavra dan jubah Milind. Sabuk dan alas kaki mewah, jauh dari kualitas pakaian Nistalit. Wajah keduanya lebih halus dari kulit mukanya yang terbakar matahari.
Uh, pikiran Nami justru meluncur pada kecantikan Yami dan Calya. Seperti apa rasanya menjadi Padmani dan Nisha? Tanpa sadar, Nami menepuk dahinya sendiri sembari menyisir rambut ikalnya ke belakang dengan gelisah. Ia menggenggam sesuatu di pinggangnya.
"Berikan semua senjatamu," Kavra berkata dingin, mengulurkan tangan.
Nami terkesiap, bergerak menyerahkan dengan enggan.
"Mengapa Sin tak melucutimu? Syarat bertamu ke bilikku," Kavra mendengus.
Nami melirik ke arah pinggang Milind.
"Jangan samakan dirimu dengan Milind," Kavra menegur tajam. "Kau berbeda dengannya. Lagipula, Milind tak pernah menikam seorang hulubalang."
Nami serentak ingin membuka mulut, ingin menjelaskan tapi urung, apalagi ketika Kavra segera memotongnya.
"Kau, Nistalit," Kavra menatapnya tepat di manik mata, "hanya bicara jika kuperintahkan!"
❄️💫❄️