Nami merasa menggigil dan mengkerut sebesar boneka jerami.
Pandangan Kavra yang menusuk membuatnya mundur satu langkah setelah menyerahkan senjata. Apa yang akan terjadi? Apakah ia akan dihukum karena telah mempermalukan Hulubalang Daga dari Giriya yang merupakan sekutu kuat Gangika? Andai Daga tak memukul Aji dan Usha, tak akan timbul kejadian yang mengharuskannya berbuat nekat. Usha terlalu lembut dan kecil untuk menerima pukulan, sementara Aji hanya berniat membela adiknya.
Nami menunduk, merasakan punggungnya basah oleh keringat. Kavra menatapnya. Milind menelisiknya.
"Ceritakan tentang kejadianmu terkait Daga agar aku bisa memutuskan dengan adil," Kavra memancing.
Nami menggigit bibir. Terdiam, berpikir. Apa yang harus dikatannya? Jujur, atau lebih baik mengelabuhi? Berbohong, dengan sedikit bumbu di dalamnya, atau sebagian disembunyikan?
"Nistalit!" sentak Kavra. "Aku bertanya padamu!"
Nami mengangkat wajah, bersirobok mata dengan Kavra yang menatap tepat ke arah dirinya. Bagaimana mungkin ia punya dua wajah? Tanya Nami dalam hati. Sangat tampan dan murah senyum pada Putri Padmani, buas dan kejam pada Nistalit? Nami memejamkan mata kuat-kuat, membuang napas, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran yang penuh lompatan tak menentu.
Sin. Janur. Sin. Janur. Sin. Janur.
Nami menggumam, membayangkan wajah kedua hulubalang pelatihnya yang tetiba tampak bagai dahan-dahan raksasa di pepohonan Girimba yang melindungi.
"Hmh?" Kavra menajamkan telinga. "Apa yang kau katakan?"
Nami menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian dan kemampuan bicara. Apakah ia harus menyanyi dulu, seperti yang dilakukannya kepada Aji dan Usha, agar lebih lancar mengeluarkan suara?
Nami! Nami! Bentaknya pada diri sendiri! Berpikirlah hal masuk akal!
"Biarkan aku yang bertanya," Milind menyela lembut.
Nami menunduk lebih dalam.
Jangan bersuara! Jangan bersuara! Nami memohon dalam hati. Mendengar suara Milind hanya akan membuatnya makin mengkerut sebesar ibu jari!
"Kami ingin mendengar kejadian yang utuh agar Panglima Kavra bisa membelamu jika harus berurusan dengan Giriya," Milind berkata, menenangkan.
Kavra melemparkan pandangan pada Milind. Apa katanya? Membela Nami? Mengapa Milind menempatkannya di kedudukan sulit?
Nami menarik napas panjang, kali ini berusaha mengangkat dagu saat berhadapan dengan Kavra dan Milind. Ia sudah berani melawan Pasukan Hitam, Nistalit bercakar, juga Daga. Mengapa harus takut menghadapi dua panglima yang sama sekali tak berniat mencelakakannya? Setidaknya untuk saat ini, mereka berdua tak tampak berniat buruk padanya.
Saat sedang menyusun kata-kata di kepala, memilih kalimat tepat untuk diutarakan, Kavra terlebih dahulu menyela.
"Milind, andai Nistalit ini tak ingin menceritakan yang kau tanyakan, bagaimana?" Kavra bertanya. "Kita sudah berjanji menyerahkan masalah ini pada Sin dan Janur. Kau akan mengurus masalah yang lebih penting dan lebih besar, daripada masalah remeh seperti ini."
Milind menatap Kavra, mencoba menilai apa yang ada di kepalanya. Apakah Kavra menyembunyikan sesuatu?
"Mungkin, Nistalit ini tak nyaman berbicara denganmu," Kavra menatap Milind.
Milind menarik napas pelan.
"Aku tahu, sejak peristiwa malam hari di atas perahu, ia tampaknya lebih percaya Gangika daripada Wanawa," Milind mengiyakan.
"Kalau begitu biar kami yang selesaikan," Kavra memutuskan. "Aku akan kirimkan pesan kepadamu segera."
Milind mencoba menggali kedalaman makna kata-kata Kavra.
"Kavra," Milind berkata hati-hati, "aku tidak ingin menggali lebih jauh kejadian yang menyebabkan kita harus berbalik saat berlayar di perahumu, di malam perjodohanmu. Walau aku sangat ingin tahu, bagaimana Nistalit bercakar itu mati, aku menghargai jika kau menyimpan beberapa rahasiamu sendiri."
Kavra terdiam, menatap tegak ke arah Milind.
"Tapi kejadian saat Nistalit ini mengalahkan Daga, aku perlu tahu," tegas Milind.
"Kenapa?" desak Kavra.
Milind menoleh ke arah Nami, "hanya dia yang bisa menjelaskannya."
"Kalau ia tak mau mengatakannya?" Kavra bersikukuh.
"Aku akan memaksanya," Milind mulai mengambil sikap.
Nami menelan ludah kering. Memaksa? Dengan cara apa?
"Dengan cara apa?" Kavra terus mendesak, mengulang pertanyaan di kepala Nami.
"Wanawa punya banyak cara untuk membongkar rahasia musuh," Milind menatap Kavra teguh.
Musuh? Nami menggeser tempat berdirinya lebih jauh.
Kavra menghembuskan napas panjang, mempersilakan pada akhirnya.
"Aku ingin mendengar kisahmu secara lengkap," Milind berkata pada Nami.
Nami menatap Kavra, seolah meminta izin.
"Kau telah menolak permintaan yang kusampaikan secara baik-baik," Milind mengingatkan. "Yang pertama, saat Janur bertanya perihal Nistalit bercakar. Yang kedua, peristiwa kau mengalahkan Daga."
Sekali lagi, Nami menatap ke arah Kavra, meminta persetujuannya. Kavra mengatupkan mulut, membuang pandangan. Seolah menyerahkan kesempatan bagi Nami untuk memutuskan seorang diri. Milind tampak mulai kehilangan kesabaran.
"Yang ketiga, kau pasti harus meluluskan permintaanku!" Milind menahan diri. "Aku yakin, permintaanku yang ketiga ini, Kavra pun akan mendukungku!"
Nami merasakan pikirannya kacau. Ketakutan lebih memiliki bobot sebesar bukit batu, dibandingkan keberaniannya yang seringan helai daun. Ia takut menghadapi ancaman Milind. Ia pun takut bila salah berbicara. Hidupnya, hidup Nistalit, hidup Aji dan Usha bergantung pada Gangika. Pada kebijakan Panglima Kavra. Milind menatap Nami, mencoba memahami kebingungannya, namun ia juga memiliki pertimbangan sendiri.
Milind membalikkan badan, membelakangi keduanya. Berjalan menuju jendela bilik Kavra, menatap aliran Loh Dhamarga yang meliuk jernih.
"Kavra…apakah kau ingin tahu, apa perbuatan buruk yang pernah dilakukan Nistalitmu?"
Nami terbelalak. Kavra menatap Milind penuh rasa ingin tahu.
"Panglima Milind," suara Nami bergetar, memotong cepat, "…hamba…hamba melawan Hulubalang Daga karena…karena dia menyakiti Usha dan Aji."
Milind menolehkan kepala, tetap membelakangi. Sudut matanya menangkap sosok Nami tengah berbicara. Ia menyimak baik-baik.
"Siapa Usha dan Aji?" tanya Milind.
Nami membuka mulut.
"Dua anak kecil, yang mengikutinya sejak melarikan diri dari Giriya," Kavra menukas cepat. "Ibu mereka tewas di tangan prajurit Giriya, terkena cambuk Kuncup Bunga."
Nami menatap penuh rasa terima kasih ke arah Kavra.
"Mengapa Daga menyakiti dua anak kecil itu?" tanya Milind ke arah Nami, setengah jengkel mendengar penjelasan Kavra. Wajar Kavra tahu lebih banyak. Bukankah para Nistalit bekerja cukup lama padanya?
"Usha terlalu lelah," Nami menjelaskan pelan. "Tak sengaja menjatuhkan batu ke kaki Hulubalang Daga. Ia…dipukul dan ditendang. Aji..membelanya. Hamba…hamba tak bermaksud menantang hulubalang...hanya menahan tangannya berbuat lebih kejam."
"Selebihnya, kau tahu bukan ceritanya?" Kavra berusaha menyimpulkan. "Kita sama-sama tahu."
Milind mengangguk.
"Kau menghadapi Daga dengan berani," pujinya, dengan tatapan dalam dan tajam sebelum meneruskan perkataan, "…termasuk bagaimana cara menghadapi Akasha."
Kavra tertegun. Apakah ia terlalu meremehkan Nistalit? Beranggapan mereka hanya budak lemah, sementara Nistalit memiliki angan-angan rahasia terkait Akasha? Kavra menatap Milind yang terlihat tenang dan teguh.
"Aku hanya ingin membantumu," ucapan Milind terngiang di telinga Kavra. Apakah sebetulnya Milind memiliki pemahaman rahasia terkait Nistalit?
Kavra mendekati Milind, "Apa perbuatan buruk yang pernah dilakukan Nistalit ini?"
Milind berjalan mendekati Nami, mengabaikan pertanyaan Kavra.
Suara Milind, seolah angin yang berhembus senja hari, mengabarkan ujung cahaya matahari telah menapak jejak terakhir. Malam bagai bertepuk riuh dengan rahasia panjang kegelapan.
"Bisakah kau kembalikan sobekan kain jubah hijau yang kau simpan?" Milind menyodorkan telapak tangannya.
❄️💫❄️
Sejak hari ini, ancaman maut adalah sahabat sejati.
Malam, kepekatan, ketakpastian; adalah nasib Nistalit.
"Nami…," Usha terjaga dari tidurnya, memeluk Nami. "Kenapa menangis?"
Nami mengusap cepat wajahnya. Memeluk Usha erat. Mengatakan bahwa keadaan baik-baik saja sembari berlindung di balik bahu Usha yang rapuh, juga dibalik rambut tebalnya bergelombang. Nami menyembunyikan sedu sedan yang ditahannya sekuat mungkin. Bayangan Kavra dan Milind yang menatapnya bagai terdakwa benar-benar menyudutkannya. Tak ada pilihan lain, kecuali memberikan sobekan jubah hijau Milind yang pernah didapatkannya secara paksa dulu. Secarik kain yang menemaninya menghadapi Vasuki, Nistalit bercakar, juga Daga. Secarik kain yang menemaninya bermimpi.
Bagaimana ia melindungi diri jika bertemu Nistalit bercakar lagi?
Bagaimana ia melindungi Aji dan Usha jika bertemu sosok macam Daga, Akasha bertabiat buruk yang berniat mencelakakan dalam wujud halus mereka?
❄️💫❄️