Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 178 - ●Perayaan Gangika (10) : Lagu Nami

Chapter 178 - ●Perayaan Gangika (10) : Lagu Nami

Tak ada guna membujuk.

Nami telah belajar, bahwa ia harus mentaati Hulubalang Sin, walau belum dapat sepenuhnya berlaku demikian. Setidaknya, ia telah memberikan jawaban tersirat kepada Milind dan Janur. Kavra mengatakan bahwa percakapan mereka telah cukup. Para Nistalit adalah bawahannya, tak ada kewajiban untuk melaporkan peristiwa di tepian hutan kepada Milind ataupun Janur.

"Aku harus menjamu tamu-tamuku, Milind," Kavra menegaskan, mengajak Milind sekaligus mengusirnya secara halus dari permasalahan Nistalit bercakar. "Kau harus menikmati Gangika. Setelah peristiwa tadi malam, kau pasti ingin istirahat sejenak. Bertemu para putri bangsawan dan pada dayang mungkin akan membuatmu terhibur."

"Ya, aku rasa demikian," Milind menjawab, mencoba terdengar riang.

Nami menunduk, menggenggam erat pisau di pinggangnya yang telah dikembalikan Janur. Ia merasa demikian sampah dan kotor, di tengah-tengah perayaan Gangika. Bekerja dan menyembunyikan diri sejauh-jauhnya dari wilayah pusat kerajaan, adalah hal yang diinginkannya. Sepanjang mereka membangun istana dan pemandian, jauh di lubuk hati, ia bertanya-tanya. Apakah boleh berendam di kolam itu walau sejenak?

Tapi kejadian pagi ini, mengingatkan kembali kedudukan rendah Nistalit.

Kavra harus menjamu para tamunya pagi itu, termasuk Milind. Kedua panglima bergegas pergi, meninggalkan hulubalang dan permasalahan Nistalit  di belakang punggung mereka sejenak. Sesaat sebelum berpisah, Janur mendekati Nistalit. Memberikan sebuah bungkusan kecil yang diikat tali.

"Panglima Milind menitipkan obat ini bagi kalian yang terluka," ujarnya.

Soma dan Dupa menerima dengan penuh rasa terima kasih.

Janur memberikan bungkus berisi serbuk obat Wanawa kepada Nami, menatapnya tajam, "Kuharap kau tak lupa kebaikan hati Panglima Milind."

Nami menelan ludah.

❄️💫❄️

Nistalit bekerja sepanjang hari. Sepanjang waktu.

Walau bendungan, benteng, perluasan istana ratu dan keputren berikut pemandian telah usai; masih ada bagian-bagian kota yang harus diperbaiki. Beberapa bangsawan meminta tambahan bilik bagi kediaman mereka.

Aji, menyandarkan kepala di bahu Nami. Usha, berbaring di pangkuannya.

"Aku rindu ibu," Usha terisak pelan.

Tangan Nami, yang mengelus rambut Usha, terhenti. Ingatannya pada Nistalit bercakar, membuatnya resah.

"Heh, apakah kalian mau mendengarkanku bercerita lewat nyanyian?"

"Kau bisa menyanyi?"

"Ya…suaraku tak bagus-bagus amat," Nami menyeringai. "Tapi ketika di Wanawa, aku berkenalan dengan beberapa pemusik dan penyanyi di sana. Mereka mengajariku sedikit."

"Wanawa Akasha sungguh baik hati," Aji berkata dengan mata berbinar.

"Ya," Nami tersenyum. Ingatannya sejenak akan Milind pagi tadi, menggores hatinya. Apa yang dikatakan Kavra? Bersenang-senang bertemu para putri bangsawan dan para para dayang? Nami meyumpahi dirinya sendiri. Mengapa memikirkan Milind? Ia hanya debu di ujung jubahnya.

Usha mengusap mata, memperhatikan Nami.

---

Di bawah naungan Aswa

Berlindung di hutan Wanawa

Bersama aliran Gangika

Kau akan merasa tenang

Terbang dalam sayap perak

Berselimut dedaunan hijau

Meneguk air yang jernih

Hidupmu sudahlah cukup

---

❄️💫❄️

Perayaan Gangika selama dua pekan penuh bagai terasa berabad-abad lamanya. Bagi bangsawan dan rakyat Gangika, tentu mereka bisa berpesta seharian penuh. Bagi Nistalit, pekerjaan berlipat-lipat bertambah.

Hulubalang Sin menghampiri mereka.

"Nistalit! Bekerjalah yang giat. Tamu-tamu kerajaan akan melihat cara kerja kalian!"

Bukit batu yang menjadi sumber bahan baku bangunan Gangika, cukup terjal untuk ditempuh berjalan kaki. Akasha dapat melampauinya dengan mudah, menggunakan tubuh lembut mereka atau bila perlu menunggang angin. Cuaca panas walau angin cukup kencang menerbangkan debu-debuan. Beberapa Nistalit melindungi kepala dan wajah mereka dengan kain yang dibebat, untuk melindungi panas dan dari goresan serpihan bebatuan.

"Nami, aku lelah sekali," Usha berbisik.

Nami mengelus rambutnya. Memberikan sepotong makanan yang pagi tadi disimpannya.

"Bertahanlah, Usha," bisik Nami. "Kau bermain boneka jerami terlalu larut hingga dini hari."

Usha tersenyum lemah. Nami mencubit pipinya yang merah.

"Aku janji akan mencarikanmu buah kersen bila kau mau bertahan," Nami berbisik.

Usha mengangguk manja. Aji memberikan semangat padanya.

❄️💫❄️

Memotong batu.

Memahat batu.

Mengukir batu.

Beberapa bangsawan meminta wajah mereka terpatri dalam senyum manis di bebatuan yang diletakkan di istana-istana mereka.Aji dan Usha menghaluskan ukiran sementara Nami memotong bebatuan dan memahatnya sesuai pesanan.

Wajah-wajah Nistalit tersembunyi dalam kain kasar yang melindungi muka dan kepala. Hanya menyisakan sepasang mata dan sedikit lubang untuk benapas. Cuaca terik, keringat menetes dan menguap cepat. Matahari belum tepat di atas kepala namun awan tak menghalangi tumpahan sinar. Panas, bagai tungku raksasa di bawah kaki Nistalit.

Para panglima, bangsawan dan prajurit bercakap ringan. Diselingi gurauan dan tawa. Akasha selalu punya cara menaungi diri agar tetap sejuk. Sesekali terdengar ucapan meremehkan dan bentakan merendahkan kala mereka bertemu Nistalit.

Terdengar pekik dan tangisan kecil.

Bentakan. Teriakan.

Entah apa yang terjadi, tapi tangisan dan suara memohon terdengar lebih keras. 

Buk!

Plak!

Tangisan tertahan.

Suara-suara memperingatkan, suara-suara mengancam.

Nami menajamkan mata dan telinga, mengikuti arah suara. Jantungnya berhenti berdetak melihat Usha dan Aji tersungkur.

Satu sosok begitu bersemangat memukul walau terdengar ketidaksetujuan dari pihak lain.

Tangan itu terangkat ke atas, tinggi, bersiap menampar Aji yang tampak menantang demi melindungi Usha.

"Dasar Nistalittt! Kecil begini sudah kurang ajarrr, heh?"

Tangan itu terhenti, tertahan oleh tangan lain yang sekuat tenaga menangkis.

Aji dan Usha berteriak, memburu Nami, memegangi ujung bajunya.

"Aku...aku...tidak sengaja," Usha gemetar ketakutan. Wajahnya basah airmata.

Aji pun tampak pasi, memegangi pula baju Nami.

"Kalian berdiri di belakangku," Nami memerintahkan.

Si penyerang, mendengus kasar, balik membentak bengis.

"Kau??? Nistalit sampah! Biar kuhajar anak-anak itu agar besarnya tahu diri!!"

Nami mengangguk, memberi hormat kepada si penyerang. 

"Maafkan kami, Tuan. Mohon ampuni anak-anak ini," Nami memberi hormat yang dalam. Ia berjalan mundur, mendorong Aji dan Usha menjauh.

Plak.

Plak.

Dua tamparan mengenai Nami hingga gadis itu sedikit goyah. Tamparan ketiga, berhasil dielakkan. Beralih ke pukulan, berhasil dihindari.

Si penyerang makin membabi buta. Memukul, menampar, menendang, menghajar.

"Buka penutup mukamu, keparat! Biar kutahu seringai kesakitanmu!"

Pekerjaan terhenti.

Pengunjung seketika menoleh.

Nami ingin menghindari keributan. Ia sudah meminta maaf dan berusaha menghindar. Tampaknya, si penyerang berusaha ingin menghajar Aji dan Usha yang entah melakukan kesalahn apa. Ketika Nami melerai, ia bertambah murka.

"Jahannam! Buka mukamu!"

Si penyerang benar-benar bersungguh-sungguh ingin memberikan pelajaran. Pukulan. Tendangan. Pukulan lagi. Tendangan. Serangan ke arah leher, menuju dada, ke titik perut. Nami mencoba berhati-hati dan waspada untuk tak menjadi korban. Walau mencoba menghindar, tak ayal tangan mereka saling menampik. Menangkis. Pergumulan. Bantingan. Pergulatan.

Tanah berdebu.

Prajurit-prajurit menahan kepalan tangan, berseru, seolah memberikan semangat kepada dua petarung.

Hulubalang Sin berlari mendekat.

"Ada apa?" tanyanya cemas.

"Ada yang bertarung," bisik seorang prajurit. "Tamu Akasha dan Nistalit."

"Celaka!" pikir Sin. "Kenapa harus ada keributan?"

Saling mencekik, membanting, menyodok. Meninju, menampar. 

"Buka penutup mukamu! Biar kurobek wajahmu dengan cambuk Kuncup Bunga!"

Dalam saru serangan yang memaksa keduanya bergumul dan saling mengunci, penutup muka terlepas. Si penyerang terbelalak sementara Nami mendengus, merasa tak ingin menampakkan muka tapi terlanjur telah terjadi.

Sin menatap Nami kesal, ia  menarik napas panjang. Petaka apa lagi ini?

Si penyerang meludahi mukanya. Nami menggertakkan geraham, berusaha bersabar sembari mengelap mukanya dengan ujung pakaian.

Bagaimanapun, ia tak ingin jahat dan kurang ajar. Nami membungkuk pada si penyerang, memberi salam hormat.

"Hormat hamba bagi Hulubalang Daga," ucapnya pelan, sedikit terpaksa.

Berhadap-hadapan seperti ini, saling mengukur kekuatan. Daga ingin mencoba keahlian Nami yang konon sudah meningkat pesat. Ia pun tak ingin kehilangan kesempatan memojokkan gadis di hadapannya.

"Kau!" bentak Daga. "Kau saudara dari Nistalit cacat itu?"

Mulut Nami tergetar.

Jalma? Bisik hatinya rindu. 

"Harusnya kalian berdua sudah mati," Daga mendesis kejam. "Tapi tak mengapa. Tinggal satu yang hidup, itupun tak akan lama."

"Hamba…tak ingin melawan Paduka," bisik Nami.

"Kepalang basah! Kau akan mati di tanganku!" bentak Daga.

❄️💫❄️